Perkembangan Terakhir Situasi Penegakan Hak Asasi Manusia di Aceh

Siaran Pers LBH Banda Aceh

No : 04/SP/LBH Banda Aceh/III/2000

 

Tentang

Perkembangan Terakhir Situasi Penegakan Hak Asasi Manusia di Aceh

Memasuki bulan keempat tahun 2000 atau bulan keenam pemerintahan Abdurrahman Wahid kondisi penegakan hak-hak sipil rakyat Aceh masih tetap buruk. Kekerasan dan kejahatan terhadapa kemanusian yang dilakukan oleh aparat militer terhadap rakyat sipil Aceh terus berlangsung tanpa gejala penurunan, bahkan mulai menampakkan kembali pola-pola modus operandi ala DOM, disertai gejala penguatan satuan-satuan militer di Aceh. Dari perspektif penegakan hukum dan keadilan praktek impunity untuk melindungi institusi militer dan negara dari tuntutan hukum makin jelas terlihat. Dalam konteks hubungan sipl dan militer, pembangkangan militer terhadap pemerintahan RI kembali menunjukkan bukti baru, melengkapi bukti-bukti pembangan yang memang telah ada sebelumnya.

Beberapa hal itulah yang harus dicermati dalam perubahan kondisi penegakan hak asasi manusia di Aceh akhir-akhir ini, sebagaimana dipaparkan lebih lanjut berikut ini:

Sepanjang Maret 2000, kasus-kasus kekerasan dan kejahatan terhadap kemanusian di Aceh tetap terjadi sebagai satu mata rantai dalam jalinan keputusan politik represif sistematis pemerintah RI yang secara operasional dilaksanakan oleh TNI/Polri. Kekerasan yang dilakukan oleh aparat militer terhadap rakyat sipil Aceh terus berlangsung tanpa gejala penurunan, bahkan mulai menampakkan kembali pola-pola modus operandi ala DOM, seperti penemuan mayat ditempat terbuka yang bertujuan untuk shock therapy , penculikan dan pemindahan orang lintas kabupaten, perkosaan dan pelecehan seksual. Dalam kasus-kasus kekerasan baik massal maupun individual yang terjadi diberbagai tempat misalnya Mangkuil, Meulaboh dan Seulimuem pola-pola ini kembali terlihat. Seperti untuk kasus Matanguli, perkosaan dan pelecehan seks terjadi disertai penganiayaan dan penjarahan harta milik penduduk. Sementara untuk kasus Seulimuem (Kab. Aceh Besar) yang terjadi adalah korban Saiful Azmi bin Tgk. Adnan terlebih dahulu ditangkap secara non prosedural oleh aparat Brimob BKO Polsek Seulimuem pada tanggal 25 Maret 2000 dan kemudian dibunuh setelah sebelumnya disiksa dan mayatnya dibuang di tempat terbuka di kawasan Kotamadia Banda Aceh yang kemudian ditemukan warga setempat pada tanggal 27 Maret. Dari hasil pemeriksaan tenaga medis RSU Zainoel Abidin Banda Aceh, ditemukan tanda-tanda penyiksaan pada sekujur tubuh korban. Pengulangan pola ini melengkapi pola-pola kekerasan militer terhadap rakyat sipil yang terjadi pasca DOM memperlihatkan bangkitnya kembali kepercayaan diri pihak militer karena tidak adanya penegakan hukum dan tindakan politik yangnyata untuk menghentikannya. Eskalasi kekerasan sempat menurun ketika proses verifikasi dan penyelidikan terhadap kasus-kasus sebelumnya gencar dilaksanakan. Namun tiadanya upaya politik yang sungguh-sungguh untuk menghentikan operasi militer dan tidak sugguh-sungguhnya upaya penegakan hokum untuk menuntut pertanggungjawaban pelaku memuat aparat militer menjadi kembali merasa tidak akan tersentuh hukum sekalipun mereka kembali mengulangi perbuatanya.

Untuk praktek impunity, berkerasnya pemerintah pusat memaksakan pelaksanaan peradilan konekstitas sebagai upaya hukum untuk mengadili pelaku pelanggaran HAM menunjukkan betapa kuatnya keinginan untuk melindungi institusi pelaku dari tanggung jawab hukum. Institusi militer Indonesia dan negara, yang menjadi pelaku-pelaku kejahatan terhadap kemanusian dalam 7 (tujuh) kasus yang akan disidangkan dalam sidang koneksits awal April 2000 tersebut, diupayakan tidak tersentu hukum dengan menjadikan kasus-kasus tersebut sebagai kasus pidana/kriminal biasa. Lebih jauh, pemerintah RI melalui Meneg HAM Hasballah M. Saad telah mencoba mengelabui rakyat Aceh dengan mempropagandakan bahwa peradilan koneksitas adalah merupakan peadilan HAM.

