SOAL PENYIKSAAN, PENGAKUAN KORBAN TAK CUKUP

Jakarta, Kompas
Kolonel (CHK) Rettob Abdullah, Ketua Tim Penasihat Hukum 11 terdakwa anggota Komando Pasukan Khusus TNI AD (Kopassus) yang tergabung dalam Tim Mawar mempertanyakan, apakah memang ada bukti yang cukup bahwa selama dalam masa penculikan telah terjadi penyiksaan terhadap para aktivis politik.

"Pengakuan korban saja tak cukup menjadi bukti. Harus ada alat bukti," kata Rettob kepada pers usai membacakan eksepsi di Mahkamah Militer Tinggi Jakarta, Kamis (31/12). Dalam sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Kol (CHK) Susanto, Rettob menyampaikan eksepsi atas dakwaan Oditur Militer Tinggi Kol (CHK) Harom Wijaya terhadap anggota Tim Mawar yang diketuai Mayor (Inf) Bambang Kristiono.     Sementara, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Munir kepada pers mengatakan, soal tidak adanya alat bukti penyiksaan berupa visum et repertum sebenarnya tak relevan
dipersoalkan karena dakwaan tidak menyangkut penyiksaan.

"Bila diduga ada penganiayaan dan tak ada alat buktinya, oditur seharusnya tidak melimpahkan berita acara pemeriksaan (BAP) ke pengadilan. Seharusnya dikembalikan ke Puspom untuk dicarikan alat bukti, baru dilimpahkan ke pengadilan," katanya.

Tidak munculnya soal penyiksaan dan penganiayaan dalam dakwaan oditur militer menjadi kontroversi dalam sidang kasus penculikan itu. Karena para aktivis politik yang telah dibebaskan, dalam kesaksiannya kepada publik mengaku disiksa dengan berbagai cara, seperti disetrum, dibenamkan dalam bak air, dan ditidurkan di balok es. 

Tidak jelas
Dalam sidang kemarin, Kapten (Inf) Djaka Budi Utama tidak hadir karena sakit. Sementara dalam eksepsinya, Rettob menilai, dakwaan Oditur tidak menunjukkan adanya perbedaan rumusan dakwaan antara dakwaan penculikan dan dakwaan perampasan kemerdekaan, sehingga dakwaan itu menjadi tidak jelas dan kabur. Dakwaan oditur tidak sah dan harus dibatalkan.

Sebelumnya, Oditur Militer Tinggi Kol (CHK) M Harom Widjaya bersama Kol (CHK) M Suratman mendakwa para anggota Tim Mawar yang dipimpin Mayor (Inf) Bambang Kristiono (terdakwa I) telah melakukan penculikan. Oditur menjerat para terdakwa dalam pasal 328 KUHP jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP atau pasal 333 ayat (1) KUHP jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Pelanggaran pasal 328 soal penculikan diancam hukuman 12 tahun penjara.

Kepada pers, Rettob mengatakan, dakwaan oditur tidak jelas dan lengkap. Penekanan pasal 328 KUHP itu adalah masalah penculikan. Syarat penculikan orang harus ditangkap di tempat tinggalnya, atau tempat tinggal sementaranya secara melawan hukum dan di bawah kekuasaannya atau orang lain, atau membuat orang sengsara.

"Kalau perampasan (pasal 333 – Red), orang diambil di mana saja, diborgol, ditutup matanya, dibawa pergi lalu tidak sesuai dengan kehendak yang bersangkutan. Itu namanya perampasan kemerdekaan orang lain," tegasnya. Namun, menurut Rettob, dalam dakwaan oditur, kedua pasal tersebut dirumuskan dengan perbuatan yang sama. 

Seharusnya di Palembang
Rettob juga mengungkapkan, perkara atas nama terdakwa IV Kapten (Inf) Yulianus Selvanus, Kapten (Inf) Untung Budi Harto (V), Kapten (Inf) Dadang Hendra Yudha (VI), Kapten (Inf) Djaka Budi Utama (VII), Kapten (Inf) Fauka Noor Farid (VIII), Serka Sunaryo (IX), dan Serka Sigit Sugianto (X) tidak berdasar untuk diperiksa di Mahmilti II Jakarta.

Para terdakwa, demikian Rettob, secara bersama-sama dan atas perintah terdakwa Mayor Bambang Kristiono telah menangkap aktivis Andi Arief di Bandarlampung. Jadi, khusus untuk penangkapan Andi Arief yang berwenang memeriksa dan mengadili perkara para terdakwa adalah Mahkamah Militer I-04 Palembang karena locus delicti atau tempat tindak pidana dilakukan adalah di Bandarlampung, bukan di wilayah Mahmilti II Jakarta atau Mahmilti I-Medan.

Sementara Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Marzuki Darusman mengatakan, persidangan di Mahmil sekarang ini seharusnya bisa mengakses hasil temuan Dewan Kehormatan Perwira (DKP). Dengan mengakses hasil temuan DKP diharapkan dapat diperoleh kepastian
soal bagaimana keterlibatan orang perorangan dalam kasus penculikan serta status 13 orang yang masih hilang.

"Kita memang masih menghadapi suatu peradilan yang janggal, karena yang dilakukan suatu peradilan militer terhadap 11 anggota Kopassus yang sudah dibatasi penuntutannya hanya terhadap ke-11 itu, sementara pengetahuan masyarakat sudah lebih jauh dari itu," ungkap Marzuki kepada pers di Jakarta, Kamis (31/12). (oki/bb)