LAPORAN DARI ACEH (2-HABIS)
BERMULA DARI OPERASI INTELIJEN

SAAT ini sedikitnya 80.000 penduduk Aceh terpaksa mengungsi untuk menghindari tindak kekerasan dari TNI selama dilakukannya operasi pembersihan terhadap oknum-oknum Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Penggeledahan rumah ke rumah serta penangkapan warga, mengingatkan rakyat Aceh pada situasi daerah operasi militer (DOM). Maka begitu truk-truk yang mengangkut personel militer tiba di desa, rakyat segera berhamburan meninggalkan rumah dan harta bendanya.

Aceh sungguh hancur berantakan. Dibutuhkan sedikitnya satu generasi untuk memulihkan mental maupun ekonomi mereka. Lihatlah misalnya apa yang terjadi di Kecamatan Tangse, Kabupaten Pidie. Saat ini tidak satu pun warga tinggal di desa. Mereka mengungsi ke Masjid Daud Beureueh dan beberapa tempat umum lainnya di Beureuneun, setelah TNI membangun posnya di Tangse awal Juli lalu.

Tangse yang tadinya meriah dan merupakan lumbung beras, kopi, dan pinang, kini lengang mirip kubur. Sapi, kambing, dan harta benda lainnya, ditinggal begitu saja. Tanaman padi menjadi belukar. Sedangkan kopi tidak mungkin dipanen dalam situasi yang bisa membahayakan keselamatan itu. Bangunan rumah permanen dengan antena parabola, kini tidak berpenghuni. Kios-kios dan pertokoan digembok rapat.

"Kami tidak akan kembali ke desa selama TNI tidak ditarik dari sana," ujar sejumlah pengungsi. Mereka bercerita betapa dahsyatnya penderitaan warga ketika DOM masih diberlakukan. Penangkapan, penyiksaan, bahkan pembunuhan, merupakan peristiwa yang berlangsung hampir setiap hari. Hukum adalah pakaian loreng dan bedil.

Tangse hanyalah bagian kecil dari proses penghancuran kehidupan rakyat Aceh. Saat ini penduduk ratusan desa yang terpencar di Kabupaten Pidie, Aceh Utara, dan Aceh Timur, melakukan eksodus ke tempat-tempat aman sepanjang jalan lintas Banda Aceh-Medan.

Diperkirakan lebih 20.000 pelajar tidak bisa mengikuti ujian pada tahun ini. Sebagian dari mereka sekarang hidup di tenda-tenda plastik, dan tidak sedikit pula yang tidur beratapkan langit.

Pihak keamanan menyebut eksodus itu akibat ancaman dan provokasi pengacau bersenjata yang menamakan dirinya GAM. Mereka inilah yang juga membakar rumah-rumah transmigran.

***

DI Filipina, eksodus adalah bagian dari strategi perang gerilya NPA (Tentara Rakyat Baru), sayap militer Partai Komunis Filipina, untuk membentuk opini internasional dan menjatuhkan moral tentara pemerintah. Di Aceh, strategi ini mulai diterapkan ketika aparat kepolisian mengepung Desa Kandang pada Desember lalu.

Usaha menangkap Akhmad Kandang, yang disebut-sebut pentolan GAM dan terlibat perampokan BCA, gagal setelah penduduk desa membuat pagar manusia. Ketika hari berikutnya akan dilakukan penggeledahan di desa tersebut, warga segera melakukan eksodus ke Lhokseumawe.

Tetapi siapakah Akhmad Kandang yang mampu membangun basisnya di pinggiran sebelah timur Kota Lhokseumawe itu? Tidak banyak orang tahu sosok pria pendiam dan dermawan ini. Belakangan ini ia disebut-sebut aktif melakukan teror di Aceh,

termasuk Aceh Barat dan Selatan. Mereka membakar sekolah, gedung-gedung pemerintah dan angkutan umum. Hingga saat ini saja sudah 107 sekolah, mayoritas SLTP, dibakar orang-orang bersenjata.

Sumber di kepolisian yang sempat aktif mengejar Akhmad Kandang menyebutkan, Akhmad Kandang sebenarnya dibina oleh tim intelijen pasukan elite Indonesia. Ia "diciptakan" menjadi pejuang rakyat dan Aceh Merdeka. Tujuannya tidak lebih untuk bisa dimanfaatkan sewaktu-waktu. Akhmad Kandang sekarang sedang berleha-leha di Jakarta.

