KELUARGA KORBAN MINTA PENGADILAN KONEKSITAS ACEH DIHENTIKAN

Jakarta, Kompas
Keluarga korban pembunuhan Teungku Bantaqiah meminta agar pengadilan koneksitas di Banda Aceh tidak dilanjutkan. Pengadilan itu hanya menjadi public relation elite politik saja, dan jelas-jelas telah ditolak masyarakat Aceh dan juga para korban. Keterangan saksi korban yang menjadi bagian penting dari proses pengadilan tersebut sama sekali tidak bisa diperoleh.

Hal tersebut disampaikan juru bicara Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Munarman, saksi korban yang juga istri Teungku Bantaqiah, Ny Man Farisah, serta Sekretaris Yayasan Bantaqiah, Teungku Zainuddin, Rabu (10/5), di Jakarta.

Ny Man Farisah dan Teungku Zainuddin secara khusus datang ke Jakarta untuk meminta perlindungan karena teror terhadap para saksi semakin hari semakin mencemaskan. "Pada hari ketiga persidangan, rumah saya di Lhokseumawe dilempari granat. Granat itu melukai 17 orang yang berada di halaman rumah saya," ungkap Zainuddin.

Sementara itu, dua sopir angkutan umum yang sehari-hari mengangkut keluarga santri dan Teungku Bantaqiah, yaitu M Yusuf dan Ahmad, tewas pada tanggal 28 April 2000 usai mengantar Ny Man Farisah dari Beutong Ateuh ke Bireun. 

Pengusutan ulang
Munarman menguraikan, proses pelaksanaan pengadilan koneksitas justru dijadikan alasan bagi penambahan pasukan ke Aceh sebanyak 1.000 personel, dengan alasan untuk menjaga keamanan pengadilan koneksitas. Kehadiran pasukan tersebut justru bertolak belakang dengan tujuannya, karena para saksi justru mendapatkan teror, intimidasi, bahkan dikepung rumahnya.

"Teror tersebut merupakan salah satu upaya untuk mengisolasi, khususnya keluarga dan murid pesantren Teungku Bantaqiah, sehingga informasi yang dimiliki para saksi itu tidak keluar pada proses persidangan. Kita sama-sama mengetahui, pihak keluarga pernah meminta jaminan dari Kejaksaan Agung dan sudah diberikan selembar surat oleh Jaksa Agung, tetapi surat itu tidak memberikan pengaruh apa pun, baik perlindungan fisik maupun perlindungan hukum," katanya.

Dari fakta yang terungkap di persidangan, lanjut Munarman, terungkap bahwa perintah operasi tersebut dikeluarkan langsung oleh Komandan Korem 011/Lilawangsa Kolonel Syafnil Armen, baik secara lisan maupun tertulis melalui telegram yang isinya berupa perintah untuk mencari, menemukan, mendekati dan menangkap tokoh GAM hidup atau mati. "Dalam bahasa militer perintah tersebut merupakan bentuk perintah atau izin untuk membunuh. Akan tetapi dalam proses persidangan hingga saat ini Komandan Korem sebagai pemberi perintah tidak disentuh sedikit pun dalam proses pengadilan tersebut," ungkap jubir Kontras itu.

Oleh karena itu, Kontras mendesak agar Komnas HAM untuk segera membentuk KPP HAM dan melakukan penelitian ulang atas seluruh proses operasi militer di Aceh, sehingga mereka yang bertanggung jawab seluruhnya bisa dihadirkan di pengadilan. "Tidak disentuhnya Komandan Korem dan petinggi TNI lainnya di jajaran Kodam I dalam berkas yang diserahkan ke pengadilan, menunjukkan ada ketidakberesan dalam penyidikan yang dilakukan tim penyidik koneksitas untuk kasus Aceh itu," tegas Munarman. (oki)