Praktek impunity terhadap militer dan negara terlihat nyata dalam kasus Tgk.Bantaqiah. kasus ini jelas-jelas memperlihatkan ciri kejahatan terhdap kemanusian ( crime against humanity ) yaitu sistematik dan meluas ( systematically and widespread ). Namun sifat mendasar kasus ini diabaikan dan dijadikan kasus pembunuhan biasa. Padahal pemindahan dengan dakwaan kriminal biasa ( ordinary crime ) tidak akan pernah bisa menuntut pertangungjawaban institusi. Pelaku akan dituntut secara personal dan dianggap bertanggung jawab sendiri atas apa yang telah terjadi terhadap diri Tengku Bantaqiah, sementara negara dan istitusi militer yang telah memberikan perintah dan kewenangan kepada pelaku untuk melakukan upaya represi, termasuk membunuh korban, akan lepas dari tuntutan.

Fakta lain yang memperburuk kondisi adalah rencana didatangkannya 150 personil Brigade Mobil dari Yogyakarta dengan dalih untuk mengamankan persidangan ini. Penambahan pasukan ini hanya akan menambah tekanan kepada rakyat sipil Aceh yang dipastikan akan menjadi korban lagi pra sampai pasca persidangan tersebut jika kebijakan represif negara tidak dihentikan. Penambahan 150 pasukan Brimob dengan dalih untuk pengamanan peradilan koneksitas di Aceh, adalah merupakan srategi militer untuk melakukan mobilisasi dan penambahan pasukan ke Aceh.

Kondisi ini semakin diperburuk dengan adanya pembangkangan militer terhadap pemerintahan sipil dan tidak adanya kewibawaan politik pemerintahan sipil di Jakarta. Presiden Abdurraman Wahid yang menjanjikan penyelesaian konflik Aceh pada Maret 2000 memang kemudian secara simbolik telah memperlhatkan percobaan penyelesian damai itu dengan mengirim Bondan Gunawan dalam missi tidak resmi. Namun Bondan yang dalam pertemuan itu menjanjikan tidak akan ada lagi kekerasan segera terbungkamkan dengan fakta bahwa TNI/Polri segera menggelar penyisiran yang diikuti dengan tindak kekerasan terhadap rakyat sipil Aceh hanya beberapa jam stelah pertemuan damai tersebut dilaukan. Terlihat sekali bahwa militer Indonesia memilih jalan sendiri yang berbeda dengan garis politik yag diambil oleh pemerintah RI, sementara President Abdurahman Wahid juga tidak memperlihatkan kepercayaan diri secara politik dengan menindak para pejabat militer pembangkang itu dan malah membiarkan kompetensi pemerintahanya dipermalukan.

KontraS dengan fakta lapangan yang memperlihatkan memburuknya kondisi penegakan hak asasi manusia, untuk konsumsi elit nasional dan international elit politik Jakarata terus menerus meberikan jaminan-jaminan semu tentang kondisi keamanan dan berita-berita bohong tentang penegakan hak-hak sipil rakyat Aceh yang dikran baik dan stabil.

Dengan mendasarkan diri pada fakta-fakta dan analisis tersebut Lembaga Bantuan Hukum Banda Aceh dengan ini :

Mendesak Pemerintah Indonesia dan TNI/Porli untuk segera menghentikan segenap bantuan operasi militer dan semi militer yang berkedok opeasi polisonil di Aceh sebagai prasyarat peyelesaian damai dan menyeluruh bagi konflik Aceh.

Mendesak Presiden Abdurrahman Wadid selaku Pangti untuk segera meindak tegas para pejabat militer yang telah terbukti melakukan pembanganan terhadap kebijakan politik pemerintah Indonesia dalam menangani kasus Aceh.

Mendesak Pemerintah Indonesia untuk segera membentuk Komis Penyelidik kejahatan Terhadap Kemanusian (KPKTK) untuk kasus Aceh sebagai bentuk upaya nyata penegakan hukum dan kedilan.

Mendesak Pemerintah Indonesia utuk membatalkan pengadilan Koneksitas dan mengantinya dengan pengadilan HAM Ad Hoc yang harus dibentuk secepatnya.

Banda Aceh, 31 Maret 2000

Arie MaulanaRufriadi, SH
Divisi KampanyeKoordinator

Lampiran