TAK PERLU RAGU TERTIBKAN “KAKAK”

PEMERINTAH memang belum mengumumkan secara jelas, tahapan dan batas waktu proses pemisahan Kepolisian RI (Polri) dari ABRI, dan perubahan-perubahan apa saja yang akan dilakukan. Selain itu, pemerintah juga belum mencabut Undang-undang (UU) No 20/1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara RI, karena beberapa ketentuan dalam UU itu tidak mengatur atau memberikan pembatasan yang jelas antara tugas Kepolisian dengan satuan angkatan perang.

Oleh karena ketidakjelasan itu, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Munir mengingatkan agar pemerintah segera mengumumkannya. Peringatan Munir itu berkaitan dengan pernyataan Menhankam/Pangab Jenderal TNI Wiranto, bahwa berbagai langkah dalam rangka pemisahan Polri dari ABRI menuju kemandirian Polri akan dilaksanakan secara bertahap, termasuk perubahan struktur organisasi, piranti lunak, dan sosialisasinya,
baik ke dalam jajaran ABRI maupun masyarakat (Kompas, 1/4).

Menurut Munir, pemisahan tersebut mengundang berbagai harapan terhadap peningkatan profesionalisme dan kemandirian Polri dari kecenderungan intervensi politik serta mempersempit ruang penggunaan kekerasan oleh kepolisian akibat posisi dan perilaku kemiliteran (combat). Pemisahan tersebut merupakan keharusan yang tidak dapat ditunda untuk meningkatkan peran kepolisian sebagai bagian dari criminal justice system (sistem peradilan pidana) dan mendorong
tercapainya tertib hukum.

Akan tetapi, menurut Munir, pemerintah seharusnya mengumumkan secara jelas tahapan dan batas waktu proses pemisahan tersebut serta perubahan-perubahan yang dilakukan pada tiap tahapan. Misalnya, perubahan kepangkatan, struktur komando, hubungan-hubungan kelembagaan, pola pembinaan, dan anggaran.

Selain itu, lanjut Munir, sebagai konsekuensi pemisahan itu, pemerintah perlu mencabut UU No 20/1982. Beberapa ketentuan dari UU tersebut sama sekali tidak mengatur dan memberikan pembatasan yang jelas antara tugas kepolisian dengan satuan angkatan perang. Misalnya dalam pasal 28 antara lain disebutkan, "Angkatan Bersenjata diarahkan agar secara aktif mampu meningkatkan dan memperkukuh ketahanan nasional dengan ikut serta dalam pengambilan keputusan mengenai masalah kenegaraan dan pemerintahan".

Pencabutan UU tersebut, ungkap Munir, sekaligus mengandung kewajiban menerbitkan regulasi baru yang membatasi secara tegas kewenangan ABRI dan berbagai perangkatnya dalam menjalankan fungsi pertahanan dan keamanan serta ketertiban dan keamanan masyarakat (Kamtibmas). Selama ini, fungsi teritorial ABRI seperti Koramil ataupun Kodim telah mengambil alih tugas dan pekerjaan kepolisian.

"Kalau pemisahan dilakukan untuk mendorong fungsi kepolisian, harus ada pembatasan secara tegas keterlibatan angkatan perang dalam operasi ketertiban sipil seperti mengatasi unjuk rasa, melakukan operasi penggerebekan tempat kriminalitas, melakukan pemanggilan terhadap masyarakat yang melakukan aktivitas-aktivitas tertentu, termasuk melakukan cegah tangkal (cekal)," katanya.

Menurut Munir, untuk mendorong tercapainya kemandirian, kepolisian perlu ditempatkan dalam struktur organisasi dengan kewibawaan yang setingkat dengan Pangab. Dengan kemandirian itu, untuk melibatkan militer, kepolisian perlu menjelaskan alasan-alasannya. "Selama ini, militer terlibat karena polisi dianggap
tidak mampu, tetapi polisi tidak menjelaskan. Oleh karena itu, kepolisian perlu menyatakan mampu atau tidak, sehingga militer perlu dilibatkan," katanya.

***

SELAMA ini, kendala utama yang selalu dijadikan polisi sebagai alasan tidak mampu menciptakan Kamtibmas (keamanan dan ketertiban masyarakat) yang baik, adalah ihwal sedikitnya jumlah polisi dibanding jumlah penduduk. Maka, untuk mempercepat pencapaian rasio jumlah polisi dan jumlah penduduk 1:750, menurut Kapolri Jenderal (Pol) Roesmanhadi, akan diupayakan perpanjangan usia pensiun bagi para tamtama dan bintara. Sedangkan masa pendidikan polisi yang semula
11 bulan juga akan diperpendek menjadi sekitar enam bulan.

Berbicara kepada pers ihwal pemisahan Polri dari ABRI, Kamis (1/4), Kapolri langsung meminta wartawan mengajukan pertanyaan tanpa memberi penjelasan mengenai apa yang esensial dari pemisahan Polri itu.

Menurutnya, dengan kekuatan 187.000 anggota sekarang ini-itu pun hanya 50 persen yang operasional di lapangan, karena sisanya bertugas administratif-rasio polisi dan penduduk sekarang ini masih 1:1.250. "Idealnya rasio itu 1:700 atau paling tidak 1:1.000," katanya.

