PENYELESAIAN KONFLIK ANTARAGAMA MELALUI HUBUNGAN PRIBADI

Jakarta, Kompas
Apa yang selama ini disebut sebagai konflik antaragama sebenarnya bukan konflik antaragama yang sesungguhnya, karena tidak ada konflik teologi di dalamnya. Penyelesaian konflik seperti itu sebaiknya dilakukan dalam tingkat hubungan pribadi, yaitu mempertemukan penyebab konflik dan korban konflik.

Demikian mengemuka dalam Sarasehan Nasional "Resolusi Konflik Antaragama di Indonesia" yang diselenggarakan Himpunan Penelitian dan Pengembangan Masyarakat (HP2M) di Jakarta, Senin (30/10).

Berbicara dalam sarasehan itu Pastor I Ismartono SJ dari Komisi Hubungan Agama dan Kepercayaan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Wakil Sekretaris Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Pendeta Weinata Sairin, dan Sekretaris Badan Pekerja Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Usman Hamid.

Weinata Sairin mengemukakan, apa yang disebut konflik antaragama lebih baik disebut konflik bernuansa agama, karena tidak ada konflik teologi di dalamnya. "Dalam kasus Ambon, misalnya, itu bukan konflik agama, tetapi ada faktor ekonomi, politik serta peminggiran potensi lokal di sana. Tetapi orang lebih melihatnya
sebagai perang agama," ujarnya.

Untuk menyelesaikan konflik seperti itu, Weinata mengusulkan lima cara. Pertama, penyadaran akan adanya kemajemukan. Kedua, perlu dirumuskan secara jelas hubungan agama dan negara dalam konteks Pancasila. Ketiga, otonomi agama yaitu eksistensi agama tidak perlu berdasarkan kebijakan negara. Keempat, perlu dibentuk wadah kerja sama hingga ke tingkat kabupaten/ kecamatan. Kelima, membuka kotak SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan).
    
"Permainan politik"
Usman Hamid mengatakan, konflik bernuansa agama bukan merupakan peristiwa yang berdiri sendiri, tetapi diindikasikan sebagai hasil "permainan politik" tingkat elite. Konflik yang terjadi lebih disebabkan oleh adanya kepentingan politik, ekonomi ataupun kepentingan sosial tertentu. Misalnya kekuasaan dan
penguasaan atas sumber-sumber daya yang ada.

Pastor Ismartono mengatakan resolusi konflik itu mestinya lebih luas daripada rekonsiliasi. Dalam wacana yang beredar ada tiga model penyelesaian konflik itu. Pertama, melalui pengadilan untuk menghukum si penyebab konflik. Kelemahan model ini, masyarakat tidak mencatat kejahatan para pemimpinnya secara teliti.

Kedua, melupakan sama sekali kejadian yang sudah terjadi. Kekurangan dari model ini adalah bahwa perukunan kembali tidak didasari akan kebenaran. Ketiga, mempertemukan baik penyebab konflik atau korbannya dalam tingkat hubungan pribadi.

Ismartono lebih condong untuk menggunakan model ketiga ini. Yang menjadi korban dapat mengungkapkan penderitaannya, memperoleh santunan nama baik dan harta, sedangkan yang menjadi pencipta konflik dapat minta maaf dan secara simbolis ataupun riil mengembalikan apa yang telah diakibatkan oleh tindakannya. "Dalam model ini manusia bertemu manusia, di mana kerusakan yang ditimbulkan diakui dan pemulihan dijadikan awal bagi kehidupan baru," kata Ismartono. (bur)