DPR HARUS PERKETAT KONTROL PERDAGANGAN SENJATA API

Jakarta, Kompas
Peledakan bom yang terjadi di depan kediaman Duta Besar Filipina, terlepas dari apa pun motifnya, mencerminkan lemahnya kontrol terhadap penyebaran senjata api dan senjata pembunuh massal (bom). Lemahnya kontrol itu juga menyulitkan aparat keamanan sendiri untuk menemukan dari mana sumber senjata api dan bom tersebut. Oleh karena itulah, DPR harus melakukan kontrol yang ketat terhadap industri pembuat senjata di dalam negeri, serta impor senjata dari luar. Pemberian izin mengimpor senjata kepada swasta pun sebaiknya dihapuskan untuk memudahkan kontrol.

Hal itu disampaikan Ketua Dewan Pengurus Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Munir, Sekjen Komnas HAM Asmara Nababan, dan Wakil Ketua YLBHI Dadang Trisasongko, Kamis (3/8), di Jakarta.

"Peledakan bom sebenarnya bukan kejadian baru di Indonesia. Bom-bom dengan kekuatan besar sebagaimana terjadi di Jakarta kemarin, sudah kerap dipakai di daerah-daerah konflik, seperti Aceh dan Maluku. Hanya saja, kita terkesima karena peledakan bom itu terjadi di Jakarta, tempat pusat kekuasaan. Ini semua menunjukkan bahwa penyebaran bom di masyarakat itu kurang dikontrol, karena memang tidak jelas siapa yang bertanggung jawab untuk mengontrol itu. Polisi
juga tidak bisa mengontrol, karena dari pembuatnya, Pindad, ke lembaga mana disalurkan, tidak berada di bawah kontrol Polri," ungkap Munir.

Menurut Munir, DPR seharusnya melakukan kontrol terhadap Pindad, dan sejumlah industri pembuat senjata atau bahan-bahan peledak lainnya. DPR harus memerintahkan agar industri-industri itu setiap enam bulan melaporkan ke mana saja produk mereka dijual, termasuk nomor serinya, sehingga setiap waktu DPR bisa melakukan pengecekan.

Liberalisasi
Dadang menambahkan, upaya liberalisasi perdagangan senjata api dengan memberikan izin impor kepada perusahaan swasta tertentu, juga menjadi salah satu faktor yang semakin menyulitkan pengontrolan. "Selain itu, izin pemilikan senjata untuk masyarakat yang bukan aparat penegak hukum juga harus dicabut. Yang bisa beli senjata itu kan hanya orang-orang yang mampu, yang kaya. Senjata itu bukan tidak mungkin digunakan untuk hal-hal yang negatif, misalnya dalam soal
pembebasan tanah kalau si orang kaya ini ingin membeli tanah di lokasi tertentu. Kita harus tegas saja, hanya aparat yang masih aktif yang boleh memegang senjata," tegas Dadang.

Jangan gentar
Terlepas dari kepada siapa bom itu disasarkan, menurut Nababan, masyarakat hendaknya tidak menjadi gentar, karena tujuan aksi-aksi teror hanyalah dua, yaitu membuat masyarakat menjadi takut dan membuat masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap aparat penegak hukum. "Oleh karena itu aparat penegak hukum pun harus bisa menjawab pertanyaan yang ada di masyarakat sekitar bom tersebut. Kalau aparat penegak hukum tidak bisa menjawab itu, maka apa yang diharapkan pelaku teror akan tercapai, masyarakat akan semakin kehilangan kepercayaan terhadap aparat penegak hukum kita. Kondisi ini jelas
harus dihindarkan," papar Sekjen Komnas HAM itu.

Pandangan senada disampaikan Dadang. Adanya peledakan bom itu hendaknya tidak membuat masyarakat menjadi panik, karena kepanikan justru akan membuat keadaan menjadi semakin kacau. "Setiap kota besar di dunia menghadapi persoalan yang sama. Peledakan bom itu adalah salah satu masalah sosial kota-kota besar yang berkaitan dengan soal-soal kriminalitas. Hal itu harus disikapi dengan sikap tenang namun dicari cara mengatasinya secara maksimal," ungkapnya. (oki)