Hubungan Kerusuhan Dengan Perkembangan Politik Nasional

SIARAN PERS

NO. 13 / SP †KONTRAS / III / 99

KOMSI UNTUK ORANG HILANG DAN KORBAN TINDAK KEKERASAN

( KONTRAS )

Tentang :

HUBUNGAN KERUSUHAN DENGAN PERKEMBANGAN POLITIK NASIONAL

Kondisi Stuktural dan Kerusuhan

Kurun waktu tiga tahun terakhir ini, bangsa Indonesia berada dalam kondisi yang paling memprihatinkan dalam sejarahnya. Berbagai kerusuhan terjadi dari tahun 1996 seperti peristiwa †peristiwa Sabtu Kelabu 27 Juli 1996 di Jakarta, Abepura, Sanggau-Ledo, Situbondo, Tasikmalaya, Kerawang, Aceh dan seterusnya, seakan tak kunjung selesai. Sampai akhirnya krisis ekonomi semakin membuktikan bobroknya sistem kemasyarakatan yang selama 30 tahun dibangun Orde Baru. Krisis ekonomi †politik kemudian semakin memperburuk keadaan hingga kita terpuruk ketitik yang paling rendah, sehingga dicap sebagai bangsa yang kurang beradab. Peristiwa kerusuhan dan perkosaan massal pada Mei 1998, peristiwa Semanggi, Banyuwangi, Ketapang, Kupang, Ambon dan terakhir Sambas, adalah bukti dari semua itu.

Pergantian pemimpin pemerintahan di tengah krisis nasional, yang oleh sebagian pihak dianggap sebagai awal dari pembaharuan sistem, ternyata justru menanpilkan dirinya hanya sebagai rezim pemerintahan yang tidak mampu memenuhi harapan seluruh rakyat yang sedang menunggu tindakan kepastian hukum, dan bahkan dengan menahan amarah. Dan ketika pemerintahan yang hadir kemudian terbukti tidak pernah benar †benar menjadi bagian yang berkehendak terhadap pembaruan yang dinantikan itu, amarah demi amarah termanifestasi dalam bentuk ledakan †ledakan kekecewaan yang tak terkendali. Dalam wujudnya yang nyata ia tampil di dalam amuk †amuk massa.

Medium dari amuk massa ini pertama, antara warga masyarakat dengan aparat negara baik sipil maupun militer. Selama ini Orde Baru ternyata telah membangun sebuah sruktur masyarakat yang amat rapuh sebagai akibat dari kesalahan strategi pembangunan yang dipilih maupun buruknya kinerja birokrasi yang menindas dan dilumuri oleh korupsi, kolusi dan nepotisme. Penyelenggaraan negara yang demikian kacau telah menempatkan bagian terbesar rakyat pada posisi yang lemah dan terpinggirkan. Di sisi lain, birokrasi baik sipil dan terutama sekali militer yang korup, bersama pemodal besar telah tampil sebagai pihak yang amat berkuasa. Aliansi ketiga kelompok inilah yang selama ini begitu dikenal oleh rakyat sebagai pihak yang paling bertanggunjawab atas kekerasan dan ketertindasan mereka. Dari sini terbentuklah semacam kebencian sebagai situasi psikologis massa rakyat yang pada gilirannya mendorong berbagai amuk massa yang terjadi cenderung dialamatkan kepada mereka dengan perusakan terhadap simbol †simbol dan aset †aset milik ketiga kelompok tersebut seperti sentra ekonomi, kantor birokrasi dan aparat keamanan.

Medium kedua, pertentangan antar sesama warga masyarakat. Medium kedua ini terjadi akibat gagalnya upaya pembangunan integrasi sosial yang kuat oleh penyelengara negara. tumapang tindihnya segrasi tempat tinggal berdasarkan etnis/ ras dengan basis ekonomi, atau berbagia kondisi yang sering kali bahkan didorong oleh berbagai kebijakan yang memunculkan polarisasi kelompok, pada akhirnya memposisikan dua pihak yang saling berhadapan seperti pribumi dan non †pribumi, pendatang dan penduduk asli, agama satu dengan yang lain. Tidak mengherankan ketika kemudian terjadi provokasi, masyarakat dengan mudah terpelintir ke arah pertentangan antar sesama mereka dalam konflik terbuka.

Lemahnya Negara

Kekacauan politik dan sosial semacam yang terjadi di Indonesia saat ini sesungguhnya bukanlah khas dan satu †satunya. Secara struktural ini merupakan sebuah keniscayaan dalam sistem ekonomi yang sedang bertransisi untuk semakin terintegrasi ke dalam sistem kapitalisme global dengan segala prasyaratnya. Dalam masa transisi tersebut, minimal terdapat dua kecenderung yang muaranya akan diarahkan pada penyiapan infrastruktur yang mampu menjamin kelangsungan investasi dan beroperasinya modal internasional. Dua kecenderungan ini adalah menguatnya kembali kekuatan †keuatan konservatif oleh kebosanan menghadapi situasi transisi yang tidak menentu. Kedenderungan kedua adalah munculnya kembali rejim yang tetap akan melestarikan sistem otoritarianismenya sebagai instrumen yang akan mengganggu perputaran modal.

Sebagaimana umumnya terjadi negara †negara dunia ketiga, kekuatan kapitalisme internasional memanfaatkan rejim otoriter sebagai alat penjamin kepentingannya. Dalam kerangka ini pula kiranya Indonesia memiliki posisinya di dalam kondisi transisional yang terjadi akhir †akhir ini. Logika ini menjadi alasan yang cukup bagi adanya dugaan bahwa kekuatan rejim lama di Indonesia memiliki kepentingan yang besar tetap eksis sebagai kekuatan yang dominan di dalam sistem politik di masa †masa yang akan datang. Konsekuensinya adalah bahwa sisa †sisa kekuatan rezim lama di dalam tubuh negara saat ini, melalui alat †alatnya, merupakan bagian yang tidak terpisah dari skenario pembentukan kekuasaan yang baru.