Oleh karena itu, rencana jangka pendek Polri adalah menambah jumlah anggota kepolisian untuk mengejar rasio ideal tersebut. Dengan perpanjangan masa pensiun bintara dan tamtama serta mempercepat masa pendidikan, rasio itu akan lebih cepat tercapai. Selama ini pendidikan Polri menghasilkan 8.000-9.000 polisi setiap tahun, sementara jumlah anggota yang pensiun antara 2.000-3.000 orang per tahun. Karena itu, kini diusulkan usia pensiun bintara dan tamtama-yang semula 48
tahun-diubah menjadi 55 tahun. "Dengan perpanjangan usia pensiun, kita bisa mengurangi anggota yang pensiun antara 1.500-2.000 orang," katanya.

Masa pendidikan bintara polisi 11 bulan itu, menurut Kapolri, bisa diperpendek menjadi enam bulan dengan konsekuensi ada pengurangan beberapa materi yang dinilai tidak relevan lagi dengan semangat profesionalisme polisi. "Kurikulumnya akan kita sesuaikan untuk menunjang penampilan polisi yang lebih profesional," katanya.     Dari segi anggaran, Kapolri menyatakan akan memprioritaskan bidang pendidikan. Sisanya baru untuk anggaran lain.

Masih berkaitan dengan percepatan pencapaian rasio polisi dan penduduk itu, Kapolri membuka peluang bagi jabatan tertentu untuk dijabat oleh pegawai negeri sipil di lingkungan Polri. Tetapi ia belum menyebut jabatan apa saja yang bisa dipegang pegawai sipil kepolisian itu. "Jumlah kekuatan sipil itu idealnya 30 persen dari jumlah anggota kepolisian," katanya.

***

DALAM hal penampilan, sosok polisi setelah pemisahan tanggal 1 April lalu tidak banyak mengalami perubahan. Untuk sementara, yang berubah hanya pet. Yang sebelumnya berbentuk peci, akan dikembalikan dalam bentuk topi. Sedangkan semua lencana kecakapan seperti wing penerbang, penerjun, dan sebagainya akan dicopot. Setiap anggota polisi dibekali dengan peluit. Soal seragam dan perubahan tanda pangkat akan dilakukan bertahap sejak 1 Juli 1999 mendatang.

Khusus untuk Kapolri dan Kapolda, penampilan sehari-hari mereka bisa tidak mengenakan seragam, melainkan mengenakan jas atau safari. "Ini supaya kesannya tidak seram," katanya.    

Dalam hal pengembangan fungsi-fungsi kepolisian, Kapolri mengusulkan peningkatan status kepolisian daerah (Polda) yang selama ini dikenal dengan tipe C menjadi tipe B. Demikian juga beberapa kepolisian resor (Polres) mungkin saja akan ditingkatkan menjadi kepolisian wilayah (Polwil).

Mengenai kaitan dan koordinasi dengan ABRI, Kapolri menyatakan tidak ada yang berubah. Setiap saat bisa saja polisi minta bantuan kepada aparat keamanan lain, meskipun kendali operasinya tetap di bawah Kapolda.

"Sejauh masih tertib sipil, kita atasi sendiri," kata Roesmanhadi. Tetapi kalau situasinya seperti Ambon, misalnya, bisa saja kendali operasi dialihkan ke militer asalkan ada permintaan atau usulan dari gubernur.

***

LANTAS apa harapan warga terhadap pemisahan Polri dari ABRI ini? Sjafrin (50 tahun), karyawan swasta yang tinggal di Ciputat (Tangerang) berharap, jangan lagi ada anggota Polri yang bersikap petantang-petenteng seperti selama ini. "Sebab, tugas Polri jelas berbeda dengan tugas ABRI," katanya.

Sama seperti sejumlah warga lainnya, Sjafrin mengingatkan tugas utama ABRI adalah untuk mengamankan negara dari ancaman bahaya, sementara tugas Polri mengamankan masyarakat agar tercipta rasa tertib dan rasa aman. Tugas Polri adalah sebagai penegak hukum, sehingga dalam menghadapi suatu kasus dia tak perlu ragu-ragu atau serba salah lagi jika ada oknum ABRI yang terlibat dalam suatu kasus kriminal.

Keraguan itu agaknya berawal dari rasa tak enak Polri ketika harus "menertibkan" kakak-kakaknya. Selama ini di kalangan polisi sendiri selalu terdengar ucapan, Polri adalah adik bungsu dari tiga kakaknya, TNI AD, TNI AU, dan TNI AL. Dan karena itu, ungkapan "masak adik mau melawan kakaknya" menjadi hambatan psikologis bagi Polri dalam menertibkan oknum ABRI yang melanggar hukum.

Pemisahan Polri dari ABRI juga diharapkan meningkatkan wibawa Polri di mata masyarakat yang kini memang merosot tajam. Banyak warga yang sudah tak lagi menaruh hormat, karena ulah oknum Polri yang merusak citranya sendiri.

Pembakaran sejumlah kantor polisi di negeri ini agaknya menunjukkan bagaimana sikap masyarakat terhadap Polri. Pameo yang kini beredar di masyarakat-warga yang melapor kehilangan ayam kepada polisi bisa kehilangan kerbau-hendaknya tak lagi terjadi… (ira/msh/bb/lom)