Kedatangan dan Tuntutan Keluarga Tengku Bantaqiyah

Siaran Pers

KONTRAS

No: 5/SP/KONTRAS/II/2000

Kedatangan dan Tuntutan Keluarga Tengku Bantaqiyah .

Peristiwa Bangaqiyah adalah salah satu tragedi kemanusian di Aceh yang menjadi sangat penting karena terjadi di saat pemerintah berjanji untuk menyelesaikan masalah pelanggaran HAM dan menghentikan kekerasan terhadap rakyat sipil Aceh. Selain kekejaman yang terjadi pada kasus ini menjadi begitu terbuka, seakan menjadi tambahan bahan bakar baru bagi upaya memisahkan diri dari Indonesia .

Saat ini KontraS menerima keluarga Tengku Bantaqiyah yang datang ke Jakarta untuk menghadap Presiden, Panglima TNI, Menteri Agama, Meneg HAM, Jaksa Agung dan Komnas HAM. Maksud keluarga korban untuk menghadap pihak-pihak tersebut adalah menyampaikan apa yang mereka alami sekarang ini.

Sampai saat ini keluarga korban dan para santri terlantar karena hancurnya sebagian fasilitas pesantren. Sementara itu trauma dan rasa takut akan ancaman kekerasan fisik masih mereka rasakan. Kontras, sebagai kuasa hukum dari keluarga korban, menyatakan agar pemerintah dapat segera merepon tuntutan dari keluarga korban sebagai wujud dari penghargaan terhadap Hak Azasi Manusia. Seusai dengan yang dilaporkan kepada Kontras, keluarga korban menuntut kepada pemerintah untuk,

  • Melaksanakan pengadilan yang jujur dan transparan terhadap para pelaku pelanggaran HAM pada kasus Bantaqiyah dan kasus-kasus lainya.
  • Memberikan santunan yang layak kepada keluarga korban terutama para janda dan anak-anak.
  • Memberikan jaminan keamanan kepada kelurga korban para santri untuk dapat melakukan kembali kegiatan keagamaan di pesantren tersebut.

Beberapa rekomendasi ini memang tidak serta merta menyelesaikan krisis di Aceh. Namun tetap harus dipandang sebagai salah satu proses pengobatan dari luka-luka yang diderita oleh masyarakat Aceh.

 

Jakarta , 24 Februari 2000
KONTRAS

 

MUNIR, SH.
Koordinator


 

 

Pendahuluan

 

Pesantren Beutong Ateuh

Beutong Ateuh, dalam terjemahan bahasa Indonesia berarti Betung atas, memiliki sejarah yang cukup panjang, dimana daeraha ini dibangun sejak zaman belanda-begitu orang beutong bersaksi Ć¢ā‚¬ dan melihat letak geografisnya sangat nyaman untuk istirahat beberapa bulan lamanya. Daerah yang terletak diantara dua gunung ini mengalir sungi betung yang jernih dan sejuk. Sedangkan pegunungan yang termasuk dari gususan bukit barisan ini, memang sangat potensial untuk dijadikan markas pertanan pejuang Aceh semasa penjajahan belanda. Di daerah inilah Cut Nyak Dien dan Tengku Cik Citiro pernah bertahan dari kejaran belanda, walau keduanya tertangkap oleh belanda di daerah ini. Lebatnya hutan dan suburnya tanah membuat warga yang bermukim enggan meninggalkan lembah ini, mengingat di daerah ini adalah daerh yang cocok untuk bercocok tanam. Sebelum daerah ini dibuka pada tahun 1996, untuk kendaraan roda empat, warga yang ingin kedalam dan keluar desa ini harus berjalan kaki dua sampai empat hari lamanya. Menelusuri hutan lembah berliku guna mencapai daerah yang berbatasan dengan Takengon Aceh Tengah. Sedangkan Beutong Ateuh sendiri masuk dalam kabupaten Aceh Barat, Meulaboh sebagai kota kabupaten.

