Situasi Eskalasi Kekerasan Terakhir di Aceh

Siaran Pers KontraS

No : 03/SP/KontraS/I/2000

Tentang

Situasi Eskalasi Kekerasan Terakhir di Aceh .

Aparat keamanan kembali melakukan tindakan kekerasan dan pelanggaran HAM di Aceh stelah Hari Raya. Situasi ini menunjukkan kemananan dan pengegakan hak-hak sipil rakyat Aceh pasca pembentukan pemerintah baru tetap saja belum menampakkan arah yang jelas. Aksi-aksi bersenjata yang dilakukan oleh Gerakan Aceh Merddeka terhadap pos-pos aparat keaman diikuti tidakan kekerasan oleh aparat keamanan dalam bentuk sweeping, pembakaran rumah dan took, penganiayaan dan penangkapan tidak sah.

Sebagaimana terjadi dalam peristiwa penyerangan terhadap Polsek Pantol Labu dan Lhoksukon, Aceh Utara, minggu 9 Januari 2000 lalu. Setelah peyerangan itu terjadi, pembakan pertokoan dan rumah-rumah milik penduduk yang terdapat di sekitar kedua Mapolsek tersebut. Dalam serangan yang menurut saksi mata dilakukan oleh tiga orang pria dan orang orang wanita dengan menggunakan bom terhadap kedua mapolsek tersebut telah jatuh korban 3 (tiga) orang aparat polisi tewas dan 9 (sembilan) orang aparat polisi terluka. Segera setelah terjadi serangan berhenti aparat mulai melakukan sweeping di rumah-rumah penduduk di sekitar mapolsek. Sampai kemudian pembakaran dilakukan sehingga menghanguskan rumah dan took-toko milik rakyat yang berlokasi di sekitar kedua mapolsek tersebut.

Sementara dalam dimensi lain perlakuan-perlakuan aparat yanb berbentuk kejahatan terhadap kemanusian juga mulai terarah kepada para pekerja kemanusaian khususnya mahasiswa menunjukkang kecenderungan meningkat. Kasus-kasus kekerasan terhadap mahasiswa dan pekerja kemanusian lainnya makin seing terjadi dengan mengambil korban yang semakin banyak.

Setelah Hari Raya Idul Fitri1420 yang lalu di Banda Aceh dan kota-kota lainya di Aceh aparat keamanan mulai melakukan sweeping Kartu Tanda Penduduk (KTP). Aparat langsung membuang KTP dan menyiksa pemiliknya jika ditemukan identitas pemilik KTP tersebut adalah seorang mahasiswa. Sebagaimana terjadi dalam beberapa kasus di Banda Aceh, kasus yang sama juga terjadi di Aceh selatan di mana 5 orang mahasiswa melaporkan telah mengalami perlakuan buruk dari aparat kemaanan yang melakukan sweeping, merampas dan membuat KTP serta menganiaya mereka. Tindakan-tindakan kekerasan itu diikuti dengan cemoohan-cemoohan seperti : “kalian boleh mengadu kemana saja, tidak akan ada hokum yang menimpa kami”, atau “tidak ada HAM yang bisa menyentuh kami” dan sebagainya.

Melihat eskalasi kekerasan yang berkembang di Aceh saat ini dan meperhatikan meluaskan korban dari kalangan sipil Aceh maka Komisi untuk Orang Hilang dan Korban tindak Kekerasan (KontraS) dengan ini memangdang bahwa :

  1. Fakta bahwa belum adanya penegakanhukum yang tegas terhadap para pelaku tindakan kejahatan tehadap kemanusiaan di Ace, baik dalam rentang waktu DOM maupn pasca DOM telah menimbulakan kaibat-akibat yang kompleks. Ketiadaan sanksi ini disatu sisi telah menghilangkan kepercayaan rakyat terhadap pemerintah dan karenanya cenderung melakukan sendiri tidak kekerasan terhadap aparat sebagai bentuk pembalsan. Sementara disisi lain telah menumbuhkan sikap percaya diri yang berlebihan pada diri aparat keamanan yang merasa tidak akan tersentuh akibat dari perbuatan melakukan kekersan dan pelangaran HAM sebagaimanatercermin dari ucapan-ucapan diatas.
  2. Disisi lain aksi-aksi bersenjata dari Gerakan Aceh Merdeka terhadap pos-pos aparat kemanan telah menimbulkan akibat buruk bagi rakyat sipil. Fakta bahwa pihak manapun yang memulai aksi serangan bersenjata, tatap saja rakyat sipil yang menjadi korban aksi-aksi kekerasan dan pelanggaran HAM yang mengikuti setelah aksi-aksi bersenjata itu selesai menunjukkan bahwa rakyat sipillah yang selalu menjadi korban, sekaligus memperlihatkan ketiadan perlindungan negara terhadap hak-hak sipil mereka dari tindakan pihak lain termasuk aparat negara sendiri.

Oleh karena itu Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Korban Tindak Kekerasan (KontraS) :

  1. Mendesak pemerintah dan Komnas HAM untuk membentuk Komisi Penyelidik Pelanggaran Hak Azasi Manusia (KPP HAM) untuk Aceh dalam waktu sesegera mungkin. Pembentukan ini mendesak karena eskalasi kekerasan yang terus menerus terjadi di Aceh berpotensi membuat penyelidikan yang terlambat akan membuka peluang makin banyaknya kekersan di Aceh dan kemungkinan hilangnya bukti-bukti.
  2. Mendesak pihak Tentara Nasional Indonesia dan pihak Gerakan Aceh Merdeka untuk menahan diri dan tidak melakukan aksi-aksi bersenjata. Hal ini penting untuk mencegah timbulnya korban yang lebih besar dari kalangan rakyat sipil yang timbul sebagai akibat yang mengikuti setiap serangan bersenjata itu.
  3. Mendesak pemerintah untuk menggelar persidangan di peradilan Hak Azasi Manusi tehadap kasus-kasus kejahatan tehadap kemanusian (termasuk pembataian Teungku Bantaqiah, Indisen Simpang KKA dan Insiden Rumoh Geudong) untuk dilakukan di Jakarat. Hal ini karena pengambil keputusan operasi yang telah menewaskan Teungku Bantaqiah dan 54 muridnya ini haruslah dipertanggungjawabkan pada pengambil kebijakan di tingkat pusat di Jakarta .

 

Jakarta , 14 Januari 2000

Badan Pekerja KontraS

 

Munir, SH.

Koordinator.