SEPUCUK SURAT DARI ANAK PENGUNGSI DI ACEH

Buat sobat di Jakarta,
Dengan surat ini saya sampaikan kepada sobat di Jakarta. dan bagaimana keadaan di Jakarta. Sedangkan kami di sini dalam keadaan kurang sehat karna dalam pengungsian. makanya kami di sini sangat susah, karna makanannya sangat kurang, makanya kami di sini timbul penyakit bermacam-macam. di situlah kami menderita tidak bisa tidur siang dan malam…

Aduh sayangnya kami di sini yang masih sekolah tidak bisa sekolah lagi. betapa sedihnya tinggal pelajaran. bagaimanakah nasib kami ini di masa yang akan datang. sedangkan sekarang tidak bisa belajar karna tiada belanja atau tidak dapat mencari rezeki atau nafkah bagi kami yang petani.

Kemudian selanjutnya wahai kawanku sungguh indah di dalam pengungsi. bermacam-macam kita lihat. ada yang hamil ada yang melahirkan ada yang batuk dan ada yang mencret. sungguh tak senang ataupun pahit hidup di pengungsi. dan ke manakah kami pergi supaya jangan tinggal lagi di pengungsi yang sudah tinggal lebih kurang hampir tiga bulan kami dalam pengungsi. tolong kawanku tunjuklah jalan kepada kami supaya jangan mengungsi lagi. kalau begini terus mengungsi lebih baik mati saja. begitulah rasa-rasanya tetapi sayang amalannya belum ada. hidup susah mati pun susah. kemanakah ya Allah, ya Tuhanku nasibku ini.

***

Cuplikan surat siswa kelas 1 SMP di Aceh yang ditulis tangan ini dikirim dari Kancatel Lhoksukon tanggal 14 Agustus pagi ke sebuah alamat di Jakarta. Walaupun ditulis dengan beberapa kekeliruan ejaan dan huruf kecil untuk awal kalimat baru, surat ini tetap menyuarakan jeritan anak-anak di pengungsian. Surat ini hanyalah satu dari tujuh surat yang dikirim dari Aceh menjelang peringatan HUT ke-54 Kemerdekaan RI.

Penulis surat di atas seolah hadir ketika suratnya dibacakan oleh Ali, pelajar kelas 2 SD Tugu Ibu, Depok di pelataran Tugu Proklamasi, Jakarta, Rabu (18/8) malam. Surat itu membuka acara renungan "Menegakkan Kemerdekaan Anak Bangsa" yang diadakan oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan).

***

Menurut Kamala Chandrakirana, Sekjen Komnas Perempuan, acara malam itu bukan untuk merayakan kemerdekaan Indonesia, namun untuk merenungkan makna kemerdekaan. "Apa yang kita lihat di sekeliling kita satu tahun terakhir ini? Yang ada adalah ‘kemerdekaan negara’ bukan kemerdekaan warga negara. Yang dijunjung tinggi adalah ‘kekuatan negara’ bukan ‘martabat manusia’. Senjata dan kekerasan mendominasi

kehidupan bangsa, kekuasaan dipakai untuk membelenggu kebebasan warga, ‘persatuan dan kesatuan’ dipakai sebagai alasan untuk melecehkan keragaman budaya dan diperalat untuk melakukan teror dan intimidasi," ujarnya.

"Melalui gambar dan karya, lagu dan doa, malam ini kita bercermin secara jujur dan bertanggung jawab -kendati penuh kepedihan dan kepiluan- tentang wujud kebangsaan Indonesia, 54 tahun setelah pelopor-pelopor bangsa memproklamirkan kemerdekaan di tempat ini juga," tambah putri Soedjatmoko ini.

Yang paling menonjol dalam acara di pelataran Tugu Proklamasi itu adalah hadirnya dua lukisan besar tentang pengungsian dan barisan rakyat karya Lembaga Budaya Kerakyatan "Taring Padi" Yogyakarta yang mengapit patung Soekarno dan Hatta. Patung-patung putih karya para mahasiswa patung IKJ yang dikoordinir Alit Ambara di sekeliling patung proklamator ikut memberi nuansa kepedihan.

Pematung Dolorosa Sinaga tak ketinggalan menyumbang lukisan baliho yang dipajang di pintu masuk bersama beberapa lukisan LBK Taring Padi lainnya dan kolase potret kekerasan di berbagai daerah. Ikut berpartisipasi dengan membuka stand antara lain Tim Relawan untuk Kemanusiaan, Kalyanamitra, Kontras, Mitra Perempuan, Solidaritas Perempuan, LBH APIK, dan Komisi Nasional Perlindungan Anak.

Acara diakhiri dengan tampilnya penyanyi Opie Andaresta dan Franki Sahilatua. Berharap ada bintang yang jatuh. Saya cuma minta satu, semua orang dikasih hati nurani," begitu lantunan lagu Opie.

Betapa mewahnya hati nurani di negeri ini, yang tega memangsa anak-anaknya sendiri. Memang. (ij)