MENUJU NASIONALISME SUBSTANTIF

Oleh Moh Samsul Arifin

DALAM khazanah bangsa ini, kita menyaksikan nasionalisme sebagai
wujud cinta Tanah Air dilakukan dengan santun, elegan, dan beradab.
Dapat dikatakan bentuk-bentuk kekerasan nyaris absen. Namun, dewasa
ini kita menyaksikan ekspresi nasionalisme sudah diwujudkan dengan
kekerasan.
Penyerbuan dan perusakan kantor hingga pemukulan terhadap aktivis
Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) oleh
sekumpulan massa pada 27 Mei 2003 secara telanjang mengabarkan itu
semua. Dianggap tidak nasionalis karena menentang operasi militer di
Aceh, lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang memperjuangkan HAM dan
antikekerasan itu secara ironis justru menjadi korban tindak
kekerasan. Adakah ini sebuah petaka “nasionalisme”?
Apa sejatinya nasionalisme Indonesia itu? Dan, bagaimana cara
menyatakannya?
Peristiwa 27 Mei itu sangat menyesakkan tatkala massa berseragam
ala militer itu memaksa Ketua Presidium Kontras Ori Rachman
menyanyikan lagu Indonesia Raya di depan mereka. Karena gugup, akibat
diintimidasi massa, si aktivis tidak fasih lagi menyanyikan lagu
kebangsaan karya WR Supratman itu. Akibatnya, bogem dan pukulan massa
mendarat ke tubuhnya. Pria bertubuh kecil itu tak berdaya karena
dikerubungi massa.
Kita semua tahu bahwa Kontras termasuk salah satu pihak yang
kontra terhadap operasi militer di Aceh kendatipun pemerintah juga
menggelar operasi terpadu, yakni dengan operasi kemanusiaan, operasi
penegakan hukum, dan operasi pemantapan roda pemerintahan di sana.
Penolakan itu sebetulnya tidak bermasalah karena demokrasi
menghalalkan keragaman pendapat.
Hak Kontras untuk menolak atau mendukung karena mereka punya
basis argumentasi yang memadai sebagai pejuang HAM dan antikekerasan.
Dan, massa tersebut juga punya hak yang sama untuk menyatakan setuju
atau menolak operasi militer. Bahwa kemudian massa itu berada di
pihak yang pro-operasi militer, tidak berarti mereka boleh memaksakan
pendapatnya itu pada pihak lain.
Tidak dapat dibenarkan apabila atas nama “nasionalisme”, suatu
pihak memaksa pihak lain bersikap serupa. Bukankah kebebasan
berbicara dan berekspresi merupakan hal yang paling inti dalam sistem
demokrasi.
Aksi dan tindakan kekerasan dewasa ini bukanlah hal yang baru
sama sekali di ruang publik kita. Seribu satu alasan bisa memantikkan
kekerasan, entah karena problem ekonomi, sosial, politik, hingga
agama. Teater kekerasan pentas setiap saat hingga membuat kita semua
waswas dan prihatin.
Sangat disayangkan, ruang publik yang sepatutnya dipandang
sebagai ruang bersama terkelupas menjadi semacam “ruang privat”,
tempat aneka nafsu kekerasan bertumbukan saling mencari panggung
untuk pentas. Tidak ada kerelaan melepas otonomi pribadinya untuk
diserahkan pada otoritas negara. Justru, masing-masing pihak saling
mencaplok otonomi orang lain. Pada beberapa kasus, pencaplokan
otonomi itu sudah tidak dapat ditolerir karena nyaris berimpitan
dengan sikap dan tindak-tanduk kaum fasis.

