SIARAN PERS KONTRAS
Nomor : 02/SP/KontraS/I/2000
Tentang
Perkembangan Situasi di Aceh dan Perlunya Segera Gencatan Senjata Sebagai
Prasyarat Untuk Penyelesaian Persoalan Aceh
Memasuki abad baru ini, ternyata situasi dan kondisi di Aceh tidak menunjukkan perubahan baru kearah penghormatan terhadap Hak Azasi Manusia. Dari data-data yang berhasil dihimpun KontraS justru terlihat peningkatan skala kekerasan terhadap rakyat sipil Aceh. Dari cattatan kami kategorikan kekerasan ini adalah beruapa pembunuhan kilat di luar proses hukum (extra judicial killing/sumaary excecution), penghilangan orang secara paksa/penculikan (dissapperenance involuntary), penyiksaan (torture), penangkapan dan penahanan sewenang-wenang (arbitary arrest) maupun perampasan dan perusakan harta benda.
Dari kejadian-kejadian tersebut kami melihat bahwa hal ini merupakan inkonsistensi sikap pemerintah RI dalam penyelesaian kasus Aceh. Pada satu sisi Pemerintahan Gus Dur menyatakan akan melakukan pendekatan non-Militer dalam penambahan pasukan milter terus dilakukan dilapangan. Hal ini justru mengakibatkan peroalan Aceh yang memang sudah kompleks menjadi semakin rumit.
Selain itu juga faktor yang menambah rumitnya persoalan Aceh adalah upaya-upaya saling melakukan balsa dendam antara TNI/POLRI dan GAM, dalam setiap kontak senjata yang justru banyak mengorbankan sipil Aceh.
Dalam pandangan KontraS sikap-sikap dan tindakan aparat keamanan yang berakibat makin rumitnya persoalan dan penyelesaian kasus Aceh adalah :
1. Perluasan Wilayah Konflik.
Dibandingkan dengan masa-masa perberlakuan Daerah Operasi Militer (1989-1998) sampai kuartal pertama 1999, dalam masa-masa seterusnya wilayah konflik dan kekerasan berkembang lebih luas. Jika dalam kurung waktu pertama itu wilayah konflik dan kekerassan hanya terjadi di tigaa kabupaten yaitu Kabupaten Pidie, Aceh Utara dan Aceh Timur, maka memasuki kuartal kedua 1999 dan seterusnya wilayah konflik melbar menjadi 9 kabupaten/dati II (termasuk dua kabupaten/dati II yang baru dibentuk). Wilayah konflik baru tersebut selain tiga kabupaten/dati II di atas juga mulai melibatkan Kabupaten/Dati II Aceh Selatan, Aceh Barat, Aceh Besar, dan Aceh Tengah serta ditambah dengan Kabupaten/Dati II Aceh sSingkil dan Aceh Jeumpa yang baru dibentuk. Bahkan Kotamadia Banda Aceh yang dalam masa-masa sebelumnya relatif lebih aman dari konflik belakgan ini juga mulai menjadi wilayah konflik baru. Dari tiga belas kabupaten/dati II yang ada di Aceh, hanya Kotamadia Sbang (Pulau Weh) dan Kabupaten Semeulue (Pulau Simeulue) yang relatif aman. Namun ini pun tidak dapat diartikan tidak adanya konflik dn kekerasan di kedua wilaya terakhir ini, telatif amannya kedua wilaya tersebut sangat ditentukan karena terpisahnya kedua wilaya tersebut dari daratan Aceh. Selain itu kekerasan relatif amannya kedua wilayah tersebut mungkin juga disebabkan tiadanya pencatatan tindak kekerasan yang bisa saja telah terjadi di kedua wilaya tersebut. Hal terahir ini juga berpeluang terjadi pada Kabupaten/Dati II Aceh Tenggara karena tempatnya yang jauh di pedalaman Aceh.
Perluasan wilayah konflik ini tentu saja kontrasdiktif dengan upaya penyelesaian kasus Aceh yang seharusnya dimulai dengan melikalisir wilayah konflik, menyempitkannya, dan menyelesaikannya. Hal ini mengidintifikasikan bahwa pihak-pihak yang berkompeten dan memegang kendali terhadap penyelesaian kasus Aceh tidak mendasarkan tindakan-tindakannya pada keinginan menyelesaikan kasus Aceh secara cepat dan adil.
2. Pelibatan Aktor-aktor Konflik Baru.
Dibanding dengan masa-masa sebelumnya, dalam waktu-waktu terahir ini, tindakan-tindakan aparat keamanan telah manarik makin banyak pihgak yang terjerat ke dalam konflik. Jika dalam masa sebelumnya pihak yang berkonflik dapat dikategorikan dalam dua kelompok yaitu ; Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), maka kini kalangan Ulama dan Thaliban, mahasiswa, LSM dan relawan kemanusian serta ureung gampong (rakyat sipil pedesaan) juga mulai dilibatkan.
Indikasi pelibatan Thaliban terlihat dari tindakan pemerintah dengan melakukan peusijuek (perdamaian) antara TNI dan Thaliban dalam kunjungan Plresiden ke Sabang (20/1) yang lalu. Upacara perdamaian tersebut mengindikasikan bahwa thaliban sudah dianggap sebagai pihak yang berkonflik dengan TNI/Polri, sehingga dilibatkan dalam perdamaian tersebut. Tindakan ini skalipun berbalut operasi simbolisasi perdamaian namun bisa berdampak kontra produktif yang bisa memerosokkan thaliban sebagai musuh baru TNI/Polri, sehingga TNI/Polri memperopleh legitimasi untuk melakukan kekerasan terhadap kelompok ini jika situasinya telah cukup matang.