Dari pandangan di atas KONTRAS khawatir bahwa berbagai kerusuhan massal yang terjadi akhr †akhir ini justru dapat dijadikan alasan pembenar terhadap pembentukan rejim repressif untuk semakin ketat mengontrol rakyat. Alat †alat negara, juga dapat menjadi bagian dari konflik yang timbul. Dugaan ini muncul dari berbagai temuan lapangan dan kaitan †kaitan logis dari rangkaian peristiwa dan pembuatan kebijakan †kebijakan baru sebagai jawaban atas krisis dan kerusuhan yang terjadi.

  • Beberapa temuan lapangan dari investigasi atas peristiwa Mei 1998, Banyuwangi, Ketapang, Ambon, dan lain †lain memberi indikasi yang kuat bahwa aparat keamanan yang seharusnya bertugas menjamin keamanan masyarakat justru terlibat dalam melakukan provokasi maupun penggerak massa, atau minimal terkesan membiarkan berlangsungnya kerusuhan.
  • Sebagian peristiwa seperti kerusuhan Ambon bahkan memperlihatkan turut berperannya konflik elit politik di tingkat pusat sebagai salah satu pemicu dan menjadi penggerak yang mampu membelokan potensi konflik di tingkat lokal yang memang sudah ada menjadi terbuka dan termanifestasi dalam pertikaian horisontal dalam masyarakat.
  • Pranata dan peran †peran sosial dalam struktur masyarakat yang dibentuk Orde Baru tidak lagi berfungsi sebagaimana dibutuhkan. Kewibawaan pemerintah pun jatuh terpuruk hingga titik nadirnya dihadapan rakyat sendiri oleh ketidakmampuannya.
  • Kerusuhan dan gejolak amuk massa yang selalu dihadapi dengan represi oleh aparat hanya semakin menunjukan watak asli rezim yang militeristik.
  • Dalam situasi yang serba tidak menentu dengan kerusuhan yang meledak dimana †mana, tidak satupun pihak bertanggungjawab dan mampu secara efektif mengendalikan situasi. Aparat keamanan terbukti tidak pernah sanggup menghadapi kerusuhan dan meredakan keadaan dalam menjamin keamanan.
  • Dalam kondisi negara porak poranda dan terus bergerak ke arah yang semakin mengkhawatirkan, tidak terlihat upaya yang sungguh †sungguh dari Pemrintah Habibie untuk menyelesaikan persoalan. Ini memberikan kesan terhadap lemahnya pemerintahan Habibie, atau lebih parah bahkan pemerintah tidak bertanggungjawab terhadap negara yang mereka pimpin.

Pendirian Kodam baru bukanlah jawaban yang pas untuk meredam kerusuhan

Upaya militer dalam menghidupkan kembali Kodam †Kodam yang pernah dilikuidasi, sebagaimana diungkapkan oleh ABRI bukanlah jawaban tepat atas tuntutan terhadap tanggung jawab mereka.

KONTRAS melihat kejanggalan †kejanggalan atas pendirian Kodam baru tersebut sebagai berikut :

  1. Doktrin ABRI dalam operasi teritorial yang dimanifestasikan dalam bentuk Komando Daerah Militer adalah ditujukan sebagai upaya terhadap pertahan wilayah negara dari ancaman keamanan yang datang dari luar.
  2. Pasukan militer kita tidak dilatih dan disiapkan secara khusus untuk menghadapi kerusuhan †kerusuhan. Yang lebih masuk akal, seharusnya yang dimekarkan dan ditambah kapasitasnya adalah aparat kepolisian aparat pemilihara ketertiban umum di dalam masyarakat sipil. Sehingga syarat pertama dalam upaya ini adalah terpisahnya secara jelas POLRI dari ABRI.
  3. Melihat pengalaman strtuktur pemerintahan Orde Baru, penghidupan kembali Kodam †Kodam berimplikasi pada bertambahnya peran politik ABRI dalam kehidupan sipil. Ini bertentangan dengan apa yang telah dikemukakan oleh pemerintah dan ABRI serta tuntutan masyarakat yang luas untuk mengurangi peran sospol ABRI.
  4. Langkah yang ditempuh ABRI dengan meningkatka status wilayah dalam operasi teritorialnya dengan justifikasisebagai peredam kerusuhan, justru menunjukan kesan bahwa ABRI mengambil manfaat dari terjadinya kerusuhan yang terjadi selama ini. Ia lebih terlihat sebagai manuver ABRI untuk kembali memperkuat pengaruhnya dalam kehidupan sosial dan politik sipil seperti pada masa Orde Baru.
  5. Penanganan berbagai peristiwa kerusuhan selama ini telah membuktikan kepada kita bahwa aparat militer tidak mampu bertanggung jawab atas terjaminnya keamanan rakyat. Bahkan birokrasi militer tidak jarang menjadi bagian dari masalah yang terjadi sebagai konsekuensi dari keterlibatan mereka dalam melakukan tindakan yang memarginalisasi rakyat. Sehingga penambahan pasukan dan peningkatan status daerah militer adalah sebuah jawaban yang sangat tidak tepat sebagai solusi yang ditawarkan.

Jakarta, 23 Maret 1999

M U N I R, SHMM BILLAH
Badan PekerjaBadan Penasehat
KoordinatorAnggota