Pada daerah inilah brdiri sebuah pesantren pada tahun 1982 yang dipimpin oleh seorang Kyai bernama Tengku Bantaqiah. Abu Bantaqiyah Ć¢ā‚¬ begitu para mudirnya memanggil Ć¢ā‚¬ aladalah seorang alim ulama yang segani dan dihormati keberadaanya. Tak heran bila dikalangan masyarakat Aceh sendiri beliau ditokohkan, mengingat begitu banyak masyarakat Aceh yang belajar agama di pesanteren yang ia pimpin. Mudir-muridnya yang berasal dari pelosok daerah Aceh ini, diajrkan pendidikan agama langsung dari beliau dan dibantu oleh seorang kepercayaannya. Aktivitas belajar mengajar dilakukan pada areal yang ia miliki yang berada ditepi sungai beutong. Murid-murid yang berjumlah ratusan ini, selain beljar mereka bercocok tanam seperti nila dan lain sebaginya. Dari hasil pertanian ini mereka bahu membantu untuk menghidupkan aktivitas sehari-harinya. Selin murid-murid menetap di pesantern ini, masih ada lagi murid-murid yang tinggal hanya pada saat mereka beribur dari kerja atau sekolah dan jumlah lebih banyak daripada yang menetap (jumlahnya dalah gitungan ribuan). Tak heran bila banyak murid-murid beliau yang tersebar di segenap penjuru Aceh.

Tengku Bantaqiah yang pernah menolak untuk bergabung dengan Majelis Ulama Indonesia cabang Aceh ini, sekali waktu turung gunung untuk mempersoalkan kemaksiatan di Aceh, dan akhirnya ia dituduh sebagai orang yang memiliki ajaran sesat. Hal ini beliau lakukan pada tahun 1988 dengan beberapa anak muridnya dengan menamakan dirinya Anggota Jubah Putih. Untuk melunakkan hatinya pemerintah daerah Aceh melalui gubernur memberikan bantuan guna membangun sebuah pesantren. Namun rumah pesantren ini, gedung yang sudah terbangun di kecamatan beutong bawah ulu Ulee Jalan, mereka tolak karena lokasinya jauh dari tempat pesantren mereka. Dengan menolak pemberian ini, Tengku Bantaqiah menjadi orang yang sangat tidak sekuler dikalangan birokrat Aceh pada waktu itu. Sehingga pada tahun 1992 dengan suruhan sebagai Mentri Urusan Pangan Cerakan Aceh Merdeka, beliau dijebloskan dalam tahanan dengan masa tahanan 20 tahun lamanya. Namun saat presiden ke tiga Indonesia (BJ Habibie) hadir di Banda Aceh, atas permintaan warga masyarakat Aceh, Habibie melepaskan Tengku Bantaqiah.

AKTIVITAS PESANTREN

Sebagaimana layaknya kehidupan sebuah pesantren, aktivitas di pesantren Tengku Bantaqiah sangat diwarnai dengan suasana Religius yang sangat mendalam. Hal ini dapat terlihat dari aktivitas sehari-hari mulai dari ibadah sholat Shubuh dipgi hari dilanjutkan degan Szikir kemudian para santri bermujahadah sambil melakukan kegiatan-kegiatan lainnya seperti bertani, bercocok tanam, kerja baktimeperbaiki lingkungan sekitarnya. Kegiatan bermujahadah bagi pesantern Tengku Bantaqiah adalah merupakan satu kekuatan religius yang sangat vital dalam upaya pembentukan tingkat ketaqwaan para muridnya.

Kalaupun ada yang berbeda dari pesantren ini yaitu terlihat bahwa sebagian besar murid-muridnya adalah mereka yang pernah melakukan tindakan-tindakan amoral di masyarakat seperti mabuk-mabukan, mencuri dan tindakan-tindakan kriminalisasi lainnya. Menurut Tengku Bataqiah, untuk apa mengajaka orang yang sudah ada didalam mesjid, justru mereka yang masih di luar mesjidlah yang harus kita ajak. Jumlah santri yang pernah menuntut ilmu di pesantren Tengku Bantaqiah ini tercatat lebih kurang 30.000 orang yang tersebar di berbagai tempat, bukan hanya di Aceh, tapi juga Medan , Jakarta , bahwakan sampai ke Malaysia . Lulusan Pesantren Bntaqiah hdup dan bekrja dalam aktivitas-aktivitas yang beragam, mulai petani, pedagang, pegawai swasta dan pegawai negeri, bahkan anggota TNI. Hal ini menunjukkan bahwa Tengku Bantaqiah tidak pandang bulu dalam menerima murid.

