SUATU SORE DI CIAMIS…

JAM baru menunjukkan pukul 16.00. Sinar Matahari nampak indah di antara rimbunan pepohonan di sepanjang pesisir pantai selatan, Ciamis (Jawa Barat). Sore yang indah…

Tetapi keindahan itu tiba-tiba sirna, berubah menjadi terasa mencekam begitu menyadari bahwa hampir semua rumah penduduk tertutup rapat. Rumah-rumah itu mirip tak berpenghuni.

Sekilas dari balik jendela beberapa rumah nampak bayangan wajah-wajah kecemasan penuh curiga. Pada rumah lainnya, tak nampak bayangan sama sekali. Hanya satu dua pemuda dan anak kecil terlihat di halaman rumah atau warung yang kebetulan buka. Pemandangan yang sama sekali tidak biasa dan tidak wajar.

***

TRAUMA, itu barangkali jawaban paling tepat dari semuanya. Rangkaian pembunuhan dengan isu tukang teluh (dukun santet) sejak bulan Januari hingga April ini telah mengubah hidup warga di enam kecamatan yakni Banjasari, Padaherang, Kalipucang, Pangandaran, Parigi dan Cigugur menjadi tidak wajar, diliputi rasa takut dan waswas.

Hal ini bukan hanya terlihat dari aktivitas sehari-hari yang hanya berlangsung setengah hari, tetapi juga pada hubungan di antara mereka. Jangankan berbincang-bincang seperti biasa, sekadar saling sapa, bahkan berbisik-bisik sekalipun tidak mereka lakukan.

"Bukannya abdi kirang terang," jawab singkat tiga pemuda di depan sebuah warung, yang artinya tidak tahu, ketika ditanya seputar sepinya kampung.

Hanya seorang ibu pemilik warung yang berani menjawab lebih banyak ketika ditanya. "Kami takut jadi korban salah sasaran. Makanya hampir semua warga memilih tinggal di dalam. Susah," ujar ibu yang enggan disebut namanya.

Salah sasaran yang dimaksud ada dua, yakni pelaku pembunuhan yang salah mengira mereka tukang teluh, atau petugas keamanan yang salah mengira mereka adalah pelaku. Tak salah kalau warga akhirnya memilih cari selamat dengan diam dalam arti tidak bicara dan tinggal dalam rumah sebagai pilihan yang paling aman. Bagi mereka, berbicara apalagi pada seorang asing berarti persoalan bahkan urusan nyawa.

***

"SUDAHLAH, tolong jangan ganggu kami lagi. Kematian ayah sudah cukup. Kami tidak mau ada korban lagi. Teror sejak sebelum kepergian ayah hingga kini sudah membuat kami sangat tersiksa. Kami tidak tahu lagi mau bagaimana," tutur anak salah satu korban di Desa Sukaresik, Kecamatan Pangandaran yang mewanti-wanti agar baik nama korban atau nama mereka tidak disebutkan demi mencegah hal-hal yang tidak diinginkan.

Senin (12/4) lalu, sekitar pukul 23.30 kisahnya, segerombolan orang tidak dikenal menggunakan tutup muka seperti ninja datang ke rumah mereka. Saat itu, ayahnya masih berbincang-bincang dengan seorang tamu warga desa itu juga. Tamu ini menurut anak-anak korban adalah orang yang diduga berada di balik pembunuhan ayahnya.

Tanpa merasa curiga, mendengar suara ketukan, korban yang memiliki bengkel sepeda itu membukan pintu. Saat itulah dua orang langsung masuk dan memegang korban sembari mengikat lengannya dengan tali, lalu menyeretnya keluar rumah. Masih di depan rumah, korban dipegang beberapa orang, diangkat lalu dihempaskan ke aspal hingga kepalanya mengeluarkan darah. Istri dan ketiga anaknya hanya bisa menyaksikan dari balik jendela dengan perasaan tidak menyentuh.

"Kematian ayah memang tragis, tetapi kami tidak akan menuntut apa-apa atau siapa-siapa. Kami sudah ikhlas. Anggap saja takdirnya memang begitu," ungkap ketiga anaknya bergantian dengan mata berkaca-kaca.

Ketakutan yang amat sangat telah membungkam mulut mereka, hingga jangankan menuntut, usai kejadian itu pun mereka tidak melaporkannya ke polisi atau Ketua RT. Bahkan untuk mencari ke mana gerangan mayat bapaknya dibuang, itu juga tidak dilakukan. Sejak malam itu, mereka hanya bisa pasrah hingga mayat bapaknya ditemukan di Sungai Ciwayang empat hari kemudian.

Hal sama terjadi pada keluarga korban lainnya. Rangkaian pembantaian yang hebat antara bulan Maret dan April ini telah mengalahkan rasa sedih mereka, bahkan niat untuk mencari ke mana mayat keluarganya. "Tak heran kalau hingga kini data jumlah korban masih simpang siur.

Menurut data Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) peristiwa ini menewaskan 50 orang, bahkan diduga lebih dari itu. Data lain menyebutkan angka 100, dan jajaran Kepolisian Daerah Jawa Barat menyebutkan angka 18. Atas peristiwa tersebut, 41 orang tersangka pelaku (empat di antaranya adalah otaknya) kini ditahan di Markas Polres Ciamis.

"Pihak kepolisian akan terus mengusut tuntas kasus ini. Korban yang masih "hilang" masih terus dicari. Diperkirakan masih ada korban yang bakal ditemukan lagi, dan tersangka pun bisa bertambah," kata Kaditserse Polda Jabar Kol (Pol) Miftahul Arifin.

***

ADA apa di balik kasus menggegerkan ini, siapa pelakunya dan apa motifnya, hingga kini belum terjawab. "Dari pemeriksaan sementara, beberapa tersangka mengatakan ini dilakukan karena dendam akibat anggota keluarganya yang meninggal setelah diobati oleh orang yang dituduh tukang teluh ini. Di samping itu karena memang didukung masyarakat," ujar Kapolres Ciamis Letkol (Pol) Martono didampingi Kapolsek Pangandaran Lettu (Pol) A Muis BJ.

Sumber di kepolisian serta pengakuan tersangka penggerak lapangan mengatakan, dalam kasus ini mereka didukung masyarakat. Biasanya sebelum beraksi, para pemuda dan masyarakat berembuk dulu untuk menentukan siapa calon korbannya.  Dananya berasal dari masyarakat dan penyandang dana lainnya. "Para tersangka yang mengotaki pembunuhan ini mengakui, mereka disuruh masyarakat. Dana yang digunakan untuk membayar pembunuh diberikan oleh masyarakat sendiri. Bahkan ada yang meminjam dari seseorang. Tetapi siapa masyarakat itu, sampai saat ini kami belum mendapat keterangan pasti. Kini sedang diselidiki," papar Kadit Serse Polda Jawa Barat. (pin/ren)