Pengungsian Warga Aceh: CARA RAKYAT TOLAK PPRM

Jakarta, Kompas
Pengungsian warga Aceh kini bukan lagi semata-mata karena kekhawatiran atas terjadinya kontak senjata antara Pasukan Pengendali Rusuh Massa (PPRM) dan militer dengan kelompok yang disebut-sebut sebagai Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Pengungsian itu kini menjadi cara warga Aceh menolak kehadiran PPRM/militer di daerahnya.

Hal itu disampaikan Solidaritas Mahasiswa untuk Rakyat (SMUR) yang berbasis di Banda Aceh, Tarmizi dan Erwanto, serta Koordinator Badan Pekerja Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Munir hari Rabu (14/7) di Jakarta.

Cara lain untuk menolak kehadiran aparat non-organik itu adalah penolakan para pengungsi terhadap bantuan pangan dari pemerintah karena pemerintah dianggap sebagai pihak yang membuat masyarakat Aceh menderita.

"Memang benar pengungsian itu kini sudah memasuki tahapan politis, tetapi itu tentu ada alasannya. Masyarakat Aceh yang trauma dengan pengalaman semasa DOM (Daerah Operasi Militer-Red) masih sulit menerima kehadiran militer di daerahnya, apalagi pasukan yang disebut PPRM-pun membawa senjata M-16 atau SS-1," kata Munir.
 
Bantuan pemerintah
Tarmizi dan Erwanto yang datang ke Jakarta awal pekan ini untuk mengikuti kegiatan besar berupa pertemuan tentang Aceh yang digelar Kontras, Kamis ini, mengungkapkan, jumlah pengungsi kini terus bertambah dan banyak sekali yang sakit dan kekurangan obat-obatan. Jumlahnya sekarang mungkin sudah mencapai 150.000 orang di seluruh Aceh.

"Bantuan makanan kebanyakan dari masyarakat langsung, yang dikumpulkan mahasiswa dan petugas-petugas relawan, sementara yang dari pemerintah mereka tolak karena mereka menganggap yang membuat mereka menderita adalah pemerintah dan militer," ungkap Tarmizi.

Dia menambahkan, bantuan yang diharapkan masyarakat dari pemerintah sebetulnya sederhana saja, namun konkret, yaitu menarik semua pasukan dari Aceh. Karena yang menjadi sumber permasalahan adalah kehadiran militer yang sampai ke desa-desa.

Cara-cara teror
Menurut Erwanto, kontak senjata memang terjadi di beberapa tempat, tetapi tidak semua adalah kontak senjata antara GAM dengan militer. Ada juga kontak senjata antara militer dengan militer, yang betul-betul dibuat untuk menjadi teror kepada masyarakat.

"Contohnya adalah kejadian penyerangan kantor polisi di Lhokseumawe. Ketika pelakunya ditangkap oleh PPRM yang berasal dari Gegana Polri, ternyata dia anggota militer," ujarnya.

Dibandingkan ketika DOM diterapkan, menurut Erwanto dan Tarmizi, kondisi Aceh sekarang ini jauh lebih buruk. Rakyat butuh keadilan, tetapi yang dikasih kapal, jalan kereta api, pelabuhan, dan lain-lain yang nantinya hanya bisa dimanfaat-kan orang-orang yang mempunyai uang saja.

"Bahkan dengan perluasan lapangan terbang di Banda Aceh, sawah-sawah rakyat ikut kena sehingga rakyat protes atas tanahnya yang diambil. Ini ‘kan menjadi masalah baru," tambah Tarmizi.

Memburuknya persoalan Aceh juga bisa dilihat dari pelaporan satu keluarga dari Aceh Pidie kepada Kontras di Jakarta, hanya untuk menemukan anak lelakinya yang telah beberapa hari "hilang". Akan tetapi setelah Munir menelpon ke Kodim Pidie, diakui bahwa anak yang "hilang" tersebut berada di Kodim tersebut.

Tak percaya Pangdam Erwanto dan Tarmizi menyatakan, tidak percaya dengan pernyataan Pangdam I Bukit Barisan yang menyatakan akan menarik pasukan
non-organik dari Aceh bila seluruh senjata GAM diserahkan kepada bupati.

"Pak Habibie, misalnya sudah meminta maaf tetapi pembantaian terjadi lagi. Begitu juga janji Wiranto (Panglima TNI) tentang pengusutan pelanggaran HAM di Aceh, yang sampai saat ini tidak ada tindak lanjutnya," tegas Tarmizi.

Pasukan yang ada di Aceh, lanjut Tarmizi, sebagian besar adalah dari Lintas Udara 100, kemudian polisi yang dikirim pun pasukan tempur dari Brimob dan Gegana. "Ini menunjukkan tidak adanya pendekatan masalah Aceh secara persuasif. Yang ada adalah pendekatan tempur," ungkapnya.

Tuntutan agar PPRM ditarik dari Aceh juga datang dari Front Aksi Reformasi Mahasiswa Islam Daerah Istimewa Aceh (Formida). Dalam pernyataan persnya yang ditandatangani Sekjen Radhi Darmansyah, disebutkan, pemerintah harus menentukan sikap tegas untuk segera menarik PPRM dan pasukan non-organik, serta segera menempuh jalur diplomasi antara TNI dan GAM. Ini dilakukan untuk menghentikan bertambahnya korban sipil akibat pertikaian di kedua belah pihak.

Mengenai masih lemahnya gaung soal Aceh di luar Aceh, Djawon dari Persaudaraan Tanah Rencong (PRT) di Jakarta, mengungkapkan, ada penyesatan informasi mengenai Aceh terhadap masyarakat di luar Aceh, sehingga masyarakat Aceh di luar Aceh terkesan kurang menyuarakan penderitaan rakyat Aceh sendiri.

"Kedua, memang ada faktor sejarah di mana masyarakat Aceh kurang bersatu, antara kelompok bangsawan dan ulama, dan rakyat kecil dengan kelompok feodalnya. Soal berikutnya, tidak ada wadah riil pemersatu warga Aceh di Jakarta," jelasnya.  (oki)