Laporan Lanjutan Kerusuhan Ambon




Untitled Document

SIARAN PERS

6 / SP-KONTRAS / II / 99

KONTRAS

LAPORAN LANJUTAN KERUSUHAN AMBON

Belum berujungnya kerusuhan Ambon hingga saat ini, patut mendapatkan perhatian yang serius dari kita semua. Berdasarkan updating data yang diperoleh KONTRAS melaporkan perkembangan sebgai berikut :

Fakta-fakta di lapangan seperti mudahnya konsentrasi massa terjadi dalam jumlah yang masive di berbagai tempat dalam waktu yang bersamaan, rangkaian peristiwa yang begitu cepat dari satu tempat ke tempat-tampat lain dengan isue-isue yang provokatif, bahkan peritiwa tangggal 19 Januari yang mengawali kerusuhan lanjutan pada keesokan harinya terjadi di tempat yang berbeda dalam tempo yang hampir bersamaan, membuat kita jadi patut bertanya apakah peristiwa-peristiwa tersebut merupakan rangkaian kejadian terencana ?

KONTRAS melihat bahwa peristiwa pada tanggal 19 hingga 23 Januari tersebut bukanlah merupakan suatu peristiwa mandiri yang lepas dari peristiwa terdahulu sebagai prakondisi dan kejadian lanjutan paska peristiwa. Hal ini mengingat meletusnya kerusushan yang bernuansa antar agama ini memanfaatkan situasi konflik lokal dalam masyarakat Ambon.

Peristiwa Ambon sebagai suatu rangkaian peristiwa dapat dilihat dari tiga tahapan sebagai berikut :

I. Prakondisi

Pertentangan antar kelompok yang melibatkan sentimen agama sebagai isu berakibat pada meletusnya kerusushan pada tanggal 19 hingga 23 Januari 1999.

Sebagai suatu kondisi psikologis maupun yang pernah mengemuka menjadi konflik terbuka antar kelompok agama memang realitas yamg rupanya telah lama terdapat di dalam masyarakat. Bukti-bukti   untuk hal ini adalah kejadian-kejadian yang sebelum peristiwa kerusuhan bulan Januari ini terjadi. Yakni misalnya pertikaian yang terjadi pada tanggal 3 Maret 1995 antar warga desa Kelang Asaude dan warga desa Tumalehu, peristiwa serupa terjadi juga pada tanggal 21 Februari 1996.

Namun demikian, dari peristiwa terdahulu tersebutselalu berhasil dikeluarkan kesepakatan damai diantara pihak-pihak yang bertikai dan mampu meredam konflik terbuka. Hal ini menunjukan bahwa di tingkat masyarakat sendiri, berbagai konflik yang ada dan sempat mengemuka dalam bentuk pertikaian antar kelompok tersebut mampu dikendalikan dengan baik dan teredam secara damai.

Fakta-fakta tersebut di atas menujukan bahwa dari kondisi obyektif menunjukan adanya konflik yang bersifat lokal dan sesekali menjadi suatu pertentangan terbuka. Situasi inilah yang juga mulai nampak dimainkan dan mengemuka pada masa mendekati waktu kerusuhan terjadi dalam aktivitas-aktivitas sebagai berikut :

  1. Pada tanggal 15 Januari di kecamatan Dobo telah terjadi perkelahian antar kelompok yang mengatasnamakan agama. Hal serupa terjadi juga di wilayah Wailete dan Bak Air.
  2. pada pertengahan bulan Januari telah berkembang isu konflik antar agama dan bahaya saling menyerang.penyebaran isu melalui beredarnya selebaran di kalangan kelompok-kelompok yang bertikai.selebaran berisi berbagai informasi yang mempertajam sentimen agama.
  3. adanya mobilisasi kelompok-kelompok massa tertentu dari luar daerah Ambon menjelang dan ketika kerusuhan.

II. Peristiwa Kerusuhan Tanggal 19-23 Januari

Kerusuhan dicetus (trigering factor) ditiga wilayah sekaligus : Simpang Tiga antara Batu Merah-Amantelu dan Galunggung, Jalan depan Gereja Silo dandaerah Rajali.

Peristiwa perkelahian antara seorang sopir dan preman di Simpang Tiga antara Batu Merah, Amantelu dan Galunggung justru adalah sebuah peristiwa yang sama sekali tidak berhubungan dengan apa yang secara sangat cepat berubah menjadi pertikaian antar kelompok agama. Pada saat yang sama ditempat yang berbeda-beda, ternyata konsentrasi massa terjadi pula dengan isu pertikaian agama, dan dugaan akan terjadinya penyerangan oleh kelompok lain, seperti dikalangan Kristen beredar isu bahwa ada sebuah gereja dibakar, sementara dikalangan Islam juga telah beredar bahwa masjid Al-Fatah juga telah dibakar. Padahal, pada saat itu apa yang diberitakan tersebut tidak terjadi kebakaran pada obyek yang disebutkan.         

Kerusuhan tanggal 19 Januari terjadi begitu cepat dan menyebar dalam konsentrasi massa dalam jumlah yang cukup besar di beberapa tempat antara pukul 15.30-16.45 WITA.

