PEMBENTUKAN KODAM TAK SELESAIKAN MASALAH

Banda Aceh, Kompas
Rencana pembentukan Komando Daerah Militer (Kodam) di Aceh dinilai bukan merupakan bentuk penyelesaian masalah. Hal terpenting yang seharusnya dilakukan adalah menyelesaikan akar masalah dengan pola penanganan yang tidak lagi melalui pendekatan militer. Bahwa ada kelompok bersenjata yang disebut-sebut telah membuat kondisi keamanan labil, harus segera disikapi dengan pendekatan melalui dialog yang melibatkan semua unsur.

Demikian pendapat sejumlah kalangan di Aceh yang dihubungi Kompas secara terpisah, Kamis (19/8), sehubungan pernyataan Menhankam/Panglima TNI Jenderal Wiranto yang akan membentuk Kodam di Aceh dan menarik pasukan TNI dari Pasukan Penindak Rusuh Massa (PPRM). Mereka adalah Saifuddin Bantasyam SH MA, staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Mustafa Glanggang, Wakil Ketua DPW PPP Aceh, dan Azwar Nurdin dari Forum Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Aceh.

Di Jakarta, Jenderal TNI Wiranto mengungkapkan, selama delapan bulan terakhir sebanyak 43 anggota TNI dan Polri menjadi korban dalam menangani kerusuhan massa di Aceh. Jumlah tersebut belum termasuk yang terluka. Sebab itu, diharapkan semua pihak menghentikan kekerasan di wilayah itu dan melakukan pembicaraan damai.

"Jangan berandai-andai bahwa saya bahagia dengan keadaan Aceh kini. TNI pun tidak senang ditugaskan di Aceh dalam situasi seperti ini. Saya sendiri susah. Prajurit TNI ‘kan juga manusia yang mempunyai keluarga, anak dan istri. Mereka juga rakyat Indonesia yang mempunyai hak yang sama," tuturnya kepada wartawan, Kamis.

Menurut Wiranto, TNI pun tidak ingin rakyat Aceh menjadi korban dalam masalah Aceh. Karena itu, TNI mencoba memberikan perlindungan kepada rakyat. Namun demikian, TNI pun mengharapkan semua pihak yang terlibat dalam masalah Aceh, terutama yang dinamakan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) jangan melakukan kekerasan dan intimidasi pada rakyat. Bahkan, diharapkan mereka bersedia meletakkan senjata dan melakukan dialog dengan masyarakat Aceh lainnya.

Butuh ketenangan
Para pengamat di Aceh mengatakan, rakyat Aceh kini membutuhkan ketenangan hidup, jauh dari warna kekerasan yang selama bertahun-tahun telah mendera mereka. Pola pendekatan keamanan yang digunakan pemerintah selama ini telah membuat mereka merasa terasing di negerinya sendiri. Kondisi ini menyebabkan mereka tak percaya terhadap apa pun yang diucapkan pemerintah, apalagi sebatas janji yang belum direalisasi.

Rencana pembentukan Kodam di Aceh mencerminkan bahwa pemerintah masih ingin melakukan pendekatan keamanan dalam menyelesaikan persoalan Aceh. Yang terpenting kini adalah perubahan pola pendekatan, bukan pada ada tidaknya Kodam.

Dalam kacamata Mustafa Glanggang, akar masalah di Aceh belum pernah tersentuh sedikit pun. "Akar masalah di Aceh itu adalah harga diri," tuturnya. Harga diri itu menyangkut keyakinan bahwa orang Aceh menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan, yang mengajarkan betapa keadilan, hukum dan sendi-sendi kehidupan mereka tetap berada dalam lingkup norma agama. Manakala mereka menemukan bahwa hukum bagi pelanggar HAM selama ini tak jalan, maka rakyat lalu mengklaim pemerintah itu telah menginjak harga diri mereka," katanya.

Kalau akar masalah itu adalah harga diri, maka untuk memulihkan harga diri itu sendiri jangan dilihat dalam bentuk kesejahteraan. Di mata Saifuddin Bantasyam, tuntutan keadilan dari masyarakat adalah sesuatu yang sangat realistis. Keadilan itu dimensinya luas. Tidak sebatas perimbangan keuangan pusat – daerah, tetapi yang lebih prinsip adalah keadilan dalam segi hukum.

Mubazir
Sorotan senada juga datang dari Koordinator Badan Pekerja Kontras, Munir. Dikatakan, Kontras menghargai keputusan penarikan pasukan organik dan non-organik yang tergabung dalam PPRM, jika hal itu dilandasi dengan kemauan yang serius untuk menghentikan segala bentuk kekerasan aparat di Aceh.

Akan tetapi, melihat pernyataan tersebut diikuti oleh rencana TNI untuk menghidupkan kembali Kodam di Aceh, penarikan pasukan TNI dari PPRM itu hanya retorika kosong, sebab tidak mengurangi konsentrasi pasukan yang besar di Aceh.

"Pembentukan kembali Kodam setelah sekian banyak korban jatuh di kalangan rakyat dan aparat sendiri, jelas bukan jawaban yang diinginkan rakyat. Rakyat selama ini menuntut penarikan pasukan, penghentian operasi-operasi dan kekerasan, serta diberlakukannya sanksi hukum yang tegas terhadap aparat keamanan yang selama DOM dan setelahnya, melakukan berbagai tindak pelanggaran HAM," tegas Munir.

Tidak menjamin
Kepala Dinas Penerangan Mabes Polri Brigjen (Pol) Togar M Sianipar menilai, penarikan pasukan TNI dari PPRM tidak akan banyak memberikan jaminan pemulihan keamanan jika masyarakat Aceh sendiri tidak berusaha mengendalikan diri dan menghindari pertikaian serta mudah dihasut oleh kelompok-kelompok yang tidak ingin Aceh aman. Bahkan kalau kelompok gerombolan bersenjata pengacau keamanan (GBPK) itu terus melakukan teror, penganiayaan, dan pembunuhan kepada masyarakat, tidak tertutup kemungkinan pasukan TNI akan kembali lagi. "Tidak tertutup kemungkinan lebih keras dari yang sudah-sudah," katanya.

Polisi, katanya, yakin mampu mengatasi gejolak di Aceh jika ada dukungan dari semua pihak. Dengan kekuatan personel sekitar 3.000 anggota polisi dan Kamra, mestinya upaya penegakan hukum di sana bisa berjalan baik. Tetapi kalau masyarakat sendiri tidak mendukung Operasi Sadar Rencong II yang kini hanya dilakukan oleh anggota polisi dan Kamra, maka upaya penegakan hukum itu akan sia-sia.

Sementara PP Pemuda Muhammadiyah dalam pernyataan sikapnya yang disampaikan Ketua Umumnya Imam Addaruqutni di Jakarta, mendesak DPR untuk segera menuntaskan UU tentang Kekhususan Daerah Istimewa Aceh. Presiden BJ Habibie pun harus bersungguh-sungguh menyelesaikan kasus Aceh, sesuai janji pidato kenegaraannya 16 Agustus lalu. Pembentukan Kodam I Iskandar Muda dinilai belum diperlukan karena Kodam hanya untuk mengembalikan kembali militerisme. (nj/tra/drm/oki/rts/mhs)