Kini setelah ulama kharismatik tersebut telah tiada, pesantren yang diharapkan dapat melahirkan pemimpin umat, untuk sementara ini kesulitan untuk melanjutkan aktivitas sehari-harinya, karena alat-alat Bantu pengajaran seperti, al-qur’an, kitab kuning, surat Ć¢ā‚¬ surat yassin habis dibakar oleh pasukan tersebut. Hal ini tentara lakukan ersamaan dengan dibakarnya pakian, KTP, dan barang-barang lain milik Tengku dan muridnya yang tewas pada saat itu. Kini tempat yang jauh dari keramaian ini memubat masyarakat Aceh untuk saat ini enggang untjk bergurau kembali di lebah yang hijau ini, mengingat peristiwa tersebut adalah peristiwa yang cukup membuat mereka terluka untuk selama-lamanya.

 

Kronologi Pembantaian

Tengku Bantaqiah dan Muridnya

 

Kamis 22 Juli 99 : Pasukan TNI yang terdiri dari Kostrad, brimob, dan lain sebaginya mendirikan tenda-tenda diseputar pegunungan beutong Ateuh. Saat itu warga desa telah mengetahui akan keberadaan mereka, namun warga tidak mengetahui tujuan dari didirikannya tenda-tenda tersebut. Pada saat itu juga telah terjadi penembakan terhadap warga yang sedang mencari udang. Peristiwa ini mengakibat satu orang terluka sedangkan yang melarikan diri ke hutan sekitarnya.

Jum’at 23 Juli 99 : pukul 08.00 pasukan TNI mengamati pesantren Tengku Bantaqiah dari seberang sungai.

Pukul 09.00 pasukan TNI melakukan pembakaran ruma penduduk yang letaknkya kira2 100 meter disebelah Timur pesantren Tengku bantaqiah.

Pukul 10.00 Pasukan tersebut mulai mendekati pesantren Tengku Bantaqiah.

Pukul 11.00 Pasukan TNI yang berseragam dan mengenakan senjata lengkap dan sebagian dari mereka menutupi wajahnya dengan cat hitam dan hijau. Mulai memasuki wilayah pesantren.

Pukul 11.30 Pasukan tersebut dengan mencaci maki dan menghujat Tengku Bantaqiah agar Tengku Bantaqiah mau segera menemui mereka. Dikarenakan pada waktu itu hari Jum’at dan sudah menjadi kebiasaan di pesantren, para santri – berkumpul di pesantren yang memiliki dua lantai yang terbuat dari papan dan kayu balok tetap melakukan seperti biasanya. Setelah cukup lama tengku Bantaqiah turun bersama dengan seorang muridnya untuk menemui pasukan tersebut. Setelah berbincang-bincang, semua murid/santri laki-laki disuruh turun sedangkan yang wanita diatas pesantren, dikumpulkan ditanah lapang dengan duduk jongkok dan menghadap kesungai.

Pukul 12.00 setelah santri laki-laki berkumpul, pimpinan pasukan tersebut meminta kepada Tengku Bantaqiah untuk menyerahkan senjata yang ia miliki. Karena Tengku Bantaqiah merasa tidak pernah memiliki senjata yang mereka maksud, maka Tengku Bantaqiah hanya membantah tuduhan tersebut. Namun dengan pengakuan Tengku Bantaqiah tentara tidak puas dan lalu mereka mempersoalkan sebuah antenna radio pemancar yang terpasang pada atap pesantren. Lalu pompinan pasukan tersebut memerintahkan agar segerap melepaskan antenna tersebut dengah menyuruh putra Tengku Bantaqiah yang bernama Usman untuk menaiki atap pesantren. Sebelum Usman menaiki atap pesantren tersebut ia menuju rumah untuk mengambil peralatan, namun sebelum mencapai rumah yang jaraknya hanya 7 meter dari tempat berkumpul para santri, seorang pasukan memukul Usman dengan senjata api. Melihat perlakuan ini, Tengku Bantaqiah mencoba untuk mendekati putranya tersebut. Bersamaan dengan mendekatnya tengku Bantaqiah ke tempat pemukulan tersebut, dengan aba-aba tentara menembak Tengku Bantaqiah dengan menggunakan senjata pelontar BOM sehingga tersungkurlah Tengku Bantaqiah, setelah itu tembakan beruntun ditujukan ke arah kumpulan Santri. Tanpa perlawanan sama sekali pasukan ini menembak dengan membabi buta sehingga santri yang jumlahnya mencapi puluhan orang itu tewas dan terluka.

