RUU PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA PERLU DIROMBAK

Jakarta, Kompas
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) perlu merombak Rancangan Undang- Undang (RUU) Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM), khususnya terhadap pasal yang memungkinkan intervensi pemerintah atas sistem peradilan, serta peluang untuk mempertahankan lingkaran setan kekebalan hukum para pelaku pelanggaran HAM. Di sisi lain, DPR perlu mencabut UU tentang Peradilan Militer yang selama ini menjadi alat melindungi pelaku dan penanggung jawab kejahatan HAM.

Hal tersebut disampaikan Koordinator Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Munarman, Wakil Ketua Dewan Pengurus Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Munir, dan Kepala Operasional Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Daniel Panjaitan, Jumat (9/6), di Jakarta.

Ketiganya menguraikan, ketentuan dalam pasal 37 RUU yang menentukan bahwa Presiden atas usulan DPR-lah yang menetapkan perlu tidaknya ada peradilan ad hoc HAM untuk kasus pelanggaran HAM yang telah terjadi sebelum adanya UU Pengadilan HAM, perlu diubah. Ketentuan itu memberikan ruang gerak bagi permainan elite politik, baik di DPR maupun eksekutif, untuk melindungi para pelaku pelanggaran HAM.

"Kalau harus diatur bahwa peristiwa pelanggaran HAM sebelum RUU itu diundangkan diselesaikan melalui peradilan HAM ad hoc, seharusnya Mahkamah Agung-lah yang menentukan perlu tidaknya pembentukan pengadilan tersebut," jelas Munarman.

Panjaitan menambahkan, ketentuan pada pasal 11 RUU juga menutup peluang bagi kontrol masyarakat dalam proses penghentian penyidikan perkara, dengan membatasi hak mengajukan gugatan praperadilan yang hanya dapat diajukan oleh keluarga korban. "Hal itu bertentangan dengan prinsip bahwa pelanggaran HAM bukanlah hubungan yang bersifat individual antara pelaku dan korban. Pelanggaran HAM lahir dari penyalahgunaan kekuasaan yang tidak mungkin hanya dapat dikontrol oleh mereka yang menjadi korban langsung, tetapi oleh seluruh anggota masyarakat. Sehingga seharusnya peluang mengajukan permohonan
praperadilan juga diberikan kepada lembaga atau organisasi kemasyarakatan dan masyarakat," paparnya. 

Pembatasan kewenangan
Menurut Munir, pembatasan kewenangan peradilan HAM hanya pada pelanggaran berat HAM, sebaiknya juga diubah dengan pemberian kewenangan terhadap berbagai bentuk pelanggaran baik terhadap Kovenan Hak Sipil dan Politik maupun Kovenan Ekonomi, Sosial dan Budaya sebagaimana dimuat dalam UU No 39/1999 tentang HAM.

"Seharusnya hal ini dapat dilakukan dengan amandemen terhadap KUHP. Terbatasnya pelanggaran HAM yang dijangkau oleh RUU ini dikhawatirkan akan membuat Peradilan HAM di kemudian hari tidak mempunyai pekerjaan, karena bergesernya pola dan sistem pemerintahan juga akan mengubah jenis pelanggaran HAM yang terjadi di suatu negara," jelasnya.

Munir mengharapkan UU Peradilan Militer dicabut. Adanya dualisme peradilan pidana, yaitu Peradilan Umum dan Peradilan Militer itu bertentangan dengan asas peradilan yang jujur dan tidak memihak, serta bertentangan dengan prinsip persamaan di depan hukum. "Pada praktiknya, khusus untuk kalangan militer, para pelaku diberikan perlindungan dan kekebalan hukum melalui kelembagaan perwira penyerah perkara (Pepera) dan atasan yang berhak menghukum (Ankum),"
tegasnya. (oki)