Catatan KontraS Terhadap Kepolisian Ri

Siaran pers

No.32/sp-kontras/VII/01

Tentang

Catatan kontras terhadap kepolisian RI

 

1 juli 2001 Kepolisian Republik Indonesia memperingati hari Bayangkara ke 55, ditengah tajamnya sororan dan bertumpuknya problematika yang dihadapinya. Diusianya yang ke 55, kepolisian yang telah menyatakan diri sebagai pengayom masyarakat dan dinyatakan terpisah dari dari TNI ternyata masih belum mampu menunjukkan wujud idealnya. Pengayoman kepolisian dipertanyakan, bahkan di ingat. Juga keseriusan untuk merubah watak militeristiknya, setelah secara resmi terpisah dari TNI, 1 januari 2001.

Oleh karena nya KontraS menganggap perlu untuk memberikan catatan terhadap kepolisian yang hingga hari ini belum menunjukkan perubahan yang signifikan.

Pertama, bahwa dalam sejarah kepolisian republik indonesia, polisi hanya selama kurang lebih dua tahun (19 agustus 1945-1 agustus 1947) belajar menjadi polisi sipil atau bagian dari sistem pemerintahan yang berdasarkan supremasi sipil. Sehingga watak militeristik kepolisian lebih kental mewarnai tugas-tugas profesional maupun perilaku aparat kepolisian lebih mengikuti militer indonesia yang pretorian. Kasus penon-aktifan Kapolri menjadi bukti nyata dari pilihan politik kepolisian yang pretorian.

Kedua, konsekuensi dari pilihan politik pretorianisme tersebut, kekamampuan profesioanal kepolisian dalam menjalankan tugas-tugas pokok kepolisian menjadi rendah. Sehingga dalam menjalankan tugas-tugas profesional tersebut kepolisian justeru mengandalkan cara-cara kekerasan yang merupakan kebiasaan yang melekat pada tubuh militer.

Ketiga ketiga, dalam catatan KontraS selama satu tahun (priode juni 2000 sampai juni 2001) kepolisian tercatat telah melakukan pelanggaran HAM sebanyak 224 kasus dengan korban jumlahnya 740 jiwa disepuluh propinsi. Sebanyak 110 kasus terjadi pada priode juni-desember tahun 2000, dengan korban sebanyak 368 jiwa. Aceh tetap mencapai pisisi pertama sebagai daerah yang menjadi ladang tindak kekerasan aparat kepolisian dengan 108 kasus dan korban 289 jiwa. Jika dibagi rata-rata secara keseluruhan, dua sampai tiga orang menjadi korban tindak kekerasan aparat kepolisian perharinya. Bentuk-bentuk pelanggaran HAM yang paling banyak dilakukan oleh polisi adalah penyiksaan dengan jumlah 75 kasus (33,50%) dengan jumlah korban 315 orang (43%).

Catatan-catatan ini yang meskipun belum merangkum data tindak kekerasan oleh aparat kepolisian sudah cukup kiranya untuk menunjukkan bahwa perilaku aparat kepolisian sebagai pelanggaran HAM tetap tidak berubah sebagaimana saat kepolisian berada di bawah militer.

Dengan adanya fakta-fakta diatas, Polri sesungguhnya telah melanggar sejumlah kode etik penegak hukum yang berlaku secara internasional selain tentu saja instrumen-instrumen HAM internasional lainnya, diantaranya seperti:

kode etik bagi aparatur penegak hukum yang disahkan oleh majelis umum 34/169 tanggal 17 desember 1979, meliputi pelanggaran kewajiban pelayanan masyarakat dan perlindungan terhadap mereka dari tindakan tidak sah, pelanggaran HAM, larangan untuk melakukan, menghasut atau mentolerir setiap tindakan penyiksaan atau perlakuan atau hukuman kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat.

    1. prinsip-prinsip dasar tentang penggunaan kekerasan dan senjata api oleh aparatur penegak hukum, yang disahkan PBB, meliputi pelanggaran ketentuan umum tentang etika penggunaan kekerasan dan senjata api, ketentuan khusus tentang prosedur penggunaan senjata api, hak diperlakukan secara manusiawi saat berunjuk rasa atau ditahan, dan hak pertanggungjawaban pemerintah untuk memastikan bahwa pejabat atasan akan bertanggungjawab jika mereka tahu atau seharusnya tahu bahwa aparatur penegak hukum dibawah komandonya tengah melakukan atau telah melakukan penggunaan kekerasan dan senjata api secara tidak sah., dan mereka tidak mengambil seluruh tindakan yang berada dibawah kekuasaannya untuk mencegah dan melapotkan penggunaan tersebut.
    2. UU Nomor 5 tahun 1998 tentang larangan penyiksaan, perlakuan hukum yang kejam , tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia. yang merupakan ratifikasi dari convention international.

