Laporan Akhir KPP HAM Tanjungpriok: HARAPAN YANG MENGECEWAKAN

SELAMA beberapa tahun, sekelompok warga Tanjungpriok memperjuangkan hak mereka untuk mengetahui apa yang sebenarnya telah terjadi terhadap kawan atau saudara mereka pada tanggal 12 September 1984 lalu. Selama lebih dari 15 tahun, pertanyaan sekitar peristiwa yang lebih dikenal sebagai peristiwa Tanjungpriok itu memang tidak pernah terjawab tuntas, meski berbagai upaya pengungkapan telah coba dilakukan baik oleh sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM), pers, maupun Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).

HARAPAN untuk mendapatkan seluruh jawaban atas pertanyaan yang muncul di benak warga Priok dan juga masyarakat Indonesia pada umumnya itu akhirnya muncul tanggal 29 Februari 2000, ketika rapat pleno Komnas HAM memutuskan untuk membentuk Komisi Penyelidikan dan Pemeriksaan Pelanggaran HAM di Tanjungpriok yang disingkat KP3T. Inilah buah dari pengaduan para korban dan keluarga korban, serta aksi berbagai kelompok masyarakat ke Komnas HAM yang menginginkan agar Komnas membentuk Komisi Penyelidik HAM sebagaimana telah dilakukan Komnas terhadap peristiwa Timor Timur.

Gegap gempita kerja KPP HAM Timtim yang mengundang sejumlah kontroversi namun juga kekaguman, tak terhindarkan menjadi tolak ukur tentang kemampuan Komnas HAM untuk benar-benar melakukan pengungkapan kasus pelanggaran HAM secara tuntas. Harapan itulah yang juga sejak awal dibebankan ke pundak KP3T.

***
 
SAYANG, sedari awal KP3T sudah memunculkan kontroversi karena anggota KP3T seluruhnya adalah anggota Komnas HAM. Hal ini sangat berbeda dengan komposisi anggota KPP HAM Timtim yang empat dari luar Komnas HAM dan empat lainnya anggota Komnas HAM, serta didukung sejumlah staf tim asistensi dari luar Komnas HAM. Komnas sebenarnya meminta Direktur LBH Jakarta Apong Herlina untuk menjadi satu-satunya unsur dari luar Komnas HAM di KP3T. Akan tetapi, permintaan itu ditolak Apong karena komposisi satu orang bukan Komnas melawan tujuh anggota Komnas HAM jelaslah merupakan komposisi yang tidak imbang.

Protes kalangan korban dan pendamping korban terhadap Komnas atas susunan keanggotaan KP3T itu, bahkan dengan mengajukan lima nama dari luar Komnas, tidak membuat susunan anggota KP3T berubah. KP3T yang dipimpin langsung oleh Ketua Komnas HAM Djoko Soegianto, beranggotakan Aisyah Aminy, Samsudin, Lies Soegondho, Safroedin Bahar, Mohammad Salim, BN Marbun, Albert Hasibuan, dan Charles Himawan.

"Kita lihat sajalah dulu, ba-gaimanapun KP3T ini belum bekerja. Kalau nanti di tengah jalan dirasakan kurang anggota, kita bisa menambah anggota-nya," jelas Djoko ketika itu. Akan tetapi, sampai akhir tu-gasnya KP3T tidak pernah menambah anggotanya.

Bagi salah satu Koordinator Korban Priok, Mukhtar Beni Biki, maupun para pengacara korban Priok yang tergabung dalam Koalisi Pembela Kasus Priok (KPKP), susunan keanggotaan itu akan membuat KP3T bekerja tidak maksimal karena kontrol dari luar tidak ada sama sekali. Terlebih lagi, banyak anggota KP3T ditengarai mempunyai kedekatan dengan sejumlah orang yang diduga sebagai pelaku atau orang yang harus bertanggung jawab atas peristiwa Priok.

Kekhawatiran banyak korban maupun KPKP terhadap kinerja KP3T, agaknya memang menjadi kenyataan. Proses pemeriksaan saksi-saksi korban oleh KP3T, digambarkan koordinator KPKP, Ahmad Hambali, ti-dak didasari rasa keingintahuan yang tinggi dari anggota KP3T. Pemeriksaan terhadap para saksi korban ini umumnya berlangsung antara 30 sampai 60 menit. Beberapa korban bahkan sempat kesal karena diminta menunjukkan bukti-bukti, dan disarankan untuk "damai" saja dengan mereka yang diduga pelakunya dengan imbalan kompensasi tertentu.

