PENGUNGKAPAN kebenaran dari suatu tindak kekerasan, konflik, dan berbagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang pernah terjadi merupakan bagian yang penting dalam proses rekonsialisasi. Namun, pengungkapan itu hanya mungkin jika ada korban dan atau saksi yang mau bersaksi di depan sidang pidana pelanggaran HAM. Akan tetapi, tidak adanya jaminan keamanan dan persidangan yang menjunjung keadilan, membuat saksi dan korban cenderung memilih diam. Para elite politik dan pemuka masyarakat dalam banyak hal juga hanya menyudutkan korban dan saksi tindak kekerasan. Hal sama terjadi
untuk berbagai kasus kekerasan lain, khususnya kasus-kasus kekerasan atas dasar jenis kelamin sosial (gender) dan korupsi. Karena itu, kebutuhan akan perlunya sistem perlindungan bagi saksi dan korban, sudah mendesak.
***
MUDAH-mudahan masih belum pupus dari ingatan ketika keluarga korban pembunuhan Teungku Bantaqiah di Aceh meminta agar pengadilan koneksitas di Banda Aceh tidak dilanjutkan karena keterangan saksi korban yang menjadi bagian penting dari proses pengadilan tersebut tidak bisa diperoleh.
Ny Man Farisah, istri Teungku Bantaqiah, dan Sekretaris Yayasan Bantaqiah, Teungku Zainuddin, kemudian secara khusus datang ke Jakarta untuk meminta perlindungan karena teror terhadap para saksi semakin mencemaskan. "Pada hari ketiga persidangan, rumah saya di Lhokseumawe dilempari granat yang melukai 17 orang di halaman rumah saya," ungkap Zainuddin (Kompas, 11/2).
Dalam lokakarya Sistem Perlindungan dan Dukungan bagi Saksi dan Korban yang diselenggarakan Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) beberapa waktu lalu di Jakarta, Ny Bad, sebut saja begitu, sambil terisak menuturkan, "Anak saya enam, semuanya tidak bisa sekolah lagi, makan pun tidak cukup tiga kali sehari. Suami saya tidak tahu ke mana karena dikejar-kejar tentara. Hidup kami di kampung penuh ancaman dan teror. Tolonglah kami…"
Ny Bad bersama beberapa saksi peristiwa pembantaian di beberapa wilayah di Aceh, meminta perlindungan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) di Jakarta. Mereka tidak berani kembali ke Aceh.
Mudah-mudahan pula, pembaca masih menyimpan sebersit ingatan setelah kematian tragis anggota Tim Relawan Kemanusiaan, Ita Martadinata, seorang anggota lainnya, yakni H Sundus Aninah Salim mendapat teror berupa telepon bernada pelecehan seksual dan pembongkaran pintu besi rumah tokonya.
Kematian Ita sendiri masih teka-teki, meski polisi menyebutnya sebagai kasus pembunuhan biasa. Ada pertanyaan lain karena pembunuhan pada tanggal 5 Oktober 1998 itu terjadi ketika Ita tengah menyiapkan proses kesaksian kasus perkosaan saat kerusuhan Mei 1998.
Teror dan ancaman juga menimpa tim relawan pendamping korban dan saksi. Karlina Leksono dari Tim Relawan Kemanusiaan menuturkan bagaimana keluarganya menerima ancaman-ancaman melalui telepon gelap. "Anak saya waktu itu sering menerima telepon yang bernada pelecehan seksual," papar Karlina. Selain itu, juga ancaman yang lebih fisik seperti adanya orang asing yang berkali-kali lewat dengan sepeda motor mengitari rumah dan lain-lain.
Karlina juga mencatat yang lain. "Ada dokter yang semula bersedia memberi kesaksian di depan Tim Gabungan Pencari Fakta untuk kasus perkosaan Mei, membatalkan niatnya di tengah jalan karena takut keselamatan keluarganya terancam."
Dalam kesempatan lain, anggota Tim Relawan Kemanusiaan yang lain, Ita F Nadia, juga menceritakan kepada Kompas bagaimana ia menerima telepon gelap yang mengatakan si penelepon tahu di mana anak perempuan Ita bersekolah. "Jadi mereka tidak segan-segan menggunakan anak atau anggota keluarga lain yang dekat untuk mengancam," ungkapnya.
