PENYINGKAPAN para pelaku berbagai peristiwa yang telah menghancurkan sebagian besar nilai dan tatanan hidup bersama masyarakat merupakan prasyarat utama transformasi dari masa lampau yang ditandai ketidakadilan, tekanan politik, kekerasan, dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM), menuju pemerintahan demokratis yang ditandai penghormatan martabat manusia.
"PEMBENTUKAN Komisi Kebenaran dapat dilihat sebagai salah satu bentuk upaya penyelesaian yang memberi banyak kemungkinan selain penuntutan hukum," ujar Karlina Leksono-Supelli, dari Tim Relawan untuk Kemanusiaan, seraya menambahkan, untuk skala pelanggaraan sebanyak dan seluas yang terjadi di Indonesia hal itu hampir tak mungkin dilaksanakan pada semua korban. "Korbannya pun terlalu banyak," sambung Munir, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), pada kesempatan terpisah.
Karlina mengingatkan, sasaran akhir komisi semacam ini bukanlah semata-mata penyelesaian persoalan pelanggaran HAM, tetapi salah satu sarana untuk memungkinkan transformasi masyarakat menuju masyarakat sipil yang demokratis dan memberikan penghormatan yang tinggi terhadap martabat manusia.
Munir sependapat dengan Karlina, kebenaran selalu berhimpitan dengan keadilan. "Keadilan terhadap masa lalu, keadilan terhadap bagaimana mendengarkan suara korban. Respons terhadap itu memberi rasa adil pada masyarakat."
Rekonsiliasi tidak mungkin tanpa proses keadilan, karena biasanya rekonsiliasi lari-nya ke amnesti. "Pengampunan hanya bisa diberikan setelah negara melakukan rehabilitasi terhadap korban," lanjut Munir.
Rasa adil sendiri bersifat relatif. Karena itu, menurut Munir, pola penyelesaiannya juga dapat relatif. "Orang tak bisa mengharapkan maksimal dari upaya ini. Di berbagai negara, banyak orang tidak puas dengan kerja Komisi Kebenaran karena tingkat komprominya tinggi."
Tingkat kompromi yang tinggi itu terjadi pada negara-negara di mana posisi militer masih kuat. Seperti Argentina setelah junta militer jatuh pada tahun 1983, Presiden Raoul Alfonsin harus mengeluarkan undang-undang untuk mengatur penyelenggaraan peradilan hak asasi manusia di mahkamah militer, jadi bukan pengadilan HAM. UU yang sama, seperti dipaparkan Karlina Leksono, juga melindungi pelaku yang bertindak atas perintah atau yang mematuhi perintah.
Alfonsin mengeluarkan peraturan itu ketika pemerintahannya baru saja mengadili dan menghukum lima dari sembilan anggota junta militer yang terbukti terlibat di dalam kejahatan HAM – junta militer bertanggung jawab atas ribuan kasus penghilangan aktivis politik di negeri itu – sekalipun bukan pelaku langsung. Tekanan keras muncul dari pihak militer, sehingga Alfonsin harus menerapkan batas waktu pelaksanaan penuntutan hukum. Pada tahun 1987,
sekelompok perwira militer menuntut anmnesti dengan jalan kekerasan.
Sementara itu, antara tahun 1983 sampai tahun 1990, terjadi empat kali percobaan kudeta atau pendudukan sarana strategis negara/militer oleh sekelompok militer. Ketika Carlos Menem menjabat sebagai presiden, ia pun memberi amnesti kepada anggota militer yang semasa pemerintahan Alfonsin sudah terbuki bersalah di pengadilan. Sebuah putusan yang tidak pernah disetujui bahkan menyebabkan keluarga korban merasa tidak dihargai dan tidak
menerima keadilan yang menjadi hak mereka.
***
PENGALAMAN Argentina, seperti dikemukakan Karlina, menunjukkan pencapaian maksimal yang bisa diperoleh ketika ada kehendak politik. Namun, pengalaman itu sekaligus merupakan kenyataan pahit bahwa upaya menegakkan keadilan lewat jalan hukum dengan cara mengadili dan menghukum pelaku mengandung risiko ketidakstabilan politik ketika para pelaku, khususnya militer masih mempunyai pengaruh untuk menekan pemerintah.
"Jadi, pelanggaran HAM oleh militer lebih baik dibongkar dengan Komisi Kebenaran, bukan dengan pengadilan," sambung Munir, seraya memaparkan realitas di Indonesia yang tidak memungkinkan pengadilan formal untuk militer.
Pembentukan Komisi Kebenaran merupakan kesadaran bahwa ada masalah ketidakadilan di masa lalu dan memutus rangkaian impunity politik yang memungkinkan pelaku dapat melenggang bebas tanpa harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Kalau masalah ini tidak dibuka, masyarakat akan terus diresahkan oleh ingatan pada peristiwa masa lalu.
Dalam bahasa yang lebih filosofis, Karlina mengatakan, penyingkapan kejahatan di masa lampau, baik pengakuan terhadap kesalahan, penuntutan hukum, pemaafan atau pengampunan, rehabilitasi individual maupun simbolik merupakan bagian tindakan mengembangkan makna baru dalam hubungan bermasyarakat yang akan menemukan aktualitasnya dalam berbagai situasi berbeda di masa depan.
Akan tetapi, penyingkapan dan pembongkaran masalah itu, menurut Munir, juga memungkinkan terjadinya ketegangan baru karena adanya resistensi dari pelaku.