Rekomendasi

Satu pertanyaan yang muncul setelah melihat kenyataan riil kondisi kepolisian kita barangkali adalah, "bagaimana strategi dalam membangun rumusan kepolisian yang sesuai dengan harapan kita?"

Beberapa hal ini tampaknya bisa menjadi rekomendasi hasil pembacaan ini:

    1. Perlu dibangun sebuah Polri yang konsisten, tegas, dan terjaga perilakunya berdasarkan ketentuan standard kepolisian. Dengan tugas Polri yang begitu banyak (misalnya, sebagai alat negara, penegak hukum, pengayom masyarakat) perlu diperbaiki strategi kriminalisasi atau dekriminalisasi atas suatu penyimpangan sosial (kasus-kasus). Misalnya polisi harus mengutamakan pertimbangan hukum dan ketertiban (law and order), bukan memasukkan (dan mengutamakan) pertimbangan politik, kepentingan dan lain-lain.
    2. Disamping menjadi pelayan keamanan masyarakat, pada sisis lain polisi harus merumuskan dirinya menjadi satu bagian dari integrated criminal justice system dengan bekerja sama dengan lembaga kejaksaan, kehakiman dan lembaga keadvokatan. Dengan rumusan ini, konsekuensinya adalah bahwa polri dituntut untuk menjadi profesionalis, perubahan paradigma, doktrin, visi dan misi polri.
    3. Polri perlu menunjukkan sikap tegas terhadap fenomena-fenomena pelanggaran HAM yang terjadi dimasa lalu atau saat ini. Secara tegas kepolisian harus berpihak pada korban dan pihak-pihak yang menuntut keadilan dalam kasus-kasus pelanggaran HAM tersebut.
    4. menghentikan watak pretorianisme di institusi kepolisian serta menjadikan catatan-catatan kelemahan dan kekurangan polri yang dsampaikan oleh banyak pihak hendaknya dapat dijadikan masukan untuk memperbaiki dan mendukung kerja-kerja polri yang lebih baik di masa yang akan datang.

 

Jakarta , 30 juni 2001

Munarman, SH.

koordinator

Catatan KontraS terhadap kepolisian RI



Untitled Document

Siaran pers

No.32/sp-kontras/VII/01

Tentang

Catatan kontras terhadap kepolisian RI

1 Juli 2001 Kepolisian Republik Indonesia memperingati hari Bayangkara ke 55, ditengah tajamnya sororan dan bertumpuknya problematika yang dihadapinya. Diusianya yang ke 55, kepolisian yang telah menyatakan diri sebagai pengayom masyarakat dan dinyatakan terpisah dari dari TNI ternyata masih belum mampu menunjukkan wujud idealnya. Pengayoman kepolisian dipertanyakan, bahkan di ingat. Juga keseriusan untuk merubah watak militeristiknya, setelah secara resmi terpisah dari TNI, 1 Januari 2001.

Oleh karena nya KontraS menganggap perlu untuk memberikan catatan terhadap kepolisian yang hingga hari ini belum menunjukkan perubahan yang signifikan.

Pertama, bahwa dalam sejarah kepolisian republik indonesia, polisi hanya selama kurang lebih dua tahun (19 Agustus 1945-1 Agustus 1947) belajar menjadi polisi sipil atau bagian dari sistem pemerintahan yang berdasarkan supremasi sipil. Sehingga watak militeristik kepolisian lebih kental mewarnai tugas-tugas profesional maupun perilaku aparat kepolisian lebih mengikuti militer indonesia yang pretorian. Kasus penon-aktifan Kapolri menjadi bukti nyata dari pilihan politik kepolisian yang pretorian.

Kedua, konsekuensi dari pilihan politik pretorianisme tersebut, kekamampuan profesioanal kepolisian dalam menjalankan tugas-tugas pokok kepolisian menjadi rendah. Sehingga dalam menjalankan tugas-tugas profesional tersebut kepolisian justeru mengandalkan cara-cara kekerasan yang merupakan kebiasaan yang melekat pada tubuh militer.

