Laporan Akhir Tahun Bidang Hukum :MUNDURNYA PENGHORMATAN HAM

IBARAT banjir bandang! Itulah gambaran pengingkaran nilai hak asasi manusia (HAM) di Indonesia sepanjang tahun 1998. Jika pada tahun sebelumnya pelanggaran HAM ibarat air sungai yang mengalir terpola karena aliran sungai itu diatur sedemikian rupa dengan beberapa bendungan, di pertengahan tahun 1998 "bendungan" itu hancur dengan lengser-nya Soeharto dari kursi kepresidenan, 21 Mei 1998.

Turunnya Soeharto membuka berbagai saluran penyampaian aspirasi yang sebelumnya buntu. Kasus pelanggaran HAM yang terjadi pada tahun-tahun lalu, muncul ke permukaan. Masyarakat korban yang dulu tak bisa bersuara, kini leluasa menyuarakan isi hatinya. Kasus pelanggaran HAM pada tahun 1998 pun menumpuk, mulai dari kasus lama yang tidak diselesaikan hingga kasus-kasus baru.

Bobot dan kasus pelanggaran HAM tersebut membuat rakyat Indonesia pun terperangah dan sulit mempercayainya. Dalam beberapa kasus korbannya, bukan lagi sekadar tergusur dari tanah kediamannya atau teraniaya, melainkan tewas melalui suatu pembunuhan tersistematik. Pembunuhan dengan formula lain, yang diduga dilakukan begitu banyak pihak, juga terjadi di mana-mana.

Lebih menyedihkan lagi, pada hampir semua kasus pelanggaran HAM itu didasarkan pertimbangan politis atau pembenaran secara politik. Tidak mengherankan bila dalam banyak kasus, pelaku pelanggaran HAM yang berat itu adalah militer, kalangan yang diberi kepercayaan untuk memegang senjata. Tidak mengherankan bila aksi menentang militerisme dan kekerasan aparat ramai kemudian disuarakan mahasiswa dan rakyat di berbagai tempat di Indonesia. Militer pun menjadi momok bagi banyak kalangan karena kehadirannya erat terkait dengan pelanggaran HAM berbobot berat.

***

DALAM catatan pers, dari begitu banyak kasus pelanggaran HAM di Indonesia, sangat sedikit sekali ditemui adanya penyelesaian tuntas atas pelanggaran HAM itu. Tidak mengherankan bila pelanggaran HAM menjamur, bahkan saat bersenyawa dengan pembenaran politis lantas mewujud menjadi pelanggaran HAM yang berkesinambungan.

Kasus Aceh adalah contoh paling nyata. Penetapan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) dengan sandi operasi Jaring Merah dari tahun 1989 sampai 1998 merupakan persenyawaan mendalam antara pelanggaran HAM yang tidak diselesaikan dengan pembenaran politis untuk menumpas apa yang disebut Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Selama 10 tahun, berbagai pelanggaran HAM berat di Aceh itu membuat rakyat Aceh

hidup dalam derita dan ketakutan, dan tak sempat terawasi jutaan rakyat Indonesia lainnya karena mampatnya saluran aspirasi masyarakat, dan di sisi lain ada pembenaran politis oleh pemerintah.

Berdasarkan laporan Farida Hariyani (pejuang HAM Aceh yang dianugerahi Penghargaan Yap Thiam Hien tahun 1998), hingga awal Desember terkumpul 7.725 kasus pelanggaran HAM di Aceh selama DOM, yang menyebabkan 1.321 orang meninggal dunia karena dibunuh, 1.958 orang hilang, 3.430 orang korban penyiksaan, 128 orang korban perkosaan, 81 orang korban pelecehan seksual, dan menyebabkan 16.375 anak menjadi anak yatim. Angka tersebut kemungkinan besar akan bertambah karena investigasi yang dilakukan Forum Peduli Hak Asasi Manusia Aceh belum 100 persen di seluruh wilayah Aceh.

Di Irian Jaya yang juga ada pembenaran politis sehingga operasi militer dilakukan sejak bertahun-tahun lalu untuk menumpas kelompok "Gerakan Pengacau Keamanan" (GPK) yang disebut Organisasi Papua Merdeka (OPM), penghilangan nyawa dan penganiayaan oleh militer terhadap rakyat sipil banyak dilaporkan. Lebih jauh lagi kepada Komnas

HAM di Jakarta diadukan bahwa operasi militer telah membuat rakyat Irian menderita dalam kelaparan karena mereka takut untuk berladang. Banyak orang tewas karena kelaparan.

***

AKAN tetapi bukan hanya di "wilayah bermasalah" seperti Aceh, Irian Jaya, dan Timor Timur saja pelanggaran berat HAM itu terjadi. Di Pulau Jawa yang secara resmi tidak mengenal adanya kelompok Gerakan Pengacau Keamanan (GPK), pelanggaran HAM juga banyak didasarkan pada pembenaran politis.

