Langkah Pengusutan Pelanggaran Di Aceh




Untitled Document

SIARAN PERS

KONTRAS

NO. 52/KONTRAS/SP/XI/1999

TENTANG

LANGKAH-LANGKAH PENGUSUTAN PELANGGARAN HAM DI ACEH

 

 

Presiden Abdurrahman Wahid (1/11) telah memberikan jaminan bahwa kasus penembakan dan pembunuhan massal atas warga desa Beutong Ateuh, kecamatan Seunagan, Aceh Barat oleh satuan militer yang telah mengakibatkan tewasnya Teungku Bantaqiah beserta 55 warga sipil Aceh lainnya pada 23 juli 1999 yang lalu akan dibuka kembali. Presiden telah memberikan jaminan bahwa kasus tersebut akan diusut tuntas dan tidak hanya berhenti pada pelaku bawahan tetapijuga sampai pada pengambil keputusan. Untuk itu tujuan ini direppresentasikan pula dengan rencana penarikan satuan Kostrad dan Kopassus dari Aceh dan pengagalan pembentukan Kodam Iskandar Muda di Aceh untuk jangka waktu paling tidak selama masa pemerintahan Abdurrahman Wahid.

Untuk itu Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dengan ini menyatakan pendapat dan rekomedasikan untuk langkah-langkah konkrit sebagai berikut:

  • KontraS memandang bahwa upaya ini adalah langkah pertama rekonsiliasi untuk mencegah separatisme Aceh dari Indonesia. Tujuan ini haruslah dicapai dengan mengembalikan perasaan keadilan rakyat Aceh yang telah ditindas dan diperlakukan secara amat buruk oleh negara selama puluhan tahun. Pengembalian perasaan keadilan dan kepercayaan rakyat Aceh hanya bisa terpenuhi jika pemerintah membuktikan niat baiknya dengan membuka seluruh kasus kejahatan kemanusiaan di Aceh dalam kurun waktu DOM maupun pasca DOM sampai sekarang.
  • Hal yang harus dipahami adalah kasus Beutong Ateuh tersebut hanyalah salah satu kasus dari rentetan kasus pemabantaian massal sejenis yang terjadi di berbagai tempat di Aceh.   Kasus-kasus pembantaian massal tersebut selalu melibatkan satuan militer atau polisi sebagai pelaku yang selalu pula memperlihatkan tindak kekerasan oleh negara yang dilakukan secara sistematis dan terencana. Beberapa kasus yang memperlihatkan hal ini adalah pembantaian massal saat Operasi Wibawa 1999 , Tragedi Simpang KAA kecamatan Dewantara Aceh Utara, kasus Idi Cut/Arakundoe Aceh Timur, kasus Lhokseumawe Berdarah Di Lhokseumawe Aceh Utara, kasus Penyiksaan dan Pembunuhan di Gedung KNPI Aceh Utara, kasus penembakan di Mapolres Aceh Selatan, kasus Desa Kandang dan ratusan kasus kecil yang melibatkan pembunuhan dan penghilangan warga sipil lainnya yang masih menjadi dark number cases sampai hari ini.
  • Jika yang dibuka kembali penyelidikannya hany kasus Beutong Ateuh dan namun mengabaikan kasus-kasus kejahatan atas kemanusiaan lainnya di Aceh maka ia akan menyumbang sangat sedikit pada tujuan mengembalikan perasaan keadialan rakyat Aceh dan penegakan Hak Asasi Manusia tersebut. Kasus ini haruslah menjadi titik awal untuk upaya yang sunguh-sungguh bagi pemeriksaan kasus-kasus lainnya baik yang massal maupun individual. Mengingat kekerasan militer di wilayah itu merupakan suatu kekerasan yang bersifat sistematis dan lahir dari rangkaian keputusan politik untuk merepresi tuntutan masyarakat.
  • Selanjutnya mengenai penarikan kembali Kopassus dan Kostrad haruslah juga dilakukan sebagai titik awal untuk penarikan seluruh satuan non organik dari Aceh. KontraS memperkirakan, bahwa saat ini sedikitnya terdapat lebih dari 20.000 pasukan tempur termasuk marinir di selurih wilayah Aceh. Penarikan satuan Kopassus dan Kostrad semata tanpa menarik satuan lainnya tidak akan menghasilkan apa-apa karena pola kekerasan sistematis oleh negara akan terus dimungkinkan oleh adanya aparat militer dalam jumlah massif di Aceh.
  • Pembatalan pembentukan Kodam Iskandar Muda adalahlangkah tepat untuk menghilangkan atau paling tidak mengurangi trauma militer yang dialami rakyat Aceh. Trauma seperti ini terbukti telah menumbuhkan resistensi dan sikap non kooperasi dari rakyat Aceh yang pada gilirannya akan membuka peluang ke arah perlawanan. Trauma ini akan hanya terhapusapabila rakyat Aceh yakin bahwa trauma yang sama tidak akan muncul kembali. Untuk itu pembatalan sementara untuk masa lima tahun tidaklah cukup untuk tujuan penghapusan trauma itu. Pemerintah haruslah memberikan jaminan bahwa pembatalan Kodam Iskandar Muda ini adalah satu langkah bahwa rakyat Aceh akan dilindungi dari kekerasan oleh negara untuk selamanya.
  • Pemerintah segera mengaktifkan kerja-kerja Menteri HAM dan Menteri Hukum dan Perundang-undangan untuk melakukan pengajukan ratifikasi atas beberapa konvenan HAM seperti Konvesi Hak Sipil dan Politik, Konvensi tentang pencegahan dan penghukuman kejahatan genocide dan lain-lain konvenan yang penting bagi penegakan HAM. Disamping itu harus pula dilakukan upaya penerbitan beberapa produk hukum yang mendorong tidak saja berfungsinya peradilan pidana dalam kasus HAM, akan tetapi perubahan yang lebih fundamentalterhadap adanya perangkat hukum yang cukup untuk mengadili berbagai bentuk pelanggaran HAM. (catatan : Tidak semua kasus palanggaran HAM dapat dipidanakan, contoh : penghilangan orang dan genocide).
  • Tuntutan hukum bagi para pelaku pelanggaran HAM selama ini seharusnya tidak diajukan di depan pengadilan dengan menerapkan KUHP. Pelanggaran HAM adalah suatu tindakan yang seharusnya dituntut dengan merujuk pada adanya ketentuan-ketetuan khusus tentang perlindungan HAM yang jauh lebih tegas dan luas dibandung KUHP. Untuk itu, kewajiban pemerintah meratifikasi beberapa konvenan HAM, khususnya menyangkut perlindungan terhadap tindakan pembunuhan sewenang-wenang, penghilangan orang, perkosaan,dan kekerasan terhadap perempuan dan anak, penyiksaan, bahkan genocide, yang nantinya digunakan sebagai dasar tuntutan bagi para pelaku pelanggaran HAM.
  • Sebagai bagian tidak terpisah dari upaya pengusutan secara hukum dan pengembalian kondisi wilayah itu, Pemerintah perlu segera membentuk posko-posko pengaduan korban pelanggaran HAM di Aceh. Untuk itu perlu dilakukan kerja sama yang dapat diterima tanpa kecurigaan masyarakat dengan mendorong fungsi peran perwakilan Komnas HAM di Aceh, serta menjamin adanya kewenangan cukup bagi Komnas HAM di Aceh untuk melakukan perlindungan para korban dan saksi.

JAKARTA, 2 NOVEMBER 1999

BADAN PEKERJA KONTRAS

M U N I R, SH

Koordinator