RUU Keselamatan Dan Keamanan Negara Kebangkitan Kembali Gagasan Negara Otoriter

SIARAN PERS

KONTRAS

NO. 30 / SP †KONTRAS / VII / 99

  RUU KESELAMATAN DAN KEAMANAN NEGARA

KEBANGKITAN KEMBALI GAGASAN NEGARA OTORITER

Sebuah Langkah Mundur

Dimunculkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Keselamatan dan Keamanan Negara pada masa dimana kita semua sedang berusaha mendorong sebuah proses perubahan penting menuju tatanan hidup berbangsa dan bernegara yang lebih beradab dan demokratis seperti sekarang ini sungguh merupakan suatu langkah mundur yang tidak semestinya dilakukan. Sebab, secara prinsipil RUU yang diajukan oleh pemerintah tersebut banyak mengandung kelemahan-kelemahan yang secara potensial akan menghambat demokratisasi yang sedang berlangsung.

Pandangan kami didasarkan pada kenyataan bahwa secara hakiki menyangkut fungsi dan subtansinya, apa yang oleh pemerintah dinamakan sebagai Rancangan Undang-Undang tentang Keamanan dan Keselamatan Negara tersebut tidak berbeda dengan watak dibalik Undang-Undang Anti Subversi dan berbagai ketentuan hukum yang membelenggu demokrasi. Sehinga, apabila konsisten dengan penolakan terhadap UU Anti Subversi berbagai perangkat hukum anti demokrasi, tentu kita juga akan melakukan penolakan terhadap segala bentuk produk hukum yang sama atau serupa dengan itu. Bahwa pandangan dan penolakan kita tersebut merupakan hasil dari suatu pergulatan panjang dalam arus perubahan menuju suatu tatanan kehidupan bermasyarakat lebih baik, maka sudah sepatutnyalah buah pelajaran yang mahal itu harus pula kita tetapkan didalam menilai serta menyikapi RUU KKN (Keamanan dan Keselamatan Negara) ini.

Prinsip dan Subtansi yang Anti Demokrasi

  Ada dua alasan mengapa kita harus menolak RUU KKN :

Pertama, menyangkut prinsip-prinsip yang berjiwa anti demokrasi.

  1. RUU KKN masih dijiwai oleh adanya apriori yang berlebihan dari negara terhadap rakyatnya, sehingga ia mendefinisikan ancaman tehadap diri negara di dalam konsep “keamanan dan keselamatan” yang mungkin terganggu oleh rakyatnya sendiri. Diposisikannya rakyat sebagai ancaman terhadap keamanan dan keselamatan negara, jelas mengabaikan prinsip kedaulatan rakyat yang merupakan dasar sistem demokrasi. Dengan menempatkan kepentingan kekuasaan negara di atas segala-galanya, sekaligus ia mengingkari prinsip bahwa sesungguhnya negara adalah alat dari masyarakat dalam menyelenggarakan kehidupan yang baik dan adil bagi keseluruhan anggotanya.
  2. Apalagi, dalam pasal-pasal RUU ini sama sekali tidak dilihat dan diperhitungkan adanya kemungkinan ancaman juga datang dari aparatur negaara, seperti contoh yang terjadi selama ini dengan kasus kerusuhan Mei, Timor-Timur, Aceh dan lain-lain.
  3. Pembuatan regulasi yang mengatur kehidupan bernegara, dalam negara demokratis, sudah seharusnya berorientasi membatasi perluasan dan penyalahgunaan negara (penguasa) serta menguatkan sisi kontrol masyarakat. Kalaupun akan dibuat ketentuan hukum yang mengatur keadaan bahaya, maka seharusnya ketentuan itu mengatur tentang pembatasan terhadap pemerintah untuk mengambil keputusan sepihak atas nama keadaan bahaya demi kepentingan kekuasaannya.
  4. Terdapatnya pendefinisian terhadap kondisi ancaman yang pada intinya merupakan perluasan dari pengatasnamaan yang berlebihan dan dipaksakan terhadap makna keselematan negara secara keseluruhan untuk melindungi kepentingan sedikit anggota masyarakat sebagai pemegang kekuasaan. Lihat dalam pasal 1, butir 1 s/d 4 yang tidak memuat penegasan jenis dan bentuk ancaman yang dimaksudkan, terutama manyangkut ancaman dari dalam negeri.
  5. Pengatasnamaan demi kepentingan negara tanpa kejelasan batasan, mengandung bahaya terjadinya manipulasi dalam penerapan undang-undang ini untuk dijadikan pembenaran penggunaan pendekatan militeristik dalam melakukan penyelesaian-penyelesaian konflik masyarakat sipil (ideologi, politik, ekonomi, sosial).
  6. Keamanan telah didefinisikan secara manipulatif untuk melindungi kepentingan yang tidak terkontrol, utamanya diarahkan bagi upaya melindungi kelemahan sturktur kekuasaan negara demokratis dalam UUD 45 dari gejala tuntutan perubahan. Sehingga Undang-Undang KKN ini menempatkan pertanyaan dan tuntutan perubahan UUD 45 menjadi bagian dari ancaman terhadap keamanan. Apa yang telah dilakukan Orde Baru menyilimuti kekuasaan dengan dalih konstitusi mencoba dihidupkan kembali.

