Kekerasan dan Operasi Wibawa 99 di Aceh




Untitled Document

SIARAN PERS

1 / SP / KONTRAS / I / 99

KOMISI UNTUK ORANG HILANG DAN KORBAN TINDAK KEKERASAN
(KONTRAS)

Tentang

KEKERASAN DAN OPERASI WIBAWA 99 DI ACEH

Peristiwa jatuhnya 7 (tujuh) korban dikalangan aparat militer dalam operasi KTP yang dilakukan masyarakat desa Lhoknibong, Kec. Siompang Ulin Lhokseumawe, pada tanggal 30 Desember 1998, menimbulkan reaksi keras ABRI dengan menggelar operasi “WIBAWA 99”. Dalam waktu yang teramat singkat (3 hari) operasi tersebut telah mengakibatkan sedikitnya 9 orang warga masyarakat tewas. Serta ratusan lainnya luka-luka dan ditangkap. Operasi tersebut memancing reaksi keras masyarakat Lhosemawe dan sekitarnya, yang menimbulkan berbagai bentrokan fisik, dan kekhawatiran praktek operasi selama DOM berlangsung, muncul kembali.

Operasi Wibawa 99, di bawah koordinasi Danrem 001/Lilawangsa Kol. Jhoni Wahab, dengan dukungan satuan yang dipimpin oleh Dandim Aceh Utara, Aceh Timur, Kapolres Aceh Utara dan Timur, serta didukung oleh pasukan batalyon 111 Tualang Cut, Yonif 125, pasukan gegana, serta didukung beberapa SSK pasukan Marinir dan AD dari wilayah Medan. Operasi besar tersebut menciptakan suasana tidak menentu di beberapa wilayah Aceh Timur dan Utara, serat menimbulkan perluasan wilayah kekerasan dan pelanggaran HAM. yang secara jelas tidak justru mengakibatkan perlawanan massa rakyat mereda, tetapi justru memicu luka lama Aceh kepermukaan.

KONTRAS melihat apa yang sebenarnya terjadi di Aceh adalah riil kasus yang menghadap-hadapkan rakyat "vis a vis" alat-alat negara. realitas konflik di Aceh tergambarkan dengan ciri-ciri pemicu sebagai berikut :

  1. Tidak terdapat alasan-alasan fundamental yang dapat menunjukan adanya konflik horisontal (antar masyarkat).
  2. Meningkatnya terus menerus eskalasi perasaan dan sikap serta tindakn anti terhadap unsur-unsur ABRI/Militer. Hal ini terbangun sebagai akibat dari : (a) tidak adanya pertanggungjawaban terhadap berbagai akibat dari sepuluh tahun operasi militer di Aceh. (b) kasus yang terakhir yang mendorong tanggapan keras masyarakat adalah tindakan (isu) perkosaan aparat Kodim terhadap seorang permpuan yang pulang terawih. (c) tindakn "over acting" aparat dalam membubarkan masyarakat yang mengadakan kamling dan menyiapkan makan sahur.
  3. Adanya pengkondisian keresahan masyarakat dengan cara menggulirkan dan mengembangkan “issu ninja” dan penyerang terhadap beberapa pesantren, yang dilakukan melalui telepon gelap ataupun dari isu berkembang di masyarakat.
  4. Tindakan represif aparat dalam operasi wibawa 99 terhadap semua kelompok masyarakat, justru memperkuat kecenderungan reaksi balik masyarakat atas tindakan represif itu.

Aparat secara sistematik telah memainkan peran mendorong proses dan situasi Aceh, yang secara umum bentuk- bentuk tindakan negara itu antara lain :

  1. Represi terhadap semua unsur resisten,termasuk terhadap simbul-simbul otoritas yang mencoba dibangun masyarakat Aceh sendiri, melalui penggunaan kekerasan dan hukum.
  2. Keselamatan dan kedudukan aparat dihadapan masyarakat telah ditafsirkan sebagai bentyuk kewibawaan hukum dan negara. sehingga dengan semangat itu pula kekerasan dilakukan sebagai basis pembangunan kewibawaan.
  3. Mengkapitalisir unsur-unsur kekerasan dan kriminal, jatuh korban dikalangan aparat, serta ide-ide kemerdekaan, sebagai dasar pembenaran bagi kekerasan dan represi.