Setelah penembakan yag dilakukan berulang ulang ini, pasukan mengumpulkan santri yang masih hidup untuk dibariskan disebelah rumah tengku Bantaqiah. Beberapa saat kemudian dengan dalih akan membawa mereka berobat, santri yang mengalami luka atau tidak sama sekali diangkut dengan menggunakan truk menuju Takengon Aceh Tengah. Hanya beberapa orang saja yang sengaja ditinggalkan. Ditengah perjalanan menuju takengon tersebut, santri-santri ini pada kilometer 7 diturunkan dan diperintahkan untuk duduk jongkok ditepi jurang. Setelah jongkok satu orang dari para santri ini terjun ke dalam jurang masuk kedalam hutan yang lebat. Mengetwhui salah santri terjun ke jurang santri yang langsung di tembak beruntun oleh pasukan pengalawalan ini.

Pukul 16.00 pasukan dengan memerintahkan warga setempat untuk menguburkan Tengku Bantaqiah dan murid. Sedangkan santri wanita dan istri-istri almarhum dibawa menujua Mushola yang berada diseberang sungai. Setelah penguburan usai, wanita tersebut disuruh kembali ke pesantren.

Keadaan terakhir: pesantren ini sulit untuk dapat melanjutkan aktivitas keshariannya mengingat saran dan prasarana antara lain kitab-kitab berserta Al-qur’an yang tersedia telah habis terbakar bersamaan dengan tewasnya Tengku Bantaqiah beserta sebagian muridnya.

Sebagai akibat penembakan oleh pasukan TNI terhadap warga pesantren tersebut.

Dimana merekaĆ¢ā‚¬Ā¦Ć¢ā‚¬Ā¦..?

Hasil dari operasi yang dilakukan oleh TNI terhadap pesantren Tengku Bantaqiah ini masih menyisakan berbagai pertanyaan yang sampai saat ini belum terjawab. Sehingga warga Meulaboh atau Aceh Barat menjadi resah. Keresahan ini sangat beralasan sebab bagaimana mungkin seorang ulama ternama dapat dicabut nyawanya oleh TNI tanpa prosedur, apalagi mereka rakyat biasa, tentunya lebih gampang lagi melakukannya. Begitu kira-kira alasan mereka. Dari hasil penelitian warga setempat, masih belum jelas jumlah yang tewas, sebab menurut saksi, masih banyak dari murid-murid Bantaqiah sampai saat ini belum ditemukan makamnya atau keberaaanya. Adapun nama-nama yang tewas dan hilang adalah sebagai berikut :

 

Korban yang Tewas dan Hilang :

No

Nama

Umur

Alamat

1

Tengku Bantaqiah

54 th

Blang Meurandeh, Beutong Ateuh

2

Usman Bantaqiah

25 th

Sda

3

Zubir

28 th

Sda

4

M. Harun Jalludin

18 th

Sda

5

Muhammadin

40 th

Sda

6

Tarmizi Daud

30 th

Sda

7

M.Amin M.

