Pembunuhan di Pangandaran Ciamis Sejak Januari 1999: LEBIH DARI 50 ORANG TEWAS

Jakarta, Kompas
Rangkaian pembunuhan yang terjadi di sekitar Pangandaran, Ciamis, Jawa Barat, sejak Januari 1999 sampai saat ini diduga telah menewaskan lebih dari 50 orang. Seperti halnya pembunuhan yang terjadi di sekitar Banyuwangi, Jawa Timur, motif pembunuhan di Ciamis kini meluas ke motif lain dan terus berlangsung. Para pelaku pembunuhan melakukan aksinya secara terbuka dan tidak takut ditangkap atau berhadapan dengan masyarakat.

Hal itu diungkapkan Koordinator Badan Pekerja Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Munir, Senin (19/4), di Jakarta. Selama beberapa hari Tim Investigasi Kontras melakukan penyelidikan di sekitar Pangandaran dan bertemu dengan aparat keamanan di Ciamis.

Sementara Kepala Dinas Penerangan Polri (Kadispen Polri) Brigjen (Pol) Togar Sianipar di Jakarta ketika ditanya pers mengatakan, sebanyak 18 warga desa-desa di pantai selatan Ciamis, Jawa Barat, dilaporkan hilang oleh keluarganya dan diperkirakan tewas setelah diculik karena diduga sebagai "dukun santet". Dari jumlah itu, enam korban telah ditemukan, sementara polisi sudah menangkap 29 tersangka yang terdiri dari tiga penghasut dan 26 pelaksana lapangan. Kasus itu
sendiri terjadi selama bulan November 1998 hingga April 1999.

Sianipar menegaskan, tidak satu pun korban adalah kiai atau ulama. "Semua korban adalah petani dengan umur antara 50 – 80 tahun," katanya. Karena itu, ia menyatakan tidak ada motif politik di balik pembunuhan itu.
 
Preman
Sementara dari Bandung dilaporkan, hingga Senin (19/4), tercatat 29 orang yang diduga menjadi pelaku-termasuk empat otak pembunuhan sadis di enam kecamatan, yaitu Kecamatan Pangandaran, Padaherang, Kalipucang, Cijulang dan Parigi, serta Cigugur, Kabupaten Ciamis-diringkus jajaran Polda Jawa Barat dan Polwil Priangan.

Kasus pembunuhan itu, menurut keterangan yang dikumpulkan pers, menghebat antara Maret dan April ini. Hampir setiap hari terjadi pembunuhan. Para pelaku diduga adalah preman bayaran. Mereka  memegang nama calon korban secara lisan. Bahkan bila calon korban mau membayar sejumlah uang yang ditentukan, dapat lolos dari ancaman maut.

Kepala Direktorat Reserse (Kadit Serse) Polda Jabar Kol (Pol) Miftahul Arifin dan Kepala Kepolisian Wilayah (Kapolwil) Priangan Kol (Pol) Bahrumsyah yang didampingi Kepala Dinas Penerangan (Kadispen) Polda Jabar Letkol (Pol) Istanto, Senin (19/4), mengakui adanya pembunuhan tersebut. Kepada pers dikatakan, dugaan sementara pembunuhan dilakukan karena tergiur tawaran sejumlah uang berkisarRp 50.000 hingga Rp 500.000 setiap kali pembunuhan.

Modus operandi
Kadit Serse Polda Jabar Kol (Pol) Miftahul Arifin menjelaskan, modus operandi yang dilakukan ialah calon korban diculik dari rumahnya oleh tersangka, bahkan ada yang dilakukan oleh beberapa warga dengan mengepung rumah calon korban. Setelah korban ditarik ke luar dari rumah, warga memukulnya dengan batu. Ada pula yang langsung dijerat dengan tali tambang, sebagian lagi dimasukkan dalam karung.

Sumber lain mengatakan, setelah dibunuh ada juga korban yang digorok kemudian diarak-arak dan dibuang ke sungai dalam bungkusan karung. "Pembunuhan ini sangat sadis karena dilakukan di depan anggota keluarga dan masyarakat. Masyarakat setiap saat takut, bahkan makan ikan laut pun enggan," papar seorang penduduk.    

Arifin mengatakan, motif pembunuhan sama sekali tidak ada kaitannya dengan "dukun santet" (seperti kejadian Banyuwangi belum lama ini). Sebab berdasarkan biodata enam tersangka pelaku pembunuh ini, kelihatannya tidak ada hubungan dengan "dukun santet". Namun, ketika ditanya apakah ada unsur politis di balik kasus tersebut, baik Kadit Serse maupun Kapolwil Priangan tidak menepis hal itu. "Bisa saja terjadi, tergantung bagaimana menilainya," jelasnya.

Terungkapnya kasus itu, kata Kapolwil Priangan Kol (Pol) Bahrumsyah, setelah Polres Ciamis berhasil menemukan enam mayat di sungai selama dua hari berturut-turut, tepatnya 10-11 April. Enam orang yang ditemukan tewas Jumain (70) beserta istrinya Ny Eneh (45), serta Ny Icih (80), Ny Saftiah (70), Rusdi (65) dan Setia Bin Kusdi. "Dari pengakuan tersangka, pembunuhan dilakukan karena disuruh enam orang yang juga adalah warga setempat," ujarnya.

Empat tersangka pelaku pembunuhan yang ditangkap aparat adalah Sarno (Kampung Salasari), Uun Usdiana (Kampung Astamaya), Sentot (Pagergunung), dan Akim (Salasari). Dua yang masih buron adalah Iu dan Adu (keduanya dari Cikalong).

Membiarkan
Munir menjelaskan, rangkaian pembunuhan hampir selama empat bulan tanpa mendapatkan koreksi dari aparatur negara. Aparat melakukan proses membiarkan satu operasi pembunuhan di wilayah Kecamatan Pangandaran yang meliputi beberapa desa. Hasil verifikasi di lapangan, paling tidak angka yang menjadi korban di atas 50 orang. Namun, Kontras meyakini lebih dari angka itu, mengingat kondisi masyarakat yang masih sangat ketakutan.

Pelaku pembunuhan, menurut Munir, adalah massa yang berjumlah 200-300 orang. "Kami sudah menemui pelaku langsung dari operasi pembunuhan itu, yang mengaku bahwa mereka diproteksi secara politik untuk tidak bisa ditangkap, dan memperoleh gaji Rp 100.000 sampai Rp 200.000 untuk setiap nyawa yang mereka hilangkan. Ada indikasi yang masih kami usut lebih jauh tentang keterlibatan aparat militer dalam pembunuhan-pembunuhan tersebut, sebagaimana dilaporkan masyarakat," tambahnya. (pin/ren/oki/msh)