MUNIR, “TOKOH 1998” VERSI “UMMAT”

Jakarta, Kompas
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras) Munir-tokoh yang mengungkap kasus penculikan sejumlah aktivis-dinobatkan sebagai "Tokoh 1998" versi Majalah Ummat. Munir berada di peringkat teratas di antara sejumlah nominator kuat lainnya, antara lain Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama (NU) KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Ketua Umum DPP Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais, dan mahasiswa reformis.

Pengumuman penobatan Munir dilakukan Wakil Pemimpin Redaksi Majalah Ummat Syafi’i Anwar, Senin (28/12) di Jakarta. Penghargaan dan trofi diserahkan langsung Pemimpin Umum Abdillah Toha, setelah Dewan Juri melakukan penilaian selama 1,5 bulan terhadap tokoh bersangkutan.

Menurut Syafi’i, penilaian terhadap "Tokoh 1998" dibagi tiga tahap. Pada tahap pertama, terjaring Gus Dur, Amien Rais ("Tokoh 1997"), Munir, dan sejumlah tokoh lainnya. Tahap kedua tinggal Gus Dur, Amien Rais, dan Munir. Sedang tahap ketiga akhirnya terpilih Munir.

"Kami memilih sosok tokoh yang memiliki kepedulian melawan politik kekerasan. Keberaniannya dilandasi keberpihakannya kepada ide dan visi kemanusiaan universal, yang menurut pengakuannya sendiri disemai oleh ajaran agama yang diyakininya. Dengan dasar pandangan itulah pilihan kami jatuh kepada Munir," papar Syafi’i dalam acara yang dihadiri puluhan wartawan.

Tujuan Ummat memilih pria kelahiran Malang, Jawa Timur, 8 Desember 1965, kata Syafi’i, sekadar mengingatkan masyarakat bahwa di Indonesia masih ada orang yang dengan keberanian luar biasa melakukan perlawanan terhadap praktik politik kekerasan. Munir antara lain telah berjasa melakukan perlawanan terhadap politik kekerasan oleh negara (state violence), terutama kekerasan dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang dilakukan aparat militer.

"Ketika orang masih ragu, sungkan, dan bahkan takut bicara tentang keterlibatan militer dalam kasus penculikan mahasiswa dan aktivis politik lainnya, Munir bicara lantang mengungkapkan fakta dan kebenaran. Tanpa ragu ia menyingkap berbagai praktik kekejian dan penistaan harkat dan martabat kemanusiaan sejumlah anak bangsa yang seharusnya dilindungi negara," kata Syafi’i.

Kritikan
Munir, alumnus Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, yang beberapa pekan sebelumnya menerima penghargaan Yap Thiam Hiem mengatakan, anugerah yang diterimanya sebagai sesuatu yang sangat berharga. Namun penghargaan itu diakuinya telah menakutkan diri dan keluarganya.

"Saya sungguh takut karena khawatir penghargaan dan ketenaran ini menyebabkan saya tidak mampu mengontrol diri hingga menjadi manusia yang congkak," kata Munir yang hadir bersama Suciwati, istrinya, dan putranya yang masih berusia tiga bulan, Alif. Munir juga menyatakan terima kasih kepada istrinya yang telah mendorong perjuangannya itu.

Meskipun demikian, Munir yang kini menjabat Kepala Divisi Operasional YLBHI Jakarta, tidak lepas dari berbagai kritik. Mereka yang mengritiknya antara lain Sekjen Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) Hussein Umar, mantan Komandan Pusat Polisi Militer ABRI Mayjen TNI Syamsu Djalaluddin, dan artis Eva Arnaz. Kritikan mereka termuat dalam Ummat edisi terbaru yang sampul depannya memuat Munir sebagai "Tokoh 1998".

Kritikan paling pedas datang dari Eva Arnaz, artis yang kehilangan suaminya (Deddy Hamdun) karena peristiwa penculikan. Eva menilai, apa yang dilakukan dirinya lebih dari sekadar yang dilakukan Munir dengan Kontras-nya. Bahkan ketika ditanya komentarnya mengenai perjuangan Munir, Eva mengatakan, "Capek. Nggak ada ujung pangkalnya, nggak ada hasilnya." (pep/oki)