Pada awal tahun 1998, tepatnya bulan Februari, potret gelap HAM Indonesia pada tahun ini diawali dengan kabar hilangnya dua aktivis yang kerap menyampaikan tuntutan kritis terhadap pemerintah dalam penegakan HAM. Mereka adalah Pius Lustrilanang (Sekjen Aliansi Demokrasi Rakyat) dan Desmond J Mahesa (Direktur LBH Nusantara Jakarta). Keduanya hilang tanggal 3 Februari. Menyusul Pius dan Desmond, sepuluh aktivis lain pun hilang sepanjang Maret 1998, yaitu Andi Arief, Nezar Patria, Aan Rusdianto, Mugianto, Feisol Reza, Rahardjo Waluyo Djati, Haryanto Taslam, Petrus Bima Anugerah, Herman Hendrawan, dan Suyat.

Isu penculikan aktivis pun menyeruak ke permukaan. Tidak adanya penjelasan yang memuaskan atas hilangnya para aktivis tersebut, membuat beberapa kalangan masyarakat berinisiatif membentuk Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras). Melalui komisi inilah berita tentang penghilangan sejumlah aktivis itu mulai

menjadi jelas, dan berbuah dikembalikannya beberapa dari mereka yang dihilangkan itu kepada keluarganya. Kerja keras para keluarga korban bersama Kontras menghasilkan sembilan orang dilepaskan penculiknya. Mereka menjadi korban penculikan unsur aparat keamanan. Motifnya, jelas karena aktivitas politik para korban sehingga seolah ada pembenaran politis untuk melakukan penculikan tersebut.

Penculikan para aktivis politik sesungguhnya bukan pelanggaran HAM yang baru di Indonesia, karena pada tahun sebelumnya pun pernah dilakukan terhadap sejumlah orang. Yang membedakan, pada tahun ini ada keberanian dari para korban untuk menuturkan pengalaman pahit mereka sekitar proses penculikan dan selama dalam penculikan, sehingga misteri penculikan aktivis pun terkuak. Namun tiga nama masih belum

jelas nasibnya hingga kini, yaitu Petrus Bima Anugerah, Herman Hendrawan, dan Suyat. Dari korban yang sudah dilepas, didapatkan nama korban lain yang berada di satu tempat penyekapan bersama mereka, yang juga kini tidak jelas nasibnya, yaitu Yani Afri, Sonny, Deddy Hamdun, Noval Alkatiri, dan Ismail.

***

POTRET hitam pelanggaran HAM di Indonesia sepanjang tahun 1998 semakin kelam dengan munculnya sejumlah kasus pengingkaran HAM yang berdimensi horisontal, atau pengingkaran HAM oleh sekelompok warga masyarakat terhadap warga masyarakat lainnya. Banyak kasus pelanggaran HAM dalam kategori ini berdimensi hubungan yang kurang harmonis antara kelompok mayoritas dengan kelompok minoritas.

Tragedi 13-15 Mei 1998 di Jakarta dan beberapa kota besar lainnya yang berbentuk penjarahan, perusakan, dan pembakaran, bahkan perkosaan terhadap kaum perempuan dan pembunuhan, memperlihatkan betapa soal mayoritas dan minoritas yang terformulasi dalam isu-isu suku, agama, ras, antargolongan (SARA) mudah sekali dibangkitkan. Insiden perusakan tempat ibadah di Jakarta yang dikenal dengan Insiden Ketapang, lalu menyusul Insiden Kupang, adalah contoh lain masih rapuhnya penghormatan HAM pada banyak warga bangsa Indonesia.

***

YANG jadi masalah kemudian adalah belum jelasnya sikap Pemerintah BJ Habibie menghadapi berbagai tuntutan masyarakat atas kasus pelanggaran HAM. Secara umum dengan melihat perkembangan sampai akhir tahun 1998 ini, jawabannya adalah sebagaimana tahun sebelumnya pada tahun ini pun berbagai soal pelanggaran HAM tidak atau belum diselesaikan secara tuntas. Akibatnya, isu pelanggaran HAM menjadi alat politik yang digunakan untuk kepentingan politik.

Pada kasus penculikan aktivis, di mana mantan Komandan Jenderal Kopassus Letjen TNI Prabowo Subianto sudah dijatuhi sanksi, pemerintah sampai saat ini belum mau menjawab bagaimana nasib korban penculikan lain yang belum dibebaskan. Akses terhadap pengusutan para pelaku maupun penanggung jawab penculikan itu pun tertutup rapat, sehingga sangat diragukan kasus ini akan diusut tuntas.

Begitu juga pada kasus penembakan mahasiswa Trisakti. Meski pengadilan sudah digelar, pelaku penembakan sebenarnya dan siapa penanggung jawab atas terjadinya penembakan itu masih tersembunyi.

Adanya berbagai pelanggaran HAM sepanjang 1998 itu menunjukkan semakin mundurnya Indonesia dari penghormatan HAM, dan masih jauh dan berlikunya jalan menuju pengusutan dan penyelesaian kasus pelanggaran HAM secara adil, manusiawi, dan tuntas. *