Mungkin yang paling baru masih lebih mudah diingat. Media massa beberapa hari terakhir ini memberitakan bagaimana keluarga Sapuan, pejabat yang dianggap harus bertanggung jawab atas pengucuran dana karyawan Bulog sebesar Rp 35 milyar, mengalami teror sehingga harus menyingkir dari rumah mereka. Hal yang sama juga terjadi pada Rudi Ramli dan para saksi lain dalam kasus Bank Bali dan kasus-kasus korupsi lainnya.
Kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga tidak bisa diungkapkan secara tuntas karena korban (yang dalam banyak hal, juga sekaligus saksi) tidak berani berbicara dengan berbagai pertimbangan. Khususnya pertimbangan ekonomi karena sebagian besar perempuan korbannya, secara ekonomi bergantung pada sang pelaku tindak kekerasan; yakni suaminya sendiri.
Oleh karena itu, keberanian Ny Niah (39), sebut saja begitu, membongkar kekejaman suaminya atas dirinya patut dipuji. Ibu empat anak ini waktu pertama kali diterima Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH-APIK) dalam keadaan kusut masai. Beberapa bagian kepalanya terkelupas dan sampai sekarang tidak ditumbuhi rambut lagi karena dilempar alat pemasak nasi rice cooker oleh suaminya. Badannya penuh bekas pukulan.
"Anak saya dipukul karena mereka membela saya," ujar perempuan yang sekarang menjadi pendamping perempuan korban kekerasan domestik. Ny Niah akhirnya bercerai dari suaminya dan memperoleh dua pertiga gaji suaminya untuk kebutuhan hidup anak-anaknya.
***
KESAKSIAN terus berlanjut. Dalam debat publik "Suara Kebenaran, Menuju Perlindungan dan Dukungan bagi Saksi dan atau Korban yang diselenggarakan Komnas Perempuan setelah lokakarya berakhir, Direktur LBH APIK Nursyahbani Katjasungkana mengungkapkan bagaimana hukum pidana tidak responsif terhadap kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Jika saksi melapor, polisi masih lebih banyak menyikapi persoalan KDRT ini sebagai persoalan suami-istri. Dalam kasus pekerja seks yang diperkosa, sikap aparat sangat moralis dan melecehkan, karena riwayat seksual korban dianggap buruk.
Dalam satu kasus pelecehan seksual yang dilakukan atasan terhadap anak buahnya (perempuan), klien yang dibelanya memenangkan kasus itu ketika perkaranya diproses secara perdata. "Proses secara pidana tidak bisa dilanjutkan karena ada Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dari Kejaksaan," kata Nursyahbani.
Nursyahbani juga mengungkapkan bagaimana berbagai kasus perkosaan di ruang publik tidak bisa diselesaikan. Ia menunjuk salah satu kasus perkosaan beberapa tahun lalu terhadap seorang gadis di Timor Timur yang dilakukan oknum aparat militer sampai gadis itu hamil. Namun, kasus itu tidak bisa dilanjutkan karena Pangdam Udayana atasan oknum aparat itu, menyatakan kasus perkosaan tersebut hanya sebagai "perbuatan tidak menyenangkan".
Oleh karena itu, bisa dipahami ketika seorang peserta debat publik menanyakan bagaimana mungkin masyarakat meminta perlindungan aparat, misalnya polisi, bila polisi sendiri yang melakukan tindak kekerasan terhadap anggota masyarakat.
Menanggapi hal ini, Koordinator Kontras, Munir SH, mengatakan, dalam banyak hal, perilaku polisi mewakili dua entitas. Yang satu mewakili entitas hukum yang harus menjaga tertib sosial, tetapi di sisi lain ia berperilaku sebagai subyek politik dan subyek tertentu mewakili korpsnya.
Situasi ini mengakibatkan dia bisa jadi berperilaku satu ketika berhadapan dengan kelompok-kelompok masyarakat. "Ia bisa melakukan kekerasan dan macam-macam," kata Munir. Namun, masyarakat tidak punya pilihan selain kepada polisi ketika harus meminta perlindungan secara hukum.
Munir melihat kenyataan ini sebagai letak kegagalan kepercayaan hukum yang dibangun di Indonesia. Masyarakat memilih menarik diri dari proses hukum ketika polisi tidak mampu menyelesaikan dua kategori wajah itu. Implikasinya tidak hanya kepada masyarakat, tetapi juga mengancam polisi sendiri. Masyarakat akan memberikan sambutan negatif terhadap prestasi dan risiko kerja polisi, karena menganggap wajah yang satunya akan melindungi dia dengan bentuk kejahatan yang lain.
