SELIDIKI ULANG KASUS PENCULIKAN

Jakarta, Kompas
Pengadilan terhadap 11 anggota Komando Pasukan Khusus TNI Angkatan Darat (Kopassus) gagal mengungkapkan perkara penculikan terhadap aktivis prodemokrasi serta latar belakang politik di balik penculikan itu. Padahal, majelis hakim memiliki kesempatan untuk mengungkapkannya. Proses peradilan juga memberikan kesan kuat adanya sesuatu yang ditutup-tutupi. Untuk itu, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) meminta Pusat Polisi Militer (Puspom) ABRI melakukan penyelidikan ulang.

Demikian benang merah yang dapat ditarik dari percakapan Kompas secara terpisah dengan anggota DPR dari Fraksi Persatuan Pembangunan (F-PP) Hadimulyo dan praktisi hukum Frans Hendra Winarta di Jakarta, serta pernyataan pers Kontras, Rabu (7/4).

Seperti diberitakan, majelis hakim Mahmilti II Jakarta, Selasa, menghukum sebelas anggota "Tim Mawar" Kopassus dengan hukuman antara 12-22 bulan. Lima anggota tim yang dipimpin Mayor (Inf) Bambang Kristiono, termasuk komandannya, pun dipecat dari kedinasan militer. Terdakwa langsung menyatakan banding atas putusan tersebut. (Kompas 7/4)
   
Ditutup-tutupi
Hadimulyo dan Frans Winarta sepakat, sebenarnya majelis hakim dapat membantu mengungkapkan kasus penculikan terhadap aktivis dengan melakukan pemeriksaan yang fair. "Putusan Mahmilti II Jakarta itu belum sesuai dengan rasa keadilan rakyat. Bahkan, saya melihat dengan mengatasnamakan prosedur persidangan, ada hal yang ditutupi dalam kasus penculikan yang seharusnya bisa terungkap," jelas Hadimulyo.

Munir mengakui pula, adanya kesan ditutup-tutupinya fakta kasus penculikan yang sebenarnya. Bahkan persidangan itu terkesan sengaja memutus hierarki Komando dan pertanggungjawaban atasan kesebelas anggota "Tim Mawar" Kopassus tersebut.

"Hasil persidangan atas anggota "Tim Mawar" Kopassus itu pun tak selaras pula dengan rekomendasi Dewan Kehormatan Perwira (DKP) ABRI yang mengungkap pengakuan Letjen TNI (Purn) Prabowo Subianto sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas penculikan itu. Temuan DKP itu yang membuat Prabowo akhirnya diberhentikan dari dinas militer. Tetapi ini tidak disentuh dalam persidangan atas anggota "Tim Mawar","  ujar Munir lagi.

Frans menambahkan, persidangan terhadap sebelas anggota "Tim Mawar" tidak dapat mengungkapkan fakta sebenarnya dari kasus tersebut, seperti masalah penyiksaan terhadap korban dan nasib korban penculikan lain yang sampai kini belum diketahui. ABRI tampaknya mengajukan kesebelas anggota Kopassus itu ke pengadilan hanya untuk menunjukkan pada forum nasional dan internasional bahwa hukum ditegakkan.

"Padahal jika hukum ditegakkan, bukan hanya pelaku yang diadili dan dihukum, tetapi juga orang yang memerintahkan pelaku itu. Supaya jelas siapa yang salah, kesebelas anggota itu atau ada orang lain," katanya lagi.

Hadimulyo dan Frans menegaskan, yang dihukum semestinya jangan hanya prajurit bawahan, namun juga atasannya yang mengetahui dan memerintahkan penculikan tersebut.

Ditambahkan Munir, putusan yang dijatuhkan majelis hakim sangat memberatkan terdakwa sebagai individu. Padahal, terdakwa hanya orang yang melaksanakan perintah, dan tidak memiliki peluang untuk menolak perintah. Namun dalam persidangan mereka terjebak dalam ketidakmauan mengungkapkan kasus penculikan tersebut.    

Mendesak Puspom
Sementara Kontras mengingatkan, dengan adanya putusan terhadap sebelas anggota "Tim Mawar" bukan berarti pekerjaan Puspom ABRI selesai. Bahkan, Kontras mendesak Puspom ABRI untuk melakukan penyidikan ulang atas persoalan penculikan aktivis politik sehingga mereka yang seharusnya bertanggung jawab, sesuai dengan hierarkidan struktur komando ABRI dapat dimintai pertanggungjawaban hukum. "Dengan putusan itu, Puspom jangan merasa persoalan penculikan sudah selesai. Puspom tetap mempunyai kewajiban untuk menyelidiki, dan mengungkapkan kasus penculikan terhadap aktivis yang sebenarnya
terjadi. Puspom juga perlu menjelaskan nasib 13 korban penculikan yang belum kembali didasarkan kepada hasil penyelidikan DKP," tegas Munir.

Dikatakan Munir, ABRI perlu pula mempertanggungjawabkan praktik penculikan yang pernah terjadi dengan meminta maaf kepada masyarakat dan memberi pernyataan politik, bahwa praktik semacam itu tidak akan terjadi lagi di masa mendatang. "Perkara penculikan bukan persoalan Prabowo atau satu dua orang, tetapi merupakan praktik politik," kata Munir lagi. (bb/tra)