Akan tetapi, soal adanya tawaran agar korban "berdamai" saja dengan mereka yang diduga sebagai pelaku itu, tentu saja ditolak oleh Ketua KP3T Djoko Soegianto. "Keinginan untuk rekonsiliasi dengan para pelaku itu datang dari mereka sendiri, bukan dari kami," ungkap Djo-ko menunjuk korban Priok sendiri yang meminta "damai".

Ibarat bola salju, ketidak-puasan korban dan para pendampingnya terhadap proses kerja KP3T terus menggelundung menjadi semakin besar. Terlebih lagi, ketika KP3T memeriksa dua sosok yang disebut sebagai kunci persoalan Priok, yaitu Jenderal (Purn) Try Sutrisno dan Jenderal (Purn) LB Moerdani. Ketika itu, LB Moerdani hanya menyampaikan beberapa jawaban tertulis yang tidak ditindaklanjuti lebih jauh oleh KP3T, sehingga proses permin-taan keterangan dari Moerdani itu memakan waktu kurang dari 30 menit. Puncaknya adalah keputusan KP3T untuk tidak melakukan penggalian kuburan.

***
 
DI dalam KP3T sendiri, sebagaimana diakui Ketua KP3T, perdebatan hangat muncul antar anggota dalam membahas berbagai hal yang berkaitan dengan kerja KP3T. Akan tetapi, menurut Djoko, semua perdebatan itu bisa diselesaikan dengan musyawarah yang menjadi "ciri" Komnas dalam menyelesaikan berbagai perbedaan pendapat. "Selama ini di Komnas tidak pernah ada voting," ungkap Djoko.

Sumber lain berbicara lain. Salah seorang anggota KP3T, menurut sumber di Komnas, sempat meminta pertimbangan orang Komnas lainnya mengenai kemungkinan dia mengundurkan diri dari KP3T karena usulannya agar mekanisme kerja KP3T menggunakan standar internasional, ditolak dalam forum rapat KP3T. Akan tetapi, anggota KP3T itu kemudian tidak jadi mundur dan terus mengikuti kerja KP3T sampai akhir.

Pembahasan draf laporan akhir KP3T pun, diungkapkan sumber Komnas itu, penuh dengan perdebatan. Salah seorang anggota KP3T sempat menunjukkan draf laporan akhir yang dibuatnya, tetapi suara terbanyaklah yang akhirnya menjadikan laporan akhir KP3T seperti telah diumumkan kepada publik.

Ketua KP3T sendiri membantah pandangan bahwa KP3T tidak menggunakan standar internasional dalam melakukan pekerjaannya. Akan tetapi, laporan akhir KP3T adalah bukti nyata yang bisa menunjukkan beberapa ketidaksesuaian laporan akhir KP3T itu dengan terminologi baku di bidang HAM yang biasa digunakan di tingkat internasional.

Dalam laporan akhir KP3T, misalnya, KP3T menyebutkan adanya pelanggaran berat HAM yang dilakukan oleh massa, yaitu penghilangan nyawa dan hasutan-hasutan. Dalam terminologi HAM, tegas pimpinan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Munir, penyebutan adanya pelanggaran berat HAM oleh massa itu sudah suatu kekeliruan. Yang lebih parah lagi, hasutan digolongkan sebagai pelanggaran berat HAM.

Selain itu, di satu sisi KP3T mengakui telah terjadi pelanggaran HAM berat oleh aparat keamanan, akan tetapi pada bagian lain disebutkan bahwa penembakan yang terjadi oleh para petugas keamanan adalah dalam keadaan terdesak (force majeure). "Ini menunjukkan rendahnya pemahaman anggota KP3T terhadap terminologi hak asasi, karena pelanggaran HAM itu tidak ada yang terjadi karena force majeure," tegas Munir.

Lebih jauh lagi, menurut pimpinan Kontras itu, penentuan jumlah korban yang tewas tanpa didasari pencarian bukti ilmiahnya dengan melakukan penggalian kuburan, sama se-kali tidak sesuai dengan standar baku penyelidikan kasus pelanggaran HAM. "KP3T juga tidak melakukan investigasi lapangan dengan semestinya, yang seharusnya dilakukan oleh sebuah tim penyelidik. Ini tidak terlalu mengejutkan karena sejak awal KP3T memang tidak didukung oleh sebuah tim penyelidik lapangan, sehingga saksi-saksi yang diperoleh sangat terbatas kepada saksi-saksi yang datang ke KP3T saja," ungkap Munir.