Lebih jauh dijelaskaan, dalam posisi sebagai korps, polisi juga terikat dalam hubungan-hubungan struktur kekuasaan yang saling mendominasi. Maka, ketika berhadapan dengan korps lain yang dirasakan bisa menggangu hubungan korps, polisi cenderung memukul dirinya ke dalam ketimbang berani melindungi, termasuk melindungi anggotanya sendiri.
Tertib sosial tidak bisa diserahkan kepada institusi lain kecuali polisi. Polisi sebenarnya bukan bagian dari korps subyek politik, sehingga tidak boleh melihat hubungannya dengan masyarakat bersifat dikotomis. Ia harus memperbarui hubungannya dengan masyarakat secara total karena dukungan masyarakatlah yang kemudian akan membantu polisi kalau ia harus berhadapan dengan korps lain.
Salah satu hambatan proses perbaikan itu adalah lingkaran pengampunan atau kekebalan hukum. "KUHP kita tidak mampu menjangkau kejahatan-kejahatan yang dilakukan aparat secara langsung," jelas Munir. Kemudian juga ada lembaga Pepera, Perwira Penyerah Perkara. Perwira yang menyerahkan perkara adalah atasan orang-orang yang dituduh melakukan tindak kekerasan.
"Kalau atasannya tidak setuju, ia tidak bisa diseret ke pengadilan," lanjut Munir. Yang menentukan siapa yang harus maju ke pengadilan juga perwira atasan itu, sehingga aparat yang dihukum bisa bukan yang melakukan kesalahan.
"Jadi lebih policy ketimbang pengusutan. Ini kekebalan hukum. Ini juga menyebabkan orang tak perlu membangun profesionalisme. Nggebukin orang sampai mati, yang penting atasannya melindungi, ya sudah," kata Munir.
***
DALAM naskah akademis tentang Perlindungan Saksi dalam Proses Peradilan Pidana dikatakan, perlindungan saksi masih merupakan impian dalam proses paradilan pidana di Indonesia. Ini merupakan fakta yang sangat berbeda dengan perlindungan bagi terdakwa atau tersangka. KUHAP telah merumuskan sejumlah hak bagi terdakwa yang melindunginya dari berbagai kemungkinan pelanggaran HAM sebagaimana diatur dalam Pasal 50 sampai dengan Pasal 68 KUHAP.
Beberapa dekade lalu telah dikeluhkan tingginya kepedulian terhadap tersangka atau terdakwa sehingga menimbulkan persepsi the pendulum has swung too far. Karena itu, tiba saatnya untuk memberikan perhatian kepada pihak-pihak yang terlibat dalam proses peradilan pidana, terutama saksi, termasuk saksi korban.
Bersandarkan pada asas kesetaraan dalam hukum, equality before the law, yang menjadi salah satu prasyarat dalam suatu negara hukum,
saksi dalam proses peradilan pidana harus diberi perangkat hukum untuk menjamin perlindungan oleh negara terhadap dirinya. Tanpa itu, sejumlah kasus besar akan sulit diungkap.
Dr Harkristuti Harkrisnowo dari Universitas Indonesia dan tim drafting Rancangan Undang-undang (RUU) Perlindungan Saksi dan atau Korban dalam Proses Peradilan Pidana mengatakan, draf RUU telah mengalami 18 kali perbaikan, dan masih akan disempurnakan. RUU dibuat setelah dilakukan penelitian sejak Oktober tahun lalu terhadap 145 responden yang terdiri dari jaksa, para ahli, pengacara, akademisi, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat.
"Tanpa saksi proses peradilan pidana sulit dilakukan, sementara saksi tidak mau karena tidak ada jaminan keamanan dan tidak ada jaminan perlakuan yang manusiawi terhadap mereka, ditambah lagi pertimbangan ekonomi yakni hilangnya pendapatan ekonomi saksi selama proses peradilan berlangsung," ujar Harkristuti.
Kalau akhirnya RUU tersebut selesai dan disetujui DPR untuk diundangkan, maka harapan Ketua Komnas Perempuan, Prof Dr Saparinah Sadli "agar saksi tidak menjadi huruf mati di atas kertas" bisa diwujudkan. Semoga! (Maria Hartiningsih)