Ketiga ketiga, dalam catatan KontraS selama satu tahun (priode juni 2000 sampai juni 2001) kepolisian tercatat telah melakukan pelanggaran HAM sebanyak 224 kasus dengan korban jumlahnya 740 jiwa disepuluh propinsi. Sebanyak 110 kasus terjadi pada priode juni-desember tahun 2000, dengan korban sebanyak 368 jiwa. Aceh tetap mencapai pisisi pertama sebagai daerah yang menjadi ladang tindak kekerasan aparat kepolisian dengan 108 kasus dan korban 289 jiwa. Jika dibagi rata-rata secara keseluruhan, dua sampai tiga orang menjadi korban tindak kekerasan aparat kepolisian perharinya. Bentuk-bentuk pelanggaran HAM yang paling banyak dilakukan oleh polisi adalah penyiksaan dengan jumlah 75 kasus (33,50%) dengan jumlah korban 315 orang (43%).

Catatan-catatan ini yang meskipun belum merangkum data tindak kekerasan oleh aparat kepolisian sudah cukup kiranya untuk menunjukkan bahwa perilaku aparat kepolisian sebagai pelanggaran HAM tetap tidak berubah sebagaimana saat kepolisian berada di bawah militer.

Dengan adanya fakta-fakta diatas, Polri sesungguhnya telah melanggar sejumlah kode etik penegak hukum yang berlaku secara internasional selain tentu saja instrumen-instrumen HAM internasional lainnya, diantaranya seperti:

    1. kode etik bagi aparatur penegak hukum yang disahkan oleh majelis umum 34/169 tanggal 17 desember 1979, meliputi pelanggaran kewajiban pelayanan masyarakat dan perlindungan terhadap mereka dari tindakan tidak sah, pelanggaran HAM, larangan untuk melakukan, menghasut atau mentolerir setiap tindakan penyiksaan atau perlakuan atau hukuman kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat.
    2. prinsip-prinsip dasar tentang penggunaan kekerasan dan senjata api oleh aparatur penegak hukum, yang disahkan PBB, meliputi pelanggaran ketentuan umum tentang etika penggunaan kekerasan dan senjata api, ketentuan khusus tentang prosedur penggunaan senjata api, hak diperlakukan secara manusiawi saat berunjuk rasa atau ditahan, dan hak pertanggungjawaban pemerintah untuk memastikan bahwa pejabat atasan akan bertanggungjawab jika mereka tahu atau seharusnya tahu bahwa aparatur penegak hukum dibawah komandonya tengah melakukan atau telah melakukan penggunaan kekerasan dan senjata api secara tidak sah., dan mereka tidak mengambil seluruh tindakan yang berada dibawah kekuasaannya untuk mencegah dan melapotkan penggunaan tersebut.
    3. UU Nomor 5 tahun 1998 tentang larangan penyiksaan, perlakuan hukum yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia. yang merupakan ratifikasi dari convention international.

Rekomendasi

Satu pertanyaan yang muncul setelah melihat kenyataan riil kondisi kepolisian kita barangkali adalah, "bagaimana strategi dalam membangun rumusan kepolisian yang sesuai dengan harapan kita?"

Beberapa hal ini tampaknya bisa menjadi rekomendasi hasil pembacaan ini:

    1. Perlu dibangun sebuah Polri yang konsisten, tegas, dan terjaga perilakunya berdasarkan ketentuan standard kepolisian. Dengan tugas Polri yang begitu banyak (misalnya, sebagai alat negara, penegak hukum, pengayom masyarakat) perlu diperbaiki strategi kriminalisasi atau dekriminalisasi atas suatu penyimpangan sosial (kasus-kasus). Misalnya polisi harus mengutamakan pertimbangan hukum dan ketertiban (law and order), bukan memasukkan (dan mengutamakan) pertimbangan politik, kepentingan dan lain-lain.
    2. Disamping menjadi pelayan keamanan masyarakat, pada sisi lain polisi harus merumuskan dirinya menjadi satu bagian dari integrated criminal justice system dengan bekerja sama dengan lembaga kejaksaan, kehakiman dan lembaga keadvokatan. Dengan rumusan ini, konsekuensinya adalah bahwa polri dituntut untuk menjadi profesionalis, perubahan paradigma, doktrin, visi dan misi polri.
    3. Polri perlu menunjukkan sikap tegas terhadap fenomena-fenomena pelanggaran HAM yang terjadi dimasa lalu atau saat ini. Secara tegas kepolisian harus berpihak pada korban dan pihak-pihak yang menuntut keadilan dalam kasus-kasus pelanggaran HAM tersebut.
    4. Menghentikan watak pretorianisme di institusi kepolisian serta menjadikan catatan-catatan kelemahan dan kekurangan polri yang dsampaikan oleh banyak pihak hendaknya dapat dijadikan masukan untuk memperbaiki dan mendukung kerja-kerja polri yang lebih baik di masa yang akan datang.

Jakarta, 30 juni 2001

Munarman, SH.

koordinator