KOMNAS HAM LAKUKAN SKANDAL POLITIK DAN HUKUM

Jakarta, Kompas
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), melalui Komisi Penyelidik Pelanggaran (KPP) HAM Tanjungpriok, telah melakukan skandal politik dan hukum dalam pengusutan kasus Tanjungpriok, melalui pertemuannya dengan pimpinan Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada 24 Maret 2000 di Cilangkap. Pertemuan itu berisi upaya memperoleh konsesi yang amat berpengaruh terhadap netralitas dan kejujuran pengusutan pelanggaran HAM dalam kasus Tanjungpriok.

Hal itu disampaikan Ketua Dewan Pengurus Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Munir dan Koordinator Badan Pekerja Kontras Munarman, Sabtu (17/6), di Jakarta. Dalam konteks itu, tidak mengherankan bila hasil temuan KPP HAM Priok jauh lebih buruk ketimbang temuan Komnas HAM pada kasus Priok yang diumumkan Maret 1999.

Kontras menilai Komnas HAM telah melakukan tindakan manipulasi dan penggelapan fakta hukum yang menyangkut kewenangannya dalam mengadakan pengusutan kasus Tanjungpriok, yaitu dengan menganulir kewenangan pengusutan berdasarkan Perpu No 1 tahun 1999 tentang Pengadilan HAM, sehingga KPP HAM Priok menyatakan tidak memiliki kewenangan untuk penyelidikan pro-justisia.

"Perpu No 1 tahun 1999 saat ini masih merupakan hukum positif yang berlaku sampai nantinya diundangkan RUU Pengadilan HAM yang saat ini masih dibahas di DPR. Lihat saja ketentuan dalam pasal 43 RUU tersebut," ungkap Munir.

Oleh karena itulah, dia menambahkan, perubahan SK No 002 tahun 2000 ke SK No 003 bukan semata-mata persoalan hukum, tetapi Komnas HAM telah bertindak secara tidak jujur untuk menghindari pengusutan yang sesungguhnya dari realitas adanya kejahatan kemanusiaan di dalam kasus Tanjungpriok.

"Langkah Komnas HAM ini jelas merupakan strategi kasar mempertahankan kekebalan hukum para pelaku pelang-garan HAM yang mencoba dikikis oleh proses pembaruan sistem hukum dan politik," papar Munir.

Adopsi laporan TNI
Munarman menegaskan, laporan Komnas HAM tidak lebih merupakan adopsi secara substansial dari laporan pihak TNI yang dibacakan oleh Jenderal (Pur) LB Moerdani dan Jenderal (Pur) Try Sutrisno di depan DPR bulan September 1984. Tindakan adopsi ini membuktikan Komnas HAM di samping tidak imparsial, juga tidak melakukan penyelidikan yang layak terhadap kasus tersebut.

"Komnas HAM dalam posisinya juga telah menyesatkan pengertian dan pertanggungjawaban HAM, dengan membebankan pertanggungjawaban tersebut ke pundak korban atau massa yang melakukan aksi. Dalam konteks ini seharusnya Komnas juga mempertanyakan kegagalan aparatur negara dalam melindungi anggota masyarakat lain yang dimungkinkan menjadi korban kekerasan," tegas Munarman sambil menambahkan KPP HAM Priok telah menempatkan diri sebagai "pencuci dosa" kebijakan politik pemerintah.

Hasil pemeriksaan dan penyelidikan KPP HAM Priok, tambah Munarman, tidak menyebutkan secara lengkap berbagai bentuk pelanggaran HAM, seperti adanya praktik penghilangan orang. Laporan Komnas HAM juga tidak menunjukkan adanya standar pengusutan yang layak, terutama dari tidak jelasnya kategorisasi pelanggaran HAM yang terjadi.    

Tarik kembali
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Kontras mendesak Komnas HAM untuk menarik kembali hasil penyelidikan yang dilakukan KPP HAM Priok, dan segera melakukan penyelidikan ulang terhadap peristiwa tersebut sesuai dengan standar imparsialitas, dengan penyertaan unsur-unsur masyarakat yang memiliki integritas dalam penegakan HAM.    

"Kami juga meminta DPR menolak hasil kerja KPP HAM Priok dan mengembalikan Komnas HAM kepada fungsi untuk penegakan HAM. Perkembangan di Komnas HAM akhir-akhir ini, baik terlihat dalam KPP HAM Priok juga KPP HAM Maluku, menunjukkan bahwa Komnas HAM harus segera dievaluasi komposisi keanggotaannya," tegas kedua pengurus Kontras itu. (oki)