Akibat dari berbagai bentuk represi aparat tersebut lahirlah berbagai perlawanan yang seharusnya tidak dapat secara gegabah dituduhkan sebagai GPK ataupun berbagai isu berkaitan dengan gerakan Aceh Merdeka, sebagai berikut :

  1. Berkembang dukungan sangat kuat terhadap aksi penentangan terhadap ABRI dan pemerintah pusat, seperti artikulasi dalam mendukung kemerdekaan (yel-yel kemerdekaan) dan penghantaman simbol negara (bendera), serta mempersenjatai diri. Realitas kehidupan masyarakat Aceh mencerminkan masyarakat eksplosif.
  2. Bagian-bagian tertentu dalam masyarakat membangun upaya memproteksi diri dari bahaya prilaku unsur-unsur militer, seperti melakukan sweeping KTP, mempersenjatai diri dengan berbagai macam senjata tajam, melakukan kamling
  3. Berkembangnya akumulasi dan dukungan atas ide-ide perubahan, serta mendorong massa rakyat siap berkorban untuk apapun yang menyangkut perlawanan.

Berdasarkan rangakaian fakta-fakta tersebut, apa yang terjadi di Aceh justru berkembang dalam kerangka yang tidak terpisah dari :

  1. Tidak terdapat perubahan pola pendekatan sebelum dan sesudah pencabutan status DOM di Aceh (kekerasan adalah media pengembangan “kewibawaan negara” dan ketertundukan warga negara).
  2. Negara menolak pengembangan otoritas masyarakat Aceh untuk menentukan perlakuan dan kondisi Aceh sendiri (diluar perdebatan otonomi wilayah)
  3. Nilai yang diyakini dan resistensi masyarkat ditempatkan ataupun dipandang sebagai lawan upaya menjaga kesatuan wilayah Aceh dalam RI.
  4. Masyarakat Aceh tidak cukup memiliki ruang bagi membangun sebuah otoritas demokratik, dengan niali-nilai yang diyakininya. Sehingga perlawanan tidak tertolakkan, serta segala ide perlawanan akan mendapat dukungan masyarakat Aceh.

Berkaitan dengan persoalan yang berkembang di Aceh, KONTRAS menyatakan sebagai berikut :

Pertama, ABRI dan POLRI harus segera menghentikan operasi kekerasan atau operasi wibawa 99. pengusutan atas kasus jatuhnya korban dikalangan militer dapat dilakukan melalui pengusutan sebagaimana tindak kriminal umumnya.

Kedua, kondisi di Aceh, justru merekomendir ABRI harus mempercepat penarikan pasukan non organik, serta menutup Korem 001/ Lilawangsa di Lhokseumawe, tanpa menggunakan kondisi Aceh sebagai pembenaran mempertahankan pasukan non organik di wilayah tersebut.

Ketiga, ABRI dan POLRI bertanggungjawab atas jatuhnya korban dikalangan rakyat Aceh selama operasi wibawa 99, yang mengakibatkan setidaknya 9 orang tewas, dan ratusan lainnya luka-luka.

Keempat, ABRI harus segera menuntaskan pengusutan terhadap kekejaman yang terjadi secara DOM dan mengajukan para pelaku dan penanggungjawabnya kemuka pengadilan yang terbuka.

Kelima, mempercepat proses rehabilitasi kultura, ekonomi dan politik masyarakat Aceh, melalui penghormatan hak-hak masyarakat untuk menilai kebutuhan dan model masyarakat Aceh sendiri.

Jakarta, 5 Januari 1999

Dewan Penasehat

M.M Billah
Koordinator

Badan Pekerja

Munir
koordinator