Pasangan Akhmad Kandang adalah Ismail Saputra. Keduanya mengaku sebagai komandan GAM wilayah Aceh Utara. Belum lama ini dikabarkan bahwa Ismail mengalami cedera ketika membongkar peti amunisi. Ia dilarikan ke rumah sakit di Medan. Sekarang, Ismail yang mengaku sebagai juru bicara GAM wilayah Aceh Utara, kabarnya berada di Malaysia.

Operasi intelijen, itulah awalnya. Banyak pihak tergiur keuntungan ketika tahun 1970 ladang Arun yang menyimpan cadangan gas alam terbesar di dunia ditemukan, dan kawasan industri dibangun di Lhokseumawe. Opsus (Operasi Khusus) di bawah Ali Moertopo menyusupkan provokator. Mereka yang berpikiran Aceh diabaikan oleh pusat, gampang terhasut untuk menyerukan kemerdekaan Aceh.

Maka setiap menjelang pemilu atau Sidang Umum MPR, Aceh seperti diguncang pergolakan. Reaksi pemerintah sudah bisa diramalkan, yakni menggelar operasi militer, yang tidak lain adalah uang.

***

TEUKU Maulida (42), itulah nama pria berwajah bulat, tegap, dan berkulit hitam ini. Ia ditangkap Kopassus tahun 1990 di Aceh Utara, setelah terbukti terlibat GAM. Sejak itu ia menghilang. Namun tahun lalu mendadak namanya muncul. Bahkan berbagai surat kabar mengutip pandangannya. Ia disebut sebagai ahli strategi perang GAM wilayah Aceh Utara. Belakangan, dalam wawancara dengan Kompas, ia menyebut dirinya sebagai direktur eksekutif majalah penerangan GAM.

"Saya berada di hutan-hutan, setelah lolos dari tahanan Kopassus tahun 1990," ujarnya. Namun ketika dikejar bahwa ada yang melihat dia di Cijantung, Jakarta Timur, Maulida dengan setengah gugup menjawab, kerap ke Jawa dan sekali-kali datang ke Cijantung.

Jadi, siapa yang merobek kehidupan rakyat Aceh?
Jawabannya sudah jelas, seperti halnya kehadiran Tim Elang di Aceh. Tim siluman ini, seperti juga disebut Munir dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), terkait dengan aksi pembakaran sekolah-sekolah, angkutan umum, dan berbagai gedung lainnya. Tujuannya untuk menciptakan situasi panik dan gawat di Aceh.

"GAM tidak pernah melakukan perbuatan setan seperti itu," ujar Abdullah Syafi’i, Panglima Perang AGAM Wilayah Pidie. Akibat ulah operasi intelijen yang lepas kontrol itu, GAM tumbuh dan berakar di masyarakat. Operasi intelijen mereka tidak kalah canggihnya dengan TNI. "Setiap gerakan mereka sudah kami ketahui," ujar Abdullah Syafi’i. Seorang anggota GAM lain menyebut, rakyat mempelajari eksodus itu justru dari kasus Desa Kandang.

Pihak keamanan memperkirakan sekitar 700 pucuk senjata eks perang Kamboja diselundupkan ke Aceh. Sedang GAM sendiri mengklaim sudah ribuan pucuk senjata di tangan mereka. Aceh makin bersimbah darah. Rakyat kocar-kacir ketakutan. Sebaliknya aparat keamanan pun tidak sedikit yang mengalami stres dan demoralisasi. Mereka mulai panik, karena tidak pernah mengetahui posisi musuh yang tiba-tiba bisa menyergapnya. "Ini namanya senjata makan tuan," ungkap seorang komandan GAM di Aceh Utara.

Sekarang, seperti halnya di masa perang melawan Belanda, setiap hari hikayat perang sabil dibacakan orangtua kepada anak-anaknya di kamp-kamp pengungsi. "Kami tidak akan berunding dengan perampok dan pembohong yang telah membinasakan rakyat Aceh," ujar Abdullah Syafi’i. (maruli tobing)