Kedua , menyangkut isi dari pasal-pasal di dalam RUU yang potensial berakibat pada praktek-praktek otoriter dan tidak dihormatinya hak asasi manusia.

  1. Terdapat beberapa konsep yang tidak jelas di dalam RUU Tentang Keamanan dan Keselamatan Negara karena tidak disertai dengan definisi baku sebagai batasan-batasan tegas bagi setiap konsep. Ketidakjelasan konsep dalam sebuah perangkat perundang-undangan semacam ini meningatkan kita kepada UU Anti Subversi dengan pasal-pasal “karet”-nya yang sengaja diciptakan agar mudah dimanupulasi sesuai dengan kepentingan penguasa.
  2. Terdapat pasal-pasal yang nyata-nyata dapat berakibat pada pembungkaman demokrasi. Lihat Pasal 8 ayat 2, menyatakan bahwa ancaman dalam bentuk “kerusuhan lainnya” yang merujuk pada protes buruh, petani dan nelayan jelas merupkan apriori yang berlebihan terhadap kelompok masyarakat tertentu dengan mengabaikan diupayakannya penyelidikan untuk mencari akar masalah yang mungkin timbul dalam hubungannya dengan kelompok-kelompok masyarakat tertentu tersebut.

Kesimpulan dan Rekomendasi

RUU KKN sebagaimana diajukan oleh Pemerintah Habibie jelas merupakan manipulasi terselubung melalui perangkat hukum dalam upayanya melakukan upaya-upaya mengahambat demokratisasi serta partisipasi politik yang bebas bagi rakyat.

Situasi ini tak ubahnya sebagaimana praktek kekeuasaan Orde Baru selama ini yang ditopang oleh perangkat perundang-undangan serupa dalam melakukan sentralisasi kekuasaannya. Sehingga, setiap persetujuan dan pengesahan terhadap Rancangan Undang-Undang ini sama artinya dengan usaha pembunuhan terhadap demokrasi dan pembukaan kembali jalan bagi bangkitnya kembali secara lebih kokoh kekuasaan otoriter-militeristik yang selama ini melakukan penindasan.

Oleh karena itu, KONTRAS memandang perlu RUU HARUS DITOLAK , atau paling tidak dilakukannya revisi serius terhadap RUU tersebut, antara lain menyangkut :

  • Redefinisi mengenai konsep keamanan, ancaman dan keselamatan negara di dalam konteks yang lebih kongkrit mengenai hubungan dengan luar negeri.
  • Dipertegasnya pengertian dan batasan-batasan cakupan konsep-konsep yang digunakan untuk mencegah terjadinya interprestasi yang tidak terkontrol.
  • Perubahan yang lebih mendasar lagi juga diperlukan menyangkut penempatan rakyat dan negara dalam posis yang jelas dimana rakyatlah pemegang kedaulatan sesungguhnya.

Jika hal-hal yang diperlukan di atas tidak terpenuhi dalam perubahan yang dilakukan, maka satu-satunya alternatif penyikapan terhadap munculnya RUU-KKN ini adalah dengan menolaknya dijadikan bagian dari perangkat yuridis kita.

JAKARTA, 22 JULI 1999

BADAN PEKERJA KONTRAS

M U N I R, SH
ORI RAHMAN, SH
Koordinator
Divisi Legal