***
 
BANYAK alasan disampaikan baik oleh korban Priok, simpatisan korban Priok, maupun mereka yang mendampingi para korban Priok dalam memperjuangkan haknya, mengenai mengapa mereka menolak laporan hasil akhir KP3T.

Jika mengamati secara keseluruhan bagian Analisis Temuan KP3T pada executive summary KP3T, Munir maupun Beni Biki menyimpulkan, laporan akhir KP3T itu terlalu banyak mengakomodasi keterangan aparat, ketimbang keterangan para saksi korban. Jalinan cerita mengenai apa yang terjadi tanggal 12 September 1984 lalu, lebih banyak disusun oleh rangkaian keterangan yang disampaikan jajaran aparat-aparat, baik sipil maupun militer, ketimbang keterangan saksi maupun para
korban. Laporan akhir KP3T tidak berusaha mengungkap apa yang dilakukan anggota Babinsa Sertu Hermanu, dan mengapa itu dia dilakukan, serta mengungkap mengapa empat warga Priok ditangkap. Padahal kedua hal itu dianggap sebagai faktor pemicu peristiwa Priok. Singkatnya, prakondisi yang dilakukan jajaran aparat sendiri kurang digali secara mendalam oleh KP3T.

Hal itu memang bisa dilihat dari kutipan-kutipan laporan akhir KP3T yang diserahkan kepada pemerintah dan DPR.

Pada butir 25, contohnya, diuraikan, massa sekitar 50.000 orang yang memenuhi Jalan Sindang dimana panggung tabligh berada dan lorong-lorong sekitarnya memang dikerahkan melalui ajakan dan pengumuman pada acara-acara tabligh sebelumnya.    

Selanjutnya pada butir 31, dipaparkan, saat massa berbondong
menuju ke Kodim Jakarta Utara, mereka dicegah oleh satu regu pasukan di bawah Danru SM dan dipimpin oleh Kasi II Kodim Jakarta Utara, Kapten Sri. Karena semangatnya, massa tidak menghiraukan ajakan Kapten Sri agar pimpinan massa sabar dan bersedia berunding, bahkan senjata Prada Muh direbut massa dan terjadi pergumulan. Kapten Sri terdesak ke belakang akibat massa yang brutal. Melihat hal demikian, tanpa adanya perintah, Prada Pra menembak ke atas sebagai tanda peringatan, namun massa tetap maju. Untuk kedua kalinya Prada Pra menembak ke arah bawah. Tembakan Prada Pra, tanpa komando diikuti oleh tembakan regu yang lain ke arah massa sehingga menimbulkan korban.

Seperti halnya para korban maupun pendampingnya, Kejaksaan Agung pun mempertanyakan kepada Komnas HAM soal bukti terjadinya penghilangan nyawa sembilan anggota keluarga Tan Kio Liem. Para korban yang ditangkap dan diproses ke pengadilan pada masa itu, menyatakan tidak tahu sama sekali mengenai adanya penghilangan nyawa keluarga Liem itu. Sementara KP3T memasukkan soal itu berdasarkan berkas acara pengadilan kasus Priok pada masa lalu, tanpa sempat melakukan pengecekan lebih jauh mengenai kebenaran "kisah" itu.

Berdasarkan gambaran tersebut di atas, banyaknya aksi unjuk rasa ke Komnas HAM untuk memprotes hasil kerja KP3T bukanlah hal yang mengejutkan. Begitu pula dengan permintaan Kejaksaan Agung agar Komnas melengkapi laporan KP3T itu, yang di sana-sini perlu ditambal atau dibetulkan kembali.

Untuk Komnas HAM, penyelidikan kasus Priok oleh KP3T bisa dipakai tempat berkaca untuk melihat sejauh mana kesiapan dan kemampuan Komnas HAM sendiri untuk menjalankan kewenangan-kewenangan yang lebih besar yang diberikan kepadanya oleh undang-undang. Di masa depan, tidak bisa tidak, Komnas HAM harus semakin mengasah diri untuk melakukan tugas-tugas penyelidikan pelanggaran HAM, dengan standar-standar penyelidikan yang sudah baku. Inilah tantangan besar untuk Komnas HAM, yang harus dijawab oleh masing-masing anggota Komnas HAM. (Rakaryan S)