28 th

Sda

8

M. Amin Baron

25 th

Sda

9

M. Huewin

32 th

Sda

10

Jamalol Ade

27 th

Sda

11

Syamsuar

27 th

Sda

12

Tengku Suhaimi

28 yh

Sda

13

Tengku Muhammadin

40 th

Sda

14

Abdul Wahed

20 th

Sda

15

Saidi

30 th

Sda

16

M. Ali Ben

26 th

Sda

17

Muhammad Janata

24 th

Sda

18

Tengku Munir

35 th

Desa Pusong, Langsa Aceh Timur

19

Latana

24 th

Sda

20

Tengku Kupendi

30 th

Sda

21

Mak Ali

32 th

Sda

22

Tengku Yusuf

32 th

Sda

23

Saifl

22 th

Sda

24

Tengku Daud

30 th

Desa Kuede Gerebak, Idi Aceh Timur

25

Salaiman

24 th

Sda

26

Ridwan

25 th

Sda

27

Iqbar

26 th

Sda

28

Junaidi

23 th

Sda

29

Tulisman

30 th

Ranup Dong Kecamatan Kaway XVI

30

Junaidi

28 th

Sda

31

Azis

30 th

Desa Kuta Balang

32

Amir

32 th

Sda

33

Tengku Zainal Abidin

35 th

Idi Aceh Timur

34

Buchari

26 th

Sda

35

Siabang

29 th

Buloh, Lhokseumawe Aceh Utara

36

Saifullah

26 th

Sda

37

Aidit

28 th

Aceh Selatan

38

Tengku Saimi

35 th

Sda

39

Nurdin

24 th

Julok

40

Bustamin

24 th

Sda

41

Tengku Tamam

35 th

Krueng Mane

42

Tengku Jamin

45 th

Sda

43

Majid

26 th

Desa Geuregok

44

Dedi Muktar

27 th

Sda

45

Iwan

32 th

Matang, Aceh Jeumpa

46

Usman

30 th

Sda

47

Samsul Bahri

28 th

Desa Matang Sijuk

48

Razali

24 th

Menasah Barok Aceh Pidie

49

Nasrul

27 th

Tringgadeng, Aceh Pidie

50

Tengku Zulkarnaen

42 th

Kila, Aceh Pidie

51

Mahdi Ubit

30 th

Kuta Blang

52

Tengku Mursidin

35 th

Babah Rot, Aceh Selatan

53

Tengku Manaf

50 th

Lhok Sukon, Aceh Utara

54

Sayuti

29 th

Kandang Aceh Utara

55

Tengku Sayuti

26 th

Lamno, Kecamatan Jaya Aceh Besar

56

Tengku Sukri

27 th

Menasah Baro Krueng Mane

Sumber data : Keluarga Tengku Bantaqiah.

 

Kedatangan dan Tuntutan Keluarga Tengku Bantaqiyah

Kedatangan dan Tuntutan Keluarga Tengku Bantaqiyah

Peristiwa Bantaqiyah adalah salah satu tragedi kemanusiaan di Aceh yang menjadi sangat penting karena terjadi di saat pemerintah berjanji untuk menyelesaikan masalah pelanggaran HAM dan menghentikan kekerasan terhadap rakyat sipil Aceh. Selain itu kekejaman yang terjadi pada kasus ini menjadi begitu terbuka, seakan menjadi tambahan bahan bakar baru bagi upaya memisahkan diri dari Indonesia.

Saat ini Kontras menerima keluarga Tengku Bantaqiyah yang datang ke Jakarta untuk menghadap Presiden, Panglima TNI, Menteri Agama, Meneg HAM, Jaksa Agung dan Komnas HAM. Maksud keluarga korban untuk menghadap pihak-pihak tersebut adalah menyampaikan apa yang mereka alami sekarang ini.

Sampai saat ini keluarga korban dan para santri terlantar karena hancumya sebagian fasilitas pesantren. Sementara itu trauma dan rasa takut akan ancaman kekerasan fisik masih mereka rasakan. Kontras, sebagai kuasa hukum dari keluarga korban, menyatakan agar pemerintah dapat segera merespon tuntutan dari keluarga korban sebagai wujud dari penghargaan terhadap hak asasi manusia. Seusai dengan yang dilaporkan kepada Kontras, keluarga korban menuntut kepada pemerintah untuk,

1. Melaksanakan pengadilan yang jujur dan transparan terhadap para pelaku pelanggaran HAM pada kasus Bantaqiyah dan kasus-kasus lainnya.
2. Memberikan santunan yang layak kepada korban terutama para janda dan anak-anak
3. Memberikan jaminan keamanan kepada keluarga korban dan para santri untuk melakukan kembali kegiatan keagamaan di pesentren tersebut.

Beberapa rekomendasi ini memang tidak serta merta menyelesaikan krisis di Aceh. Namun tetap harus dipandang sebagai salah satu proses pengobatan dari luka-luka yang diderita oleh masyarakat Aceh.

Jakarta, 24 Februari 2000

KONTRAS

 

MUNIR, SH
Koordinator