SEDIKITNYA 16.000 ORANG DIHILANGKAN NEGARA

Jakarta, Kompas
Diperkirakan selama masa Orde Baru hingga kini, sedikitnya terjadi 16.000 kasus penghilangan orang di Indonesia, sehingga menempatkan Indonesia pada peringkat tertinggi di dunia dalam tindakan yang tergolong kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity). Penghilangan orang oleh negara yang merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM) paling serius dan setara dengan kriminalitas perang dan genocide ini, harus dikecam dan merupakan tanggung jawab negara.

Pendapat ini dikemukakan oleh Munir, Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), maupun mantan Menteri Kehakiman Prof Dr Muladi SH, dalam Lokakarya Penanganan dan Penyelesaian Orang Hilang, yang diadakan Kantor Menteri Negara (Menneg) Urusan HAM di Jakarta, Jumat (28/4).

Menurut Munir, sedikitnya ada empat motif terjadinya kasus orang hilang, yaitu benturan ideologi negara dan rakyat, penguasaan tanah oleh negara, benturan kepentingan politik, dan resistensi negara untuk menutupi kesalahan negara. "Makin lama umur suatu rezim otoritarian, makin besar pula kemungkinan terjadinya penghilangan orang oleh negara. Di Indonesia, kasus orang hilang bukan hanya karena alasan politis, namun juga karena masalah penguasaan tanah yang tersebar di
berbagai daerah yang terjadi selama 30 tahun terakhir," katanya.     

Komisi Kebenaran
Munir menyatakan skeptis dengan rencana pemerintah untuk membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, karena ini merupakan cara penyelesaian kasus-kasus orang hilang secara nonhukum. Seharusnya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang telah diberi mandat kuat dengan adanya UU No 39/1999 tentang HAM, dapat melakukan perubahan struktur dan tindakan yang lebih nyata.

"Sayangnya, selama ini belum terlihat adanya kemajuan dalam organisasi dan tindakan Komnas HAM. Kalau toh nantinya tetap dibentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, harus diungkapkan secara jelas motif negara melakukan penghilangan orang," ujar Munir.     Acara pembukaan lokakarya kemarin sempat ricuh karena keinginan sekitar belasan orang yang mengaku keluarga orang hilang untuk menyatakan sikap. Mereka yang menyatakan diri sebagai Ikatan Keluarga
Orang Hilang Indonesia (IKOHI) dan para keluarga korban penculikan Aceh yang didampingi Kontras itu, akhirnya diizinkan membacakan pernyataan sikap bersama. Intinya, mereka menuntut pertanggungjawaban negara untuk menjelaskan nasib orang-orang yang dihilangkan atau diculik.
   
Pra-komisi
Sehari sebelumnya, Menteri Negara Hak Asasi Manusia (Menneg HAM) Hasballah M Sa’ad kepada wartawan mengatakan, dalam waktu dekat Kantor Menneg HAM memprakarsai pembentukan semacam Pra-Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, dalam rangka menyongsong pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang sifatnya lebih permanen. Pra-Komisi ini khususnya hanya akan menangani kasus-kasus orang hilang, menyusun database orang hilang melalui pelacakan dan investigasi, serta menerima pengaduan kasus.

Menurut Hasballah, hingga kini kantornya masih terus menerima laporan kasus adanya orang hilang dari berbagai daerah. Jika konflik di Ambon, Maluku Utara dan Sambas adalah antarwarga masyarakat, maka kekerasan di Aceh, Papua dan Timor Timur merupakan bentuk kekerasan oleh negara terhadap anggota masyarakat. Kalau ada kasus orang hilang akibat kekerasan oleh negara sulit diselesaikan secara hukum, karena definisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KHUP) mengenai penculikan, tidak pernah secara jelas menyebutkan adanya motif politik di balik kasus penghilangan orang. KUHP melihat kasus orang hilang sebagai
kasus sipil dan bersifat individual.

"Pada kenyataannya, kasus-kasus penghilangan orang yang terjadi selama ini, sangat diduga berkaitan dengan kebijakan represif negara dan merupakan salah satu bentuk pelanggaran berat HAM. Dengan membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, diharapkan dapat memberi keadilan tanpa lewat proses pengadilan," kata Hasballah.     

Ia mengakui, ini bukan pekerjaan mudah karena pasti ada resistensi dari pihak-pihak yang selama ini melakukan tindakan kekerasan dan penghilangan orang. Harus diupayakan adanya modus sedemikian rupa, sehingga yang tercipta bukanlah mekanisme balas dendam dan tak boleh ada kelompok atau lembaga yang merasa disudutkan. (ij)