Pernyataan Empat LSM: PEMERINTAH DAN DPR SEHARUSNYA TOLAK RUU PKB

Jakarta, Kompas
Pemerintah  dan  Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) seharusnya menolak memberlakukan  Rancangan  Undang-Undang  (RUU) Penanggulangan Keadaan Bahaya  (PKB).  Alasannya,  RUU itu secara politik maupun moral sudah ditolak  oleh  berbagai lapisan masyarakat melalui gerakan reformasi, termasuk  banyak elite politik yang duduk di eksekutif dan legislatif pada saat ini.

Demikian  pernyataan  bersama  empat  lembaga  swadaya masyarakat (LSM)  menyikapi  rencana pemberlakuan RUU PKB, yang disampaikan Rabu (18/10),  di  Jakarta.  Keempat  LSM itu, masing-masing diwakili oleh Munir  (Yayasan  LBH  Indonesia), Ikravany Hilman (Komisi untuk Orang Hilang  dan  Korban  Tindak  Kekerasan), Amiruddin (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat), dan Irianto Subiakto (LBH Jakarta).     Tindakan  DPR  dan  pemerintah  yang mendorong diundangkannya RUU PKB,   dapat   menjelaskan   realitas   kecenderungan  membangun  dan mempertahankan  berbagai  instrumen politik represif di bawah gagasan militeristik  Orde  Baru.  Terlebih  lagi, pemberlakuan RUU PKB tidak bisa  dipisahkan  dari  keluarnya  Ketetapan  MPR  yang memperpanjang
diteruskannya peran sosial politik TNI sampai tahun 2009.

Menurut   keempat   LSM   itu,   alasan   DPR  untuk  mengusulkan pemberlakuan RUU PKB, yaitu karena kondisi keamanan dalam negeri yang bertambah rawan karena hadirnya gejolak di daerah, mencerminkan bahwa bagi  para  anggota DPR cara terbaik untuk mengatasi masalah keamanan itu  adalah  memberikan  kewenangan  yang  lebih  besar kepada negara melalui pendekatan militeristik.

Fakta  lain,  seperti  disampaikan  Munir,  menunjukkan  plintat-plintut-nya  elite  politik, baik di parlemen maupun di kabinet. Pada saat  upaya  pertama  penerapan  RUU  PKB, gelombang penolakan besar-besaran   dilakukan  oleh  mahasiswa  sehingga  jatuh  korban  tewas. Berbagai  pihak  juga  turut  menanggapi dan menolak pemberlakuan RUU itu, antara lain Amin Aryoso, Muhaimin Iskandar, Matori Abdul Djalil, Taufiqurrahman  Saleh,  Megawati  Soekarnoputri,  Abdurrahman  Wahid, serta Marzuki Darusman. Bahkan Dr Mahfud MD yang sekarang ini menjadi Menteri  Pertahanan,  pada  saat  itu  mengatakan  bahwa  jika UU PKB diterapkan maka akan terjadi state terorism. "Kenapa sekarang setelah duduk  di  DPR dan kabinet mereka berubah menjadi pendukung penerapan UU PKB?" ungkapnya.
   
Tidak terkait SI
Basa-basi   politik  pemerintah  yang  menyatakan  khawatir  akan menghadapi  tekanan  DPR dan ancaman Sidang Istimewa (SI) MPR apabila menolak  mengundangkan  RUU  PKB,  dinilai  keempat  LSM  itu,  jelas bertentangan  dengan  sikap  pemerintah  yang teramat keras melakukan perlawanan  terhadap  soal  pemberhentian  Jusuf  Kalla dan Laksamana Sukardi ataupun kasus Bulog.

"Lagi pula dalam amandemen konstitusi itu tidak ada kaitan antara penolakan  presiden untuk mengundangkan RUU dengan ancaman SI MPR. Di sana  hanya  disebutkan,  kalau tidak disahkan presiden, ya, otomatis berlaku  setelah  30  hari disahkan DPR. Lagi pula, tekanan DPR untuk mengaitkan  pengesahan  RUU  PKB  dengan Sidang Istimewa belum pernah ada, lain dengan kasus Buloggate, misalnya. Jadi, kesiapan pemerintah untuk  mengundangkan  RUU  PKB  sebenarnya  adalah  dukungan  politik pemerintah terhadap RUU PKB," tegas Munir.

Ikravany   menambahkan,  RUU  PKB  yang  merupakan  produk  rezim Habibie,  telah  tertolak  secara  politik  dan  moral  oleh  gerakan demokratisasi  yang  diperjuangkan berbagai elemen masyarakat. Pidato pertanggungjawaban  BJ  Habibie  ditolak pada Sidang Umum MPR, begitu juga  DPR  yang  membuat  dan mengesahkan RUU PKB itu telah "dipaksa" untuk bubar melalui pemilu yang dipercepat.    

Koreksi
Sementara  itu,  Menteri  Kehakiman  dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza  Mahendra  mengoreksi  berita  pers  yang  menyebutkan  RUU  PKB diundangkan  mulai  tanggal  24 Oktober 2000. Kepada pers di Jakarta, kemarin,   ia  menjelaskan,  pengundangan  RUU  PKB  dilakukan  bukan dihitung  dua  minggu  sejak  rapat  konsultasi Presiden dengan Dewan Perwakilan  Rakyat  (DPR)  10 Oktober lalu, tetapi dihitung satu hari setelah  rapat  pimpinan DPR dengan pemerintah yang berlangsung Senin malam lalu. 

Yusril  mengakui, Senin malam lalu berlangsung rapat pimpinan DPR yang  dihadiri Ketua DPR Akbar Tandjung dengan para wakilnya (kecuali AM  Fatwa),  pimpinan  Komisi  I  dan  II DPR dengan wakil pemerintah -antara  lain  Menteri  Pertahanan  Mahfud MD, Panglima TNI Laksamana Widodo AS, Kapolri Jenderal (Pol) S Bimantoro.

"Jadi,  disepakati  bersama, pengundangannya dilakukan dua minggu setelah  pertemuan  DPR  dengan  pemerintah tadi malam (Senin malam). Jadi  ada  koreksi,  sebab  ada  yang  menulis  tanggal  24  Oktober. Sedangkan start-nya hari ini (Selasa kemarin-Red)," kata Yusril. (pep/oki)