DISESALKAN, PENEMBAKAN APARAT POLISI DALAM KASUS TANAH JEMBER

Jakarta, Kompas
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menyesalkan terlibatnya aparat kepolisian dalam kasus tanah Perkebunan Ketajek, Jember, Jawa Timur; bahkan sampai melakukan penembakan yang menyebabkan satu orang meninggal dan 11 lainnya luka tertembak. Berdasarkan penyelidikan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya dengan berdasar pada uraian peraturan hukum dan kenyataan lapangan, disimpulkan bahwa status penguasaan dan pemilikan tanah yang sah dan meyakinkan menurut bukti-bukti surat, saksi sejarah yang masih hidup, dan bukti di lapangan, adalah milik masyarakat petani Ketajek.

Hal itu disampaikan Koordinator Kontras, Munir, dan R Herlambang dari LBH Surabaya, Selasa (27/4), di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Jakarta.

Munir menjelaskan, Kontras sudah menemui Mabes Polri untuk mempersoalkan penembakan tersebut, dan diterima Kepala Staf Intel Kapolri dan Kepala Direktorat (Kadit) Intel Satpol. "Pada intinya, dalam pertemuan itu kami menyampaikan protes terhadap langkah yang diambil kepolisian dalam peristiwa di Jember tersebut," jelas Munir.

Mabes Polri menyatakan akan segera mengklarifikasi kepada Polres setempat. "Kami juga menyatakan agar polisi tidak terlibat dalam pertikaian persoalan tanah ini. Apabila tindakan petani dianggap tidak benar terhadap perusahaan, seharusnya pihak perusahaan melakukan proses-proses hukum secara perdata. Jadi kami meminta polisi menarik diri dan mengusut siapa yang melakukan penembakan dan struktur komandonya," tambah Munir.

Dua saksi mata ketika penembakan dilakukan, menjelaskan, pada tanggal 21 April 1999, sekitar tengah hari, Perusahaan Daerah Perkebunan (PDP) yang menggunakan sekitar 200 orang preman, berkumpul di dekat rumah-rumah semi permanen milik rakyat Ketajek. Mereka kemudian diperkuat dengan kedatangan sekitar 14 truk yang mengangkut pasukan Brigade Mobil (Brimob) Polri yang kemudian mengambil posisi siaga. Kedatangan pasukan Brimob itu pada awalnya disambut masyarakat dengan gambira, karena dikira akan melindungi masyarakat dari serbuan pasukan sewaan PDP. Namun kenyataannya polisi bersikap keras kepada masyarakat.
 
Penerbitan HGU
Herlambang menjelaskan, berdasarkan fakta sejarah penguasaan tanah garapan rakyat Ketajek tersebut-yang kemudian muncul perampasan tanah secara paksa-maka penting dipertanyakan proses penerbitan Hak Guna Usaha (HGU) untuk Perusahaan Daerah Perkebunan (PDP) Ketajek Jember, termasuk mencermati bagaimana proses pembuatan Risalah Pemeriksaan Tanah (RPT) yang dilampirkan dalam pengajuan HGU, karena terbukti masyarakat Ketajek keberatan atas terbitnya HGU.

"Dasar hukum perolehan hak atas tanah atau sertifikat HGU yang dimiliki oleh PDP Ketajek Jember, ternyata hanya berdasarkan pada Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri, SK Mendagri tanggal 29 Agustus 1974 Nomor SK.12/HGU/DA/1974," jelas pengacara LBH Surabaya tersebut. (oki)