Konsentrasi massa dalam jumlah besar berada di Silo dengan lima sampai enam ribu orang, akibat isu akan memperoleh serangan dan telah terhadi pembakaran gereja, sehingga harus merespon dan mempertahankan diri. Dalam jumlah yang cukup besar terjadi pula di daerah Mahardika, Rijali, Waringin, Kudamati, AR .Sarobar, Way Haung dan beberapa tempat lain. Massa juga berkonsentrasi untuk mengajukan konvirmasi isu penyerangantempat beribadah tersebut. Konsentrasi itu, berubah secara mendadak menjadi kerusuhan, berupa perusakan dan penyerangan antar kelompok terjadi dengan lokasi di berbagai tempat di hampir seluruh kota Ambon. Perusakan atau pembakaran mengarah pada tempat-tempat ibadah baik masjid maupun gereja, rumah-rumah penduduk dan pertokoan serta pasar.

Tanggal 20 Januari, berkembang isu masjid AL-Fatah terbakar. Hal itu berakibat reaksi massa dari Hila secara serentak berjalan menuju kota Ambon dan terseret ke dalam kerusuhan dan penyerangan. Beberapa laporan menunjukan adanya kelompok asing mempengaruhi akselerasi massa dengan bantuan alat komunikasi berupa HT dan handphone serta membawa senjata api. Aparat melakukan reaksi yang sama terjadi sebagaimana pada sebelumnya.

Perusakan dilakukan secara bergelombang oleh kelompok-kelompok massa dengan para pemimpinnya yang mengorganisasi gerak massa maupun memprovokasinya dengan memanfaatkan sentimen agama dan suku. Yang aneh dalam provokasi tersebut terdapat kata-kata dan istilah yang tidak lazim digunakan di Ambon, seperti sebutan ‘nasrani’ dan bukan ‘srani’, atau bahkan selebaran dengan bahasa Arab yang ditulis dengan tidak benar, grafiti yang ditinggalkan dalam aksi perusakan yang tidak lazim atau janggal untuk masyarakat Ambon, dan lain-lain.

Pertikaian tersebut berlanjut sampai beberapa waktu dengan akumulasi respon dan akselerasi massa, tanpa mampu melakukan koreksi yang efektif dan upaya peredaman serta pemecahan akar masalah.

Sejauh ini yang dilakukan adalah pertaemuan simbolik yang menghasilkan kesepakatan perdamaian antara para pemuka masyarakat, para pemimipin agama , pihak pemerintah dan aparat keamanan. Penandatanagan kesepakatan ini terjadi pada tanggal 25 Januari 1999 dan ditanda tangani oleh masing-masing perwakilan termasuk Walikotamadya Ambon.

III. Kejanggalan-kejanggalan dalam Kerusuhan Ambon

Setalah kerusuhan reda, aparat keamanan melalui Kapolri segera mengumumkan bahwa situasi aman dan terkendali. Pada saat yang sama warga Ambon yang ketakutan masih berusaha mengungsi ketempat-tempat yang dianggap aman.

Kerusakan total hampir terjadi di setiap sudut kota Ambon. Namun dari sinipun terlihat beberapa hal yang janggal : yakni, rupanya pada saat kerusuhan terjadi telah dilakukan pemilihan sasran perusakan maupun pembakaran. Hal ini terbukti dari adanya beberapa bangunan seperti Swalayan Matahari yang utuh tak tersentuh perusuh, sementara hampirseluruh bangunan disekelilingnya rusak total. Hal sejenis terjadi di pertokoan-pertokoan tertentu lainnya.

Meskipun pihak keamanan selalu meyakinkan bahwa keadaan telah aman dan ini diperkuat dengan dilakukannya pembicaraan antara para pemuka masyarakat, pihak pemerintahan, aparat keamanan dan pemuka agama, namun situasi di kota Ambon tetap mencekam. Jam malam diberlakukan. Sentimen masing-masing kelompok juga masih cukup tinggi dan kerusuhan lanjutan dalam skala yang lebih kecil masih terjadi. Bahkan pada tanggal 2 Februari terjadi lagi penyaerangan dan pertikaian yang akhirnya kembali menelan korban jiwa.

1. Slebaran-slebaran dan adu domba.
Pada tanggal 2 Februari ini slebaran yang menyatakan adanya isu pertentangan kembali muncul. Di kalangan Islam beredar isu akan adanya Kristenisasi, sedangkan dikalangan Kristen beredar isu akan adanya serangan balasan.
Ditengah situasi demikian, lima orang menteri termasuk Menhankam/Pangab Jendral Wiranto melakukan kunjungan ke Ambon dan mengajak pada semua pihak untuk menyelesaikan masalah. Namun demikiaan upaya pengungkapan kasus dan penangan terhadap paska kerusuhan ini pun masih terasa lamban. Ditambah pernyataan dari pihak keamanan yang tidak secara transparan memberikan klarifikasi sehingga kini masih menyisakan banyak pertanyaan mengenai peristiwa berdarah tersebut.

