JEDA KEMANUSIAAN ACEH MAKIN TAK EFEKTIF

Jakarta, Kompas
Merebaknya aksi penculikan aktivis-aktivis hak asasi manusia (HAM), bahkan juga seorang hakim yang baru dilantik, menunjukkan bahwa Jeda Kemanusiaan di Aceh masih belum efektif. Kedua belah pihak tampaknya kurang serius dan kurang disiplin sehingga masa Jeda Kemanusiaan lebih nampak sebagai masa pengalihan tindak kekerasan yang tadinya dipermukaan menjadi di bawah permukaan. Dari sisi pelaku, kekerasan pada masa Jeda Kemanusiaan dilakukan oleh elemen di lapisan bawah, dan itu bisa terjadi karena lemahnya kontrol dari kedua belah pihak.

Hal itu disampaikan Ketua Dewan Pengurus Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Munir, Jumat (11/8), di Jakarta, seusai bertemu Jaksa Agung Marzuki Darusman dan anggota Komnas HAM Koesparmono Irsan dan Sjafroedin Bahar.

"Oleh karena itu harus ada keseriusan yang lebih besar dari kedua belah pihak untuk benar-benar mengurangi bahkan menghilangkan berbagai bentuk tindak kekerasan di Aceh. Komisi yang dibentuk untuk mendukung Jeda Kemanusiaan itu harus lebih pro-aktif turun ke tingkatan paling bawah. Jeda
Kemanusiaan di Aceh juga harus diartikan penghentian berbagai konflik antara elemen masyarakat Aceh dengan elemen aparat keamanan Indonesia, di wilayah Aceh dan di luar wilayah Aceh," papar Munir, mengacu pada hilangnya Jafar Siddiq Hamzah, Ketua International Forum for Aceh (IFA), 5 Agustus lalu saat berada
di sekitar Medan, Sumatera Utara.

Menurut data Koalisi NGO HAM Aceh, tercatat beberapa aktivis HAM diculik dan mengalami penganiayaan. Selain Jafar Siddiq, korban penculikan lainnya adalah Sukardi (aktivis Yayasan Rumpun Bambu Indonesia/YRBI) yang kemudian ditemukan tewas 31 Januari 2000 dan Tengku Nashiruddin Daud
(anggota DPR yang aktif melakukan kampanye penegakan HAM). Korban penculikan lainnya adalah hakim PN Tapaktuan yang baru dilantik, Kunto Hadi Purnomo, yang hilang sekitar 25 Juni 2000.

Munir yang dikontak beberapa kawan Jafar Siddiq dari New York, menjelaskan, kondisi Jeda Kemanusiaan di Aceh itu telah dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk terus melakukan aksinya. "Sekarang ini relatif lebih sulit untuk mengetahui siapa pelakunya, karena situasi serba tidak jelas.
Masing-masing pihak mengaku tidak melakukannya, tetapi juga tidak bisa memastikan adanya pihak lain yang memancing di air keruh," paparnya. (oki)