16 Tahun Tragedi Mei 1998
Melawan Lupa Dengan Menolak Capres Pelanggar HAM
Peristiwa Trisakti (12 Mei 1998) dan Tragedi Mei (13-15 Mei 1998) sudah memasuki tahun ke-16. Sepanjang 16 tahun negara masih absen dalam menuntaskan peristiwa tersebut sehingga hak korban atas keadilan dan pemulihan terus menerus diabaikan.
Terhadap kedua peristiwa tersebut, Komnas HAM sebagai lembaga negara yang memiliki kewenangan dalam melakukan penyelidikan Pro-Justisia (penyelidikan untuk kepentingan proses hukum) pada tahun 2002 dan 2003 Komnas HAM sudah menyerahkan berkas hasil penyelidikan untuk peristiwa Trisakti dan Tragedi Mei kepada Jaksa Agung untuk ditindak lanjuti ke tahap penyidikan sebagaimana diatur dalam UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Namun Jaksa Agung hingga kini masih menolak untuk melakukan penyidikan. Sikap Jaksa Agung bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia No. 18/PUU-V/2007 atas permohonan uji materil terhadap pasal dan penjelasan pasal 43 (2) UU No 26 tahun 2006 tentang Pengadilan HAM. Putusan MK telah memberikan penegasan yang pada pokoknya menyatakan bahwa dalam hal DPR merekomendasikan pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc harus didasarkan pada hasil penyelidikan (Komnas HAM) dan penyidikan (Jaksa Agung).
Absennya negara sepanjang 16 tahun menunjukan sebuah fakta bahwa akuntabilitas negara terhadap HAM semakin rapuh terutama dalam penanganan perkara pelanggaran HAM yang berat masa lalu. Rapuhnya penanganan atas sejumlah peristiwa pelanggaran HAM yang berat karena ketidakmauan Presiden menuntaskan sejumlah pristiwa tersebut melalui mekanisme hukum sebagaimana diatur dalam UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Sepanjang 2011-2013 Presiden telah memint bantuan kepada 3 (tiga) pihak; Menko-Polhukam membentuk Tim Kecil Penanganan Pelanggaran HAM berat masa lalu, Anggota Dewan Pertimbangan Presiden bidang hukum dan HAM (Wantimpres) membuat draft konsep penyelesaian dan Wakil Menteri Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan HAM diberikan mandat oleh Presiden untuk membantu menyelesaikan atas peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu. Namun ketiga proses yang telah dilakukan tersebut tidak menjawab persoalan, faktanya hingga kini kasus-kasus pelanggaran HAM berat masih mandek di Kejaksaan Agung.
Melihat kenyataan tersebut, untuk menuntaskan peristiwa pelanggaran HAM yang berat dibutuhkan sebuah keberanian dari Presiden karena perannya sangat penting dalam membentuk Keputusan Presiden (Keppres) tentang Pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc. Tanpa adanya Keppres maka Pengadilan HAM Ad Hoc tidak akan pernah tersebut. Oleh karenanya Pemilihan Presiden (Pilpres) yang akan dilangsungkap pada 9 Juli 2014 menjadi penentu atas nasib penghormatan, penegakan, perlindungan dan pemenuhan HAM ke depan.
Berdasarkan hal tersebut kami mendesak :
- Presiden untuk segera memberikan instruksi kepada Jaksa Agung untuk segera memulai penyidikan;
- Jaksa Agung harus segera melakukan penyidikan atas peristiwa Tragedi Mei dan Peristiwa Trisakti, Semanggi I dan II serta peristiwa pelanggaran HAM berat lainnya yang sudah diselidiki oleh Komnas HAM;
- Menyerukan kepada publik untuk tidak memilik Capres dan Cawapres yang memiliki rekam jejak buruk dalam peristiwa pelanggaran HAM yang berat.
Jakarta, 11 Mei 2014