TIM MAWAR AKUI CULIK 9 KORBAN

Jakarta, Kompas
Terdakwa kasus penculikan aktivis politik yang tergabung dalam Tim Mawar menyatakan tidak mengetahui adanya korban penculikan lain selain sembilan korban yang sudah dipulangkan. Mereka juga menyangkal telah menyiksa korban dan memaksa korban saat melakukan operasi penculikan yang diistilahkan mereka sebagai "penjemputan". Adanya pengakuan korban bahwa mereka disiksa, menurut terdakwa, hanya cerita korban.

Pengakuan itu disampaikan terdakwa VIII Kapten (Inf) Fauka Noor Farid, terdakwa VII Kapten (Inf) Djaka Budi Utama, terdakwa VI Kapten (Inf)Dadang Hendra Yudha, dan terdakwa V Kapten (Inf) Untung Budi Harto, ketika diperiksa pada sidang lanjutan kasus penculikan, di Mahkamah Militer Tinggi II, Jakarta, Selasa (16/2). Pengakuan serupa juga pernah disampaikan terdakwa IX Serka Sunaryo, terdakwa X Serka Sigit Sugianto, dan terdakwa XI Sertu Sukadi pada persidangan sebelumnya. Sidang akan dilanjutkan Kamis (18/2).

Menurut Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Munir yang hadir di persidangan, makin jelas bahwa persidangan tidak punya upaya keras untuk membuktikan adanya korbanpenculikan lain dan juga penyiksaan terhadap korban.

"Siapa pun kalau hanya ditanya apakah tahu ada korban lain, ya akan menjawab tidak tahu. Itu gampang saja. Proses pembuktiannya ya bukan seperti itu, tetapi harus dicari saksi-saksi yang menguatkan. Untuk soal penyiksaan pun, sejak awal kami maupun Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sudah meminta agar Pusat Polisi Militer ABRI melakukan visum atas luka yang dialami para korban, tetapi itu tidak dilakukan," ungkap Munir.
       
Cerita korban
Keempat terdakwa yang diperiksa pada persidangan kemarin menyatakan, apa yang disampaikan korban mengenai adanya korban penculikan lain hanyalah cerita korban. Namun, para terdakwa yang tergabung dalam Tim Mawar yang beroperasi mulai pertengahan Juli 1997 sampai April 1998, menyatakan tidak tahu apakah ada tim serupa selain Tim Mawar.

Suasana sidang yang dipimpin Hakim Ketua Kol (CHK) Susanto, sempat "hangat" ketika persidangan memeriksa terdakwa VI Kapten Dadang Hendra Yudha. Hakim ketua sempat berdebat dengan terdakwa berkaitan dengan istilah "penjemputan" yang digunakan para terdakwa termasuk terdakwa VI Dadang Hendra Yudha, dan penegasan berulang-ulang dari terdakwa bahwa perbuatan yang dilakukannya adalah benar.

Kepada terdakwa VI Dadang, hakim ketua menjelaskan panjang lebar bahwa istilah penjemputan dalam bahasa Indonesia mempunyai arti tersendiri. "Penjemputan" yang dilakukan terdakwa terhadap para korban tanpa kesepakatan sebelumnya dengan korban, yang kemudian disertai dengan penutupan mata para korban selama dalam perjalanan menuju posko taktis Tim Mawar di Cijantung, serta penyekapan korban selama berhari-hari, bukanlah suatu penjemputan.

"Apa kamu kalau disuruh menjemput mertuamu akan melakukan hal yang sama?" tanya hakim ketua, yang kemudian dijawab terdakwa dengan jawaban, "Itu lain permasalahannya, Pak."
       
Persuasif
Ketua majelis hakim Susanto berkali-kali mempertanyakan kebenaran jawaban terdakwa mengenai kesukarelaan korban atas ajakan terdakwa masuk ke mobil tim terdakwa. Susanto tidak yakin para korban mau diajak begitu saja oleh orang yang tidak dikenalnya, dan juga tidak bertanya mengapa dirinya harus diborgol dan ditutup mata. Sementara terdakwamengatakan korban yang "dijemputnya" tidak mempertanyakan ke manamereka akan dibawa, juga tidak mempertanyakan kenapa mata mereka ditutup selama dalam perjalanan.

"Bapak mungkin berpendapat seperti itu, kenyataannya dia mau saja saya ajak. Saya melakukannya dengan persuasif," ungkap terdakwa Kapten Dadang berapi-api.

Terdakwa VI yang memegang jabatan sebagai Komandan Detasemen III Batalyon 42 Kopassus itu pun menegaskan bahwa pengumpulan data dan "penjemputan" yang dilakukannya tidak bertentangan dengan tugas Batalyon Sandi Yudha.        

Perintah lisan
Dalam pemeriksaan, keterangan para terdakwa umumnya serupa. Mereka mendapat perintah secara lisan dari terdakwa I Komandan Batalyon 42, Mayor (Inf) Bambang Kristiono, untuk bergabung dalam Tim Mawar. Para terdakwa perwira Kopassus itu juga tidak mempertanyakan surat perintah tertulis dari komandan mereka. Mereka juga menyatakan tidak tahu mengenai adanya pimpinan lain di atas terdakwa I. Dalam dakwaan, Bambang Kristiono membentuk Tim Mawar
dan melakukan penculikan aktivis atas panggilan nuraninya.

Perintah penculikan disampaikan Bambang Kristiono melalui komandan unit I Tim Mawar yaitu terdakwa V Kapten (Inf) Untung Budi Harto, dan Komandan unit II yaitu terdakwa IV Kapten (Inf) Yulius Selvanus. Untuk kebutuhan operasi, Tim Mawar dilengkapi dengan satu mobil Great Corolla, dua mobil Kijang, dan dua mobil Katana. Para anggota tim ini pun selama tergabung dalam Tim Mawar hanya melakukan tugas-tugas di tim khusus tersebut, dan bermarkas di markas Tim Mawar. Mengenai siapa yang membiayai kegiatan tim, termasuk membelikan tiket pesawat dan tiket kereta api untuk para korban, para terdakwa menyatakan tidak tahu.

Mengenai barang bukti mobil Haryanto Taslam, terdakwa V Kapten Untung Budi Harto mengakui telah menjual mobil tersebut meski tanpa disertai surat semestinya. Hal itu dilakukan setelah berkoordinasi dengan Haryanto Taslam. Mobil Lancer warna biru milik Haryanto itu hanya laku Rp 5 juta, sementara terdakwa sendiri harus mengganti kepada Haryanto Rp 16 juta. "Dijualnya pun tanpa tanda bukti Pak, dasarnya hanya kepercayaan," ungkap terdakwa Kapten Untung yang lulusan Akademi Militer tahun 1988 itu. (oki)