Situasi seperti inilah yang akan dihadapi Komisi Kebenaran yang akan dibentuk di Indonesia. Munir juga mengingatkan, Komisi harus bekerja dengan tingkat kehati-hatian yang tinggi, karena bukan tidak mungkin pada saat mereka bekerja membongkar kasus demi kasus, akan muncul konflik baru dalam masyarakat.
Seperti misalnya pembongkaran kasus-kasus besar dan kontroversial, G30S/PKI, yang dikatakan pengamat politik Dr Daniel Dhakidae sebagai simpul pertama. "Suara korban harus didengar karena banyak orang yang tidak tahu apa-apa juga menjadi korban. Saya rasa mereka ingin namanya direhabilitasi, stigmanya dihapus," lanjut Munir.
Sulitnya, "Konsep di negara kita hanyalah peralihan dari yang menang ke yang menang. Jadi bukan sistem, sehingga kalau mau membongkar masa lalu, lantas jadi ancaman bagi pihak yang menang. Kemudian ada kekuatan-kekuatan yang mengkonsolidasikan diri dengan nuansa macam-macam yang pada dasarnya tidak mendidik masyarakat," lanjut Munir.
***
DI sisi lain, Munir sendiri merasa ragu terhadap kesungguhan pembentukan Komisi Kebenaran. "Selama enam bulan terakhir saya melihat perhatian elite politik kita terhadap masalah ini sangat rendah karena didominasi kepentingan politik kelompoknya dan orientasi kekuasaan dengan kekerasan," papar Munir.
Munir menegaskan, Komisi Kebenaraan hanya akan terbentuk bila semua pihak, pemerintah dan seluruh kekuatan politik yang ada mendukungnya. Yang terjadi di Indonesia, seluruh kekuatan politik masih menganggap korban pelanggaran HAM sebagai kekayaan politik masa lalu suatu kelompok politik yang selalu akan digunakan untuk kepentingan meraih kekuasaan di masa depan.
"Jadi masa lalu digunakan semata-mata untuk memenuhi kebutuhan politik sesaat. Kalau mereka bilang mau membongkar, itu lebih untuk kepentingan politik mereka. Saya melihat perhatian elite politik kita pada kemanusiaan masih rendah," ujar Munir.
Kalaupun Komisi Kebenaran akan dibentuk, dan Indonesia banyak melihat model Komisi Kebenaran dan rekonsiliasi di Afrika Selatan, model itu tak bisa diambil begitu saja karena kondisi sosial-politik yang berbeda dan jenis-jenis konflik yang juga sangat berbeda.
Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Parlemen di Afrika Selatan tahun 1995 adalah inisiatif Presiden Nelson Mandela dalam upaya membentuk pemerintahan baru yang demokrastis. Komisi dibentuk untuk mengungkapkan kebenaran sejarah atas pelanggaran HAM akibat konflik politik di masa lalu. Waktu kerja Komisi dibatasi dua tahun, dengan beban kerja yang cukup berat karena harus menyelidiki pelanggaran HAM di Afrika Selatan sejak tanggal 1 Maret 1960 sampai 5 Desember 1993.
Komisi yang terdiri dari Komite Amnesti, Komite Pelanggaran HAM dan Komite Rehabilitasi dan Repatriasi ini bertugas membuat rekomendasi untuk parlemen dan presiden, dua pihak yang mengambil keputusan atas rekomendasi Komisi. Komisi menangani sekitar 20.000 kasus yang dilaporkan masyarakat, namun hanya mampu menangani dan menindaklanjuti sekitar 20 persennya.
"Karena terlalu banyak jenis kejahatannya, bisa diambil jenis kejahatan tertentu yang dibuka sebagai simbol," kata Munir. Di Afrika Selatan, misalnya, yang diambil adalah kasus penghilangan. Di Indonesia, tolok ukurnya masih harus dipelajari, apakah kasus orang hilang, atau peristiwa yang memakan banyak korban. Untuk menentukan tolok ukur tindak pelanggaran yang akan dipakai hampir dipastikan akan terjadi perdebatan keras.
Sementara pengamat politik dari CSIS, Kristiadi, dalam seminar nasional Penyelesaian Kasus-kasus Pelanggaran HAM Masa Lalu: Antara Kebenaran dan Keadilan yang diselenggarakan Elsam pertengahan April lalu mengingatkan, membangun demokrasi memerlukan keuletan, kesabaran, kerja keras, toleransi serta mufakat dan kerja sama seluruh warganegara, disertai kesadaran bahwa demokrasi bukan Lampu Aladin yang dapat mengubah keadaan jelek menjadi baik dalam sekejap.
Tertib politik yang demokratis yang hendak dibangun saat ini baru sampai tahap sangat awal, yaitu tahap akhir liberalisasi. Setelah tahap ini diperlukan energi bangsa untuk membangun instalasi demokrasi sebagai tahap berikutnya guna mewujudkan konsolidasi demokrasi. Menurut Kristiadi, lambannya proses demokratisasi mengakibatkan kasus-kasus pelanggaran HAM yang telah dibongkar oleh publik seperti kasus Timor Timur, Aceh, Maluku, Mei
1998, Semanggi I, Semanggi II, menguap seperti suara di gurun pasir.
Karena itu, harus ada cara untuk menghentikan agar suatu bangsa bisa menjalani masa depan dengan hati terbuka dan tanpa luka-luka batin lagi. Cara dan jalan untuk sampai pada kebenaran dan keadilan bukan jalan mudah, bahkan mungkin amat panjang, bergelombang, gelap, melelahkan, dan menggentarkan. "Tidak ada jalan pendek menuju rekonsiliasi," ujar Karlina, "Tidak ada." (nmp/mh)