RUU PKB DIUNDANGKAN TANGGAL 24 OKTOBER

Jakarta, Kompas
Pemerintah bersedia mengundangkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB). Kesediaan pemerintah ini sejalan dengan pernyataan DPR yang mengatakan, bersandar pada Pasal 20 ayat (5) Perubahan Kedua UUD 1945, RUU secara otomotis dinyatakan sah menjadi undang-undang apabila Presiden tidak mensahkannya 30 hari sejak RUU tersebut disetujui DPR."RUU PKB itu diundangkan pekan depan atau tanggal 24 Oktober 2000. Pada saat bersamaan, pemerintah juga mengajukan RUU PKB hasil revisi untuk dibahas bersama DPR," kata Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra, Senin (16/10), sebelum membahas RUU Yayasan di Gedung MPR/DPR.

Dalam rapat konsultasi Presiden 10 Oktober 2000, DPR mendesak pemerintah agar segera mengundangkan RUU PKB yang sudah dibahas dan disetujui DPR satu tahun sebelumnya.  Saat ini, ungkap Yusril, pemerintah telah membentuk tim yang terdiri dari Departemen Kehakiman dan HAM, Departemen Pertahanan,
Mabes Polri, Mabes TNI, serta sejumlah aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM), seperti, mantan Koordinator Kontras Munir, Ketua PBHI Hendardi, aktivis perempuan Apong Herlina dan Ketua Yayasan Elsam Abdul Hakim Garuda Nusantara.

Dengan diundangkannya RUU PKB, lanjut Yusril, maka UU Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya dan PP Nomor 16 Tahun 1960 tentang Bantuan Militer, otomatis dicabut. Meski demikian, kata dia, keadaan darurat di Maluku Utara tidak serta merta ikut dihapus, sebab undang-undang ini tidak berlaku surut.

Guna mengantisipasi berbagai kemungkinan bakal terjadinya suatu kasus saat revisi tengah dilakukan, untuk sementara pemerintah memberlakukan Perpu yang kini tengah digodok.

"Kalau masih ada masyarakat yang memprotes pemberlakuan RUU PKB, silakan datang ke DPR, jangan datang kepada pemerintah. Karena yang mendesak pemberlakuannya adalah DPR. Kalau saya dari dulu tidak mau mengundangkan," kata Yusril.
  
Sosialisasi perubahan
Sementara, Koordinator Badan Pekerja Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Munarman, Senin di Jakarta mengemukakan, keputusan pemerintah untuk mengesahkan RUU PKB dan kemudian segera disusul dengan pengajuan perubahan RUU PKB kepada DPR, hendaknya disertai langkah segera untuk mensosialisasikan perubahan atas RUU PKB yang akan disahkan tersebut.

Hal ini perlu agar masyarakat banyak memahami betul bagaimana isu UU PKB itu nantinya, dan apakah UU tersebut memang sudah baik kualitasnya atau masih penuh "jebakan-jebakan" yang bisa mengundang kembalinya militerisme di Indonesia.

"Kami sendiri belum tahu RUU perbaikan itu seperti apa, karena kami baru diundang untuk membicarakan hal itu hari Selasa ini. Mungkin saja pemerintah memang sudah mempunyai RUU tentang perbaikan UU PKB itu, tetapi bisa jadi juga belum punya," ungkap Munarman.

Koordinator Kontras itu mengingatkan kelemahan sejumlah pasal dalam RUU PKB yang perlu mendapatkan perubahan. Antara lain penilaian tentang suatu daerah dalam keadaan darurat seperti apa, masih belum jelas siapa yang memutuskannya. Ketentuan saat pemberlakuan keadaan darurat juga seharusnya tidak serta merta menghapuskan hak sipil dan politik setiap orang yang tidak boleh dilanggar. Artinya, hak asasi manusia yang tidak boleh dilanggar seharusnya juga tetap diakui.

"Mekanisme pengawasan selama penerapan keadaan khusus atau keadaan darurat juga masih terlalu lemah, sehingga dikhawatirkan malahan menimbulkan banyak pelanggaran HAM dan membuat rakyat di daerah yang terkena pemberlakuan keadaan khusus itu akan semakin menderita," paparnya.

Sementara, Menteri Pertahanan Mohammad Mahfud MD mengakui, pengundangan RUU PKB merupakan tuntutan yuridis. "Presiden tak boleh menolak untuk mengundangkan sebuah RUU yang sudah disepakati bersama dengan DPR, seperti yang dilakukan Orde Baru menolak RUU Penyiaran. Formalitas pengundangan RUU PKB dipenuhi, diundangkan, tetapi yang bolong-bolong langsung direvisi," jelasnya kepada wartawan hari Senin.

Mahfud mengingatkan, negara membutuhkan UU untuk menyelamatkan diri dari bahaya disintegrasi, kehancuran, dan pemberontakan. Sebab itu dibuat RUU PKB. Tetapi, karena RUU tersebut masih kurang sempurna, walaupun diundangkan segera dilengkapi dengan revisinya. Diharapkan masyarakat bisa menerima, karena jika RUU PKB tidak diundangkan dan segera direvisi, maka yang berlaku adalah UU Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya yang lebih berat. (pep/oki/tra)