DALAM keadaan di mana otonomi pihak lain sudah tidak dihormati,
kekuatan argumentasi bukan lagi utama dan pokok. Siapa saja yang
punya kekuatan otot (fisik) bisa menafikan otonomi pihak lain.
Penyerbuan terhadap Tempo, atau UPC tahun lalu (dan terakhir
perusakan terhadap Kontras), menurut hemat penulis, terjadi dalam
sebuah logika seperti itu. Padahal, seperti dikemukakan oleh John
Locke, dalam bernegara seyogianya rakyat mengikhlaskan hak-hak
tertentu untuk dapat menciptakan kemaslahatan umum (common good).
Di atas segalanya, dalam menyatakan nasionalisme, tidak
diperlukan syarat orang lain mesti sepaham dengan kita. Tak perlu
pentungan, sangkur atau pisau. Nasionalisme adalah ide yang abstrak,
kendatipun ia menyimpan magisme, yakni dapat menyatukan sebuah bangsa
dalam satu memori yang sama. Memori atau kenanganlah yang menyatukan
sebuah bangsa yang plural (majemuk) dalam satu identitas yang
dimiliki bersama. Oleh karena itu, Bennedict Anderson memandang
nasionalisme sebagai komunitas terbayang (imagined community).
Nasionalisme Indonesia sendiri dapat dikatakan dibentuk dalam
satu kenangan (memori) yang sama antarbangsa-bangsa (etnis) yang
mendiami nusantara ini sebagai bangsa terjajah (bekas koloni
Belanda). Sejak 17 Agustus 1945, nasionalisme kita lebih dikonkretkan
oleh para pendiri bangsa dengan didirikannya Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) yang melintang dari Sabang (Aceh) hingga Merauke
(Papua). NKRI ini merupakan bentuk final negara kita dan semakin
dikukuhkan ketika ST MPR Agustus 2002 memutuskan bentuk negara
kesatuan tidak mungkin bisa diamandemen.
Ketika GAM merongrong wibawa NKRI, maka dalam perspektif ini
gerakan separatis Aceh itu mesti ditumpas. Ini bukan saja pandangan
militer yang punya tugas mempertahankan negara dari
rongrongan/serangan dari dalam dan luar negeri. Tetapi juga menjadi
basis argumentasi pemerintah dalam melakukan operasi militer di Tanah
Rencong.
Dalam pandangan ini, mempertahankan NKRI sama dengan
menyelamatkan nasionalisme Indonesia. Itulah yang dikritik oleh
Kontras. Bagi Kontras, operasi militer bukan jawaban untuk
menyelesaikan Aceh. Sebaliknya, dialog dianggapkan sebagai jalan
terbaik karena cara ini dapat mengurangi potensi korban di pihak
sipil yang tidak ikut-ikutan dalam konflik.
Menjadi tentara (militer) berarti harus siap perang setiap saat
karena jiwa raga prajurit itu sejak awal memang diabdikan untuk Ibu
Pertiwi. Kalau ada prajurit TNI yang membelot pada GAM itu berarti
prajurit tersebut tidak nasionalis. Tapi, jika ada organ masyarakat
sipil tidak setuju dengan operasi militer di Aceh, tidak dapat
disimpulkan bahwa mereka tidak nasionalis.
Penarikan kesimpulan bahwa yang tidak setuju operasi militer
adalah anasionalis merupakan kerancuan berpikir (intelectual cul-de-
sac-“karena itu maka ini”).
Masing-masing komponen bangsa di negeri ini punya media masing-
masing untuk menyatakan kecintaannya. Sangat tidak mungkin segenap
komponen bangsa mewujudkan nasionalisme dengan cara yang tunggal.
Bukan karena sifatnya yang abstrak, tetapi karena nasionalisme itu
mesti “longgar” sesuai dengan zaman dan konteks persoalan yang
melingkupinya. Mengkritik tindakan pemerintah yang dinilai keliru
juga karena terdorong rasa nasionalisme. Kalau tidak punya rasa itu,
ya, cuek saja.
Apabila nasionalisme hanya diartikan sebagai tameng untuk
melindungi wilayah (teritorial). Maka cara demikian, akan memudahkan
setiap pihak “memanfaatkan” konsep ini untuk kepentingannya sendiri.
Atas nama nasionalisme, pemerintah pusat berlaku sewenang-wenang
kepada daerah yang menuntut pembagian ekonomi yang lebih adil.
Nasionalisme Indonesia seharusnya mampu mengakomodasi ane- ka
kepentingan setiap komponen bangsa di negeri ini. Dan, bukan sarana
eksploitasi pu- sat terhadap daerah atau eksploitasi manusia atas
manusia lain.
Semestinya kita memaknai nasionalisme Indonesia sebagai keinginan
untuk terlibat dalam pembebasan orang-orang kecil di Tanah Air dari
eksploitasi kaum kaya kuasa dalam segala bentuk oleh siapa pun,
termasuk oknum atau lapisan bangsa Indonesia sendiri. Watak
nasionalisme Indonesia adalah pemerdekaan, pembebasan, pertolongan,
dan pengangkatan pihak yang dizalimi (YB Mangunwijaya, 1997). Kukuh
dan kokohnya nasionalisme, sangat bergantung pada sejauh mana
keadilan dapat diwujudkan di negeri ini.

Moh Samsul Arifin
Aktif di Center of Bureaucracy Studies (CBS) Jakarta