Amnesty International Soal Pasal 28 I UUD 1945: BISA JADI TEMPAT PERSEMBUNYIAN PELANGGAR HAM

Jakarta, Kompas
Lembaga hak asasi manusia (HAM) dunia, Amnesty International (AI) berpendapat, dicantumkan pasal nonretroaktif (hak untuk tidak dihukum atas perbuatan yang belum ada aturannya) dalam Pasal 28I (1) Perubahan Kedua UUD 1945 bisa berdampak serius. Pasal itu bukan untuk melindungi HAM melainkan untuk tempat persembunyian para pelaku pelanggaran HAM.

Hal itu disampaikan Amnesty International dalam international press release-nya yang diterima Kompas, Sabtu (19/8). Sementara Ketua Dewan Pengurus Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Munir, mengungkapkan, kini dirinya lebih meyakini bahwa bunyi Pasal 28I Ayat (1) itu bukan merupakan kesalahan manusiawi. Akan tetapi, lanjutnya, ada unsur kesengajaan dengan tujuan yang sangat jelas, yaitu melindungi para pelanggar HAM berat pada masa lalu.

Sedang Ketua Komisi A MPR Jacob Tobing dan Menteri Negara Urusan HAM Hasballah M Saad hari Jumat mengatakan, asas nonretroaktif tidak berlaku untuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang termasuk berat. Untuk itu perlu dibuat undang-undang yang memiliki kekhususan-kekhususan agar pelanggaran HAM tersebut bisa diadili.

Tidak diakui
Menurut Amnesty International, Perubahan Kedua UUD 1945 itu tidak mengakui adanya kewenangan untuk mengadili para penanggung jawab pelanggaran HAM pada masa lalu, yang dianggap sebagai kejahatan menurut hukum nasional maupun hukum internasional. Meskipun para penanggung jawab itu bisa diadili dengan aturan hukum yang sudah ada, patut dikhawatirkan pengadilan tersebut akan digunakan untuk melindungi pejabat militer dan pejabat pemerintahan senior dari upaya
mengadili mereka atas kejahatan yang tidak diatur dalam aturan hukum di Indonesia.

"Kenyataan bahwa Indonesia belum mengintegrasikan atau secara eksplisit melarang kejahatan seperti penganiayaan, kejahatan terhadap kemanusiaan dalam hukum nasionalnya, tidak bisa menjadi alasan untuk mempertanggungjawabkan perbuatan-perbuatan secara internasional," tegas Amensty International dan pernyataan persnya.

AI juga mengingatkan, Indonesia dituntut untuk membuat pengadilan ad hoc untuk mengadili mereka yang diduga melakukan pelanggaran HAM berat di Timtim selama tahun 1999. Dikhawatirkan, upaya pembentukan Pengadilan Ad Hoc itu akan terganjal oleh perubahan kedua UUD 1945 tersebut. Padahal, di sisi lain, Indonesia juga masih mempunyai puluhan kasus pembunuhan tanpa proses peradilan pada masa lalu, yang belum terpecahkan sampai sekarang, juga penghilangan orang, penganiayaan termasuk juga perkosaan.

Kejahatan politik
Setelah membandingkan bunyi pada Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik dengan bunyi pada Pasal 28I Ayat (1), menurut Munir, terdapat perbedaan yang cukup mendasar. Karena, secara prinsip Pasal 28I Ayat (1) itu justru bertentangan dengan ketentuan dalam Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik pasal 15. Hal itu tampak jelas dari tidak diakuinya bunyi ayat (2) dalam kovenan tersebut, padahal itu merupakan bagian tak terpisahkan dari prinsip nonretroaktivitas.

Dalam ayat (2) Kovenan itu disebutkan, "Tidak ada suatu hal pun dalam pasal ini yang dapat mengurangi persidangan dan hukuman terhadap seseorang, karena tindakan yang dilakukan atau tidak dilakukan pada saat hal itu terjadi masih merupakan suatu tindakan kejahatan menurut prinsip-prinsip hukum yang diakui masyarakat bangsa-bangsa."

Melihat hal tersebut, Munir meyakini, perumusan pada Pasal 28I Ayat (1) itu dilakukan oleh orang-orang yang benar-benar memahami soal HAM, dan hal itu dilakukan dengan penuh kesadaran. "Hal-hal diatas mencerminkan perilaku anggota parlemen yang tidak memiliki kepedulian yang berarti dalam persoalan hak asasi di Indonesia," tegasnya sambil mengaitkan lolosnya Pasal 28I Ayat (1) itu dengan putusan masih dipertahankannya TNI/Polri di parlemen. Ada pengecualian

Menurut Jacob Tobing, prinsip umum memang tidak bisa retroaktif tetapi ada pengecualian pembatasan. Ada beberapa pengecualian yang pada dasarnya menyangkut pelanggaran HAM berat itu prinsip retroaktif itu bisa diberlakukan tetapi tertentu saja. Proses peradilan bisa menggunakan undang-undang baru untuk sesuatu yang terjadi sebelumnya.

Hasbalah mengakui, asas legalitas universal menyebutkan tidak bisa hukum diterapkan terhadap kasus-kasus sebelum hukum itu dibuat. "Segera diperlukan UU khusus yang mengatur itu. Kita telah mengajukan RUU HAM. Di situ dibuka kekhususan-kekhususan tentang untuk kasus pelanggaran yang berat yang mana diperlukan prinsip retroaktif," katanya.

Tobing mengatakan, untuk menggunakan UU yang baru maka kasus-kasus itu tidak bisa digeneralisasi. "Satu persatu harus diteliti apakah itu tergolong HAM berat, itu ada ketentuan-ketentuannya mengenai itu," katanya. (oki/mar)