Sementara pelibatan kalangan mahasiswa/pelajar terlihat dengan dilakukkannya tindakan-tindakan kekerasan terhadap kelompok ini, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok-kelompok kemanusiaan dan dan HAM. dari beberappa kasus kekerasan oleh aparat TNI/Pplri terhadap mahasiswa yang dilampirkan bersama ini (lampiran 1 point 2 dan 5) dapat dilihat bahwa mahasiswa/pelajar dimusuh secara terbuka oleh aparat TNI/Polri. Sikap permusuhan ini akan menarik mahasiswa/pelajar sebagai aktor konflik baru yang tentu saja semakin menyulitkan penyelesaian yang cepat, tuntas dan adil. Perlu digarisbawahi bahwa kapasitas para mahasiswa maupun relawan kemanusian ini dalam melakukan bantuan kemanusian maupun untuk mendorong proses penyelesaian persoalan Aceh melalui cara-cara yang demokratis dan beradab.
Pelibatan ureung gampong ke dalam konflik juga terjadi dalam bentuk yang sama. Kekerasan-kekerasan yang dilakukan aparat TNI/Polri dalam bentuk sweeping, pembakaran rumah dan bangunan milik lainnya, penganiayaan, penangkapan dan penghilangan, dan pembunuhan sewenang-wenang terhadap rakyat sipil pedesaan ini telah menarik mereka untuk menjadi aktor konflik baru (lampiran 1 point 1 dan 3). Apalagi terindikasi bahwa kekerasan terhadap rakyat sipil Aceh tersebut terjadi setelah kontak-kontak senjata antara TNI/Polri dan GAM yang dengan demikian menunjukkan bahwa kekerasan itu dilakukan oleh TNI/Porlri sebagai upaya pembasan. Perpesktif TNI/Porli yang amat keliru ini bahwa rakyat adalah sasaran balsan setelah serangan GAM mengakibatkan rakyat sipil menjadi marah atas perlakuan dan cara penadang yang jelas-jelas tidak adil tersebut.
3. Generalisasi Aktor-aktor Konflik
Sikap dan tindakan aparat keamanan tersebut diperburuk dengan generalisasi gegabah terhadap pihak-pihak yang berkonflik. Bahwa tindakan-tindakan represif TNI/Polri tersebut telah membangun struktur konflik baru yaitu dengan menarik actor-aktor baru yang terdiri dari Thaliban, mahasiswa/pelajar, LSM dan relawan kemanusian maupun rakyat sipil, yang dianggap oleh TNI/Polri sebagai bagian dari suatu gerakan separatis. Generalisasi ini kemudian digunakan oleh TNI/Polri sebagai basis legitimasi untuk melakukan kekerasan dang pendekatan militeristik dengan alasan menegakkan kedaulatan negara.
Dengan basis legilitimasi yang coba dibangun demikian maka kami melihat bahwa hal tersebut akan semakin mempersulit pertanggung jawaban baik secara yuridis maupun secara politis terhadap kejahatan HAM yang terjadi di Aceh.
Berdasarkan analisis dan bukti-bukti di atas, Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) , mendesak :
Jakarta , 28 Februari 2000
Munir, SH. Munarman, SH.
Koordinator Badan Pekerja Koord. KontraS Aceh.
Lampiran I.
Kekerasan Aparat Keamanan Terhadap Mahasiswa/Pelajar dan Rakyat Sipil Aceh.
Tindak kekerasan ini selalu diikuti dengan makian dan kata-kata kasar terhadap upaya-upaya pembelaan HAM. Dalam laporan para korban pelecehan yang paling sering dilakukan adalah makian bahwa aparat bisa melakukan kekerasan apa saja tanpa mereka akan terkena akibat apapun dan korban dipersilahkan untuk mempermasalahkan kejadian atas dirinya sampai ke tingkat manapun. Sering pula terjadi penganiayaan terhadap rakyat sipil Aceh oleh aparat yang dipersonifikasi seolah-olah penganiayaan terhadap para pembela HAM, baik yang berada di Aceh maupun bukan. Korban melaporkan mereka dipukul dengan tangan kosong atau popor senjata diikuti kata-kata “pukulan ini untuk Munir, yang ini untuk Otto, yang ini untuk Humam Hamid†dan sebagainya.
Lampiran II
Daftar nama Relawan PCC yang Ditangkap dan Ditahan Oleh Polsek Bireun
Data Kekerasan bulan Januari 2000 di Aceh .
| Minggu I | Minggu II | Minggu III | Minggu 1V |
Pembunuhan/Penembakan | 25 | 30 | 60 | 27 |
Penyiksaan/Intimidasi | 53 | 30 | 13 | 1 |
Penangkapan/Penahanan sewenang-wenang | 7 | 6 | 54 | 2 |
Penculikan/Penghilangan | – | 1 | 10 | – |
Perusakan harta benda | 22 | 141 | 120 | 4 |
Data ini dibuat oleh Kontras yang bersumber dari berbagai media dan laporan relawan daerah.
Lampiran II
Jumlah Korban Kekerasan bulan Januari 2000 di Aceh
| Tewas | Luka – Luka | Hilang |
Rakyat Sipil | 27 | 91 | 12 |
TNI †Polri | 22 | 37 | – |
G.A.M | 16 | – | – |
Data dibuat berdasarkan laporan relawan Kontras dan sumber berbagai media.