2. Pemindahan dan penarikan pos penjagaan Kariu oleh pihak keamanan yang dilanjutkan dengan pembakaran.
Tanggal 13 Januari 1999 terjadi peristiwa yang bermula dari suatu kejanggalan dengan dicabutnya sebuah pos penjagaan di desa Kariu oleh seorang Komandan Regu Kostrad bernama S. Dan dipindahkan ke dusun Nanaca. Sebelumnya, telah pula terjadi beberapa keanehan dengan dilarangnya warga Kariu masuk ke daerah Kailolo, dan ini diketahui oleh aparat keamanan.
Tanggal 14 Februari , sekitar pukul 03.00 WITA listrik di desa Kariu padam dan sekitar pukul 03.00 WITA ada rumah masyarakat Kariu dibakar. Posisi rumah yang pertama di bakar itu ada di Pilou dan Kariu.
Sekitar pukul 06.00 WITA desa Kariu diserang oleh kelompok Islam dari desa Kariu, Ori, dan delapan desa Islam di sekitarnya. Pada saat penyerangan, pihak aparat yang dipimpin oleh Danru S ikut serta dengan mencopot seragam dan menggantikannya dengan pakaian sipil dengan sorban putih. Pada senjata mereka pun diikat dengan kain putih.
Sekitar jam 08.00 tanggal 14 Februari, masyarakat Hulaliu melihat adanya asap kebakaran di desa Kariu dan mereka bermaksud datang untukmenolong. Namun diperbatasan desa Ori mereka dihadang oleh pasukan dari Kostrad yang telah membentuk formasi “L” untuk mengepung dan mengembalikan mereka ke Halaliu.
Hasil dari peristiwa ini, pukul 15.00 WITA gereja GPM dibakar massa, padahal gereja ini mereka titipkan kepada aparat keamanan dalam keadaan masih utuh. Di desa Kariu 2 gereja juga habis terbakar.

3. Fakta korban
Laporan yang diterima KONTRAS juga menyiratkan gambaran yang aneh mengenai korban kerusuhan, seperti yang terjadi dalam peristiwa Waruku didesa Hulaliu, dari 12 korban yang meninggal 10 diantaranya diakibatkan oleh luka tembak termasuk sejumlah permpuan, 1 orang luka panah dan satu orang terbakar. Begitupun jenis luka, dari 34 korban luka, 24 diantaranya adalah luka tembak, 3 luka akibat bom, 4 akibat panah dan akibat potong.
Hingga saat ini situasi kota Ambon masih dalam keadaan yang mencekam. Bahkan pada hari ini, 18 Februari pukul 06.00 WITA tanpa adanya kerusuhan telah terjadi penembakan oleh aparat Kostrad di Kudamati, korban masih dirawat.

KESIMPULAN

Dari rangkaian fakta-fakta di atas, KONTRAS, menyimpulkan   beberapa hal sebagai berikut :

  1. Peristiwa kerusushan Ambon adalah hasil proses akumulasi konflik antar kelompok yang pada mulanya bersifat lokal, namun oleh karena keterlibatan peran-peran tertemtu dari sejumlah provokator serta kurangnya perhatian dan penanganan aparat keamanan beruban menjadi kerusuhan dengan skala dan kerusakan yag luas dan fatal.
  2. Fakta lapangan pasca kerusuhan, memperlihatkan adanya aktivitas-aktivitas berbagai kepentingan politik non lokal, berupa peredaran slebaran dan dokumen-dokumen dengan isu-isu tertentu yang bisa memanasi keadaan.
  3. dari sudut peran dan tanggungjawab negara, kerusuhan di Ambon tersebut tidak dapat dilihat secara terpisah dari peristiwa serupa yang telah terjadi di beberapa daerah Indonesia selama ini. Yakni bersumber dari lemahnya integrasi sosial yang selama ini dibangun oleh Orde Baru yang sentralistik, koersif dan state centered development dan gagal membangun sistem yang mendirikan masyarakat.
  4. Dari sudut tanggungjawab pengamanan, dari meletusnya kerusuhan Ambon, KONTRAS melihat adanya kejanggalan dalam peran aparat keamanan dan militer. Ini terlihat dari beberapa fakta berikut :
    • Disebagian wilayah lain ,terlihat tidak seragamnya sikap aparat keamanan disebagian lokasi ada anggota aparat keamanan " membiarkan" laju gerak massa ke arah kota Ambon, namun dil alin tempat aparat yang lai lagi justru menahan laju pergerakan massa.
    • Dilokasi tertentu fakta lapangan menunjukan adanya semacam pengorganisasian yang cukup rapi dalam peristiwa tersebut, mulai dari penciptaan prakondisi, pemanfaatan potensi konflik lokal, terlihatnya para provokator dan penggerak massa yang dilengkapi dengang sarana komunikasi yang canggih dan senjata api, pembagian senjata tajam oleh anggota aparat keamanan kepada beberapa kelompok massa yang saling bertikai.

Ini menimbulkan tanda tanya kuat apakah ada kemungkinan bahwa paling tidak sebagian dari aparat keamanan dan militer telah memberikan kemudahan bagi terjadinya kerusuhan ?

Jakarta, 18 Februari 1999

Koordinator

MUNIR