Kekerasan Aparat Militer di Kecamatan Jeumpa, Aceh Utara dan Pawai Damai Referendum di Aceh




Untitled Document

SIARAN PERS

KONTRAS

NO. 54/KONTRAS/SP/XI/1999

TENTANG

KEKERASAN APARAT MILITER DI KECAMATAN JEUMPA, ACEH UTARA DAN PAWAI DAMAI REFERENDUM DI ACEH

 

Hanya berselang beberapa hari setelah pemerintah melalui pernyataan Presiden Abdurrahman Wahid, memerintahkan penarikan seluruh pasukan non organik dari Aceh, terjadi kembali peristiwa kekerasan di Aceh Utara. Peristiwa kekerasan yang terjadi pada tanggal 1 sampai 4 November 1999, di desa Juli, kecamatan Jeumpa, Aceh Utara dilakukan oleh aparat militer dari Batalyon Infanteri 113/Jaya Sakti (YONIF 113/JS) terhadap rakyat sipil Aceh dalam bentuk penganiayaan, penangkapan sewenang-wenang dan pembakaran/perusakan harta milik rakayat.

Sementara itu, pada hari ini, 8 November 1999.

Rakyat melakukan pawai dan pertemuan akbar untuk menyuarakan tuntutan pelaksanaan sebuah jajak pendapat untuk menentukan nasin sendiri (voting for self determination) atau yang lebih dikenal dengan referendum. Dalam pawai dan rapat akbar yang rencananya akan diikuti oleh sedikitnya satu juta orang tersebut mengemuka keinginan rakyat Aceh untuk diberikan hak menentukan masa depan mereka sendiri apakah ingin bergabung dalam negara Republik Indonesia atau melepaskan diri dan menjadi negara merdeka.

Tuntutan itu sendiri diberi peluang oleh pernyataan Presiden Abdurrahman Wahid yang menyatakan setuju untuk melaksankan referendum bagi rakyat Aceh hanya saja waktu pelaksanaan yang masih belum bisa ditetapkan.

Berkenaan dengan dua hal di atas Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) memandang :

  1. Tindak kekerasan yang dilakukan aparat militer atas rakyat sipil Aceh menunjukan tetap tidak adanya penghormatan atas hak asasi manusia oleh aparat militer. Untuk itu KontraS memandang saat ini Pemerintah Republik Indonesia harus menghentikan “bulan madu” kemenangan mereka dan segera berkonsentrasi dalam merealisasikan janajinya terhadap rakyat untuk menarik seluruh satuan militer non organik dari seluruh wilayah Aceh dan menghentikan segala bentuk penggunaan kekerasan dalam menghadapi rakyat. Hal ini penting dan mendesak untuk menunjukan kepada rakyat Aceh bahwa Pemerintah Republik Indonesia masih memiliki niat baik (goodwill) untuk menyelesaikan permasalahan di Aceh secara tuntus dan adil.
  2. Kekerasan yang masih terus digunakan dalam menundukan rakyat jelas-jelas terbukti gagal dan hanya semakin memperburuk hubungan antara rakyat dan pemerintah. Dan dengan melihat bahwa para pelaku kekerasan di Aceh bukan saja berasal dari pasukan non organik, akan tetapi juga dilakukan oleh pasukan organik seperti terjadi dalam peristiwa di atas, maka hal itu bisa juga dipandang sebagai bukti bahwa keputusan pemerintah (presiden) untuk menari seluruh pasukan non organik semata dari wilayah Aceh bukan merupakn solusi yang tepat dalam menhentikan kekerasan di Aceh. Ini menunjukan bahwa penarikan pasukan non organik saja tanpa dilakukan upaya nyata dalam mengubah pendekatan kekerasan dalam berhadapan dengan rakyat, maka keputusan itu tidak akan banyak berarti.
  3. KontraS memandang, pawai dan rapat akbar referendum yang dilakukan rakyat Aceh adalah wujud nyata dari keinginan mereka untuk menetukan nasiab sendiri secara bebas dan damai, sesuai dengan hak-hak rakyat dalam negara yang demokratis dan merdeka.
  4. tuntutan referendum tersebut adalah akumulasi dari tuntutan keadilan rakyat Aceh yang telah puluhan tahun diperlakukan tidak adil secara politik, ekonomi dan sosial budaya. Disisi lain tuntutan itu adalah manifestasi kekecewaan rakyat Aceh yang menganggap pemerintah Republik Indonesia tidak pernah bersungguh-sumgguh untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan atas kemnusiaan yang terjadi di Aceh dalam skala masif, baik pada era pemberlakuan Daerah Operasi Militer maupun masa-masa sesudahnya bahkan sampai hari ini.
  5. Berkenaan dengan itu Pemerintah Republik Indonesia tidak bisa terus menutup mata pada kenyataan terhadap makin mengerasnya tuntutan rakyat Aceh pada keadilan yang akhir-akhir ini berkembang menjadi tuntutan untuk mendapaykan hak menentukan nasib sendiri. Pemerintah harus secepatnya memenuhi tuntutan rakyat Aceh tersebut, dan tidak cukup hanya memberi janji-janji, apalagi berkaitan dengan pengadilan terhadap para pelaku pelanggaran HAM.

Jakarta, 8 November 1999

Badan Pekerja Kontras

M U N I R, SH

Koordinator