SELAMA BELUM SEJAHTERA, POLISI YANG STRES TETAP AKAN ADA

SEDIKITNYA ada dua peristiwa getir yang berkaitan dengan perilaku anggota Kepolisian RI (Polri) yang mencuat menyodok perhatian masyarakat pada pekan lalu. Sejumlah anggota Brimob yang pasti terlatih, mengeroyok seorang pengamen (!) di Terminal Bus Baranangsiang Bogor. Peristiwa yang tak kalah mengejutkan dan mengenaskan adalah penembakan yang dilakukan seorang polisi yang diduga stres terhadap tiga rekannya-dua di antaranya tewas-di Kepolisian Resor (Polres) Metro Jakarta Barat.

Baiklah, kasus tersebut merupakan suatu kasus semata. Artinya, dari puluhan ribu polisi yang tersebar di ribuan kantor polisi, tidak semuanya berperilaku demikian. Namun, kasus "penyimpangan" aparat penegak hukum seperti itu-mengeroyok warga sipil atau mengalami stres berat hingga menggunakan pistolnya tanpa kendali-patut dipertanyakan.

Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras) Munarman menyatakan, tidak mengherankan kalau kasus-kasus, khususnya polisi melakukan pengeroyokan atau penganiayaan terhadap warga masyarakat, tetap akan muncul. Karena masalah tersebut berkait erat dengan watak orientasi Polri itu sendiri. Sekian lama Polri tidak mandiri maka akan sulit mengubah orientasi mereka untuk berorientasi sebagai pelayan masyarakat.

"Selama ini kerja polisi lebih untuk melindungi atau meng-cover rezim Orde Baru, sebagai mesin pengumpul suara, dan sebagai alat untuk melakukan represif kepada massa. Karena itu perilaku polisi agak susah untuk segera diubah sebagai pelayan masyarakat," katanya.

Untuk itu, kata Munarman, perlu pendidikan yang terus-menerus. Perubahan ini harus dimulai dari sistem pendidikan, doktrin harus diubah, yang dimulai dari para komandan atau kepala. Dia menilai belum ada perubahan perilaku di tingkat para kepala atau komandan kepolisian.

Bukan itu saja, selain karena orientasi yang salah sudah mendarah daging, polisi sekarang ini "tidak dimanusiakan". Terbukti, konsekuensi diserahkannya tanggung jawab menjaga keamanan dalam negeri kepada mereka, berupa peningkatan anggaran operasional Polri tidak sebanding dengan tanggung jawab tersebut. Akibatnya, sampai sekarang ini masih banyak anggota polisi harus memikirkan dan melengkapi sendiri kebutuhan dinasnya masing-masing.

Seorang Kepala Polres misalnya harus pusing tujuh keliling memikirkan renovasi kantornya yang sudah kelihatan kusam. Seorang Kepala Satuan Reserse harus ikut pusing menyediakan makan bagi tersangka yang ditangkap dan ditahannya. Sudah menjadi biasa, seorang anggota polisi lalu lintas harus bisa mempunyai motor sendiri untuk mendatangi lokasi tempat dia bertugas. Itu masih mending. Malah ada seorang komandan yang tidak diberi dana operasional serupiah pun
untuk menjalankan satuan tugasnya, selama dia menjabat di situ dengan mengalami pergantian beberapa kali Kapolda-nya.

Oleh karena itu, tidak heran kalau akhirnya banyak anggota polisi yang melakukan pemerasan atau meminta-minta bantuan kepada masyarakat. Masih untung kalau polisi itu bisa melakukan lobi dengan mengistilahkan teman lobinya sebagai "mitra". "Mitra" itu dimintai "tolong" tidak merasa terpaksa memberi atau diperas polisi karena boleh jadi mereka juga pamrih. Namun, yang banyak terjadi adalah memanfaatkan kesalahan orang yang ditangkap untuk mendapat dana
mengisi kas operasional unit atau satuannya. Misalnya "memperjualbelikan" perkara atau hak penangguhan penahanan seorang tersangka.

Masih "bagus" (walaupun sebetulnya salah), kalau dana yang diperolehnya itu benar-benar digunakan untuk kepentingan operasional dinas. Yang terjadi kemudian, dana yang terkumpul itu masuk ke kantung-kantung pribadi. Karena, pada akhirnya sulit mengontrol perolehan dan penggunaan dana tersebut. Mungkin ini sulit membuktikan secara hukum, namun kalau melihat kesenjangan "kekayaan" antara komandan atau anggota polisi yang memegang wilayah atau pernah
memegang perkara dengan polisi yang belum pernah, bisa diduga bahwa "kesejahteraan" yang dinikmati para komandan atau anggota polisi yang memegang "kekuasaan" itu bukan karena dari gaji lembaganya atau negara.

***
 
PERBAIKAN keadaan itu memang harus dilakukan secara struktural. Artinya, bukan saja menjadi tanggung jawab jajaran Polri, tetapi tanggung jawab negara. Untuk meningkatkan kemampuan Polri, parlemen, dan pemerintah harus mempunyai kemauan politik untuk itu, misalnya meningkatkan anggaran Polri. Tidak usah yang muluk-muluk, misalnya saja anggaran untuk menangani perkara. Setidaknya jangan seperti sekarang, untuk setiap perkara hanya  dianggarkan kurang dari Rp
60.000. Bahkan untuk patroli, saat ini polisi hanya mendapat enam liter per kendaraan patroli. Dengan anggaran demikian, sampai di mana sebuah perkara dapat segera selesai atau seberapa luas sebuah mobil patroli meng-cover wilayah hukumnya.

Meningkatkan anggaran Polri merupakan keharusan, terlebih sekarang ini Polri diserahi tanggung jawab untuk menjaga keamanan dalam negeri. Bagaimana seorang polisi bisa melaksanakan tugas pengamanan kalau kebutuhan elementer untuk menjalankan tugas dan kebutuhan hidupnya tidak terpenuhi.

Bagaimana seorang polisi tidak stres-setelah bertugas puluhan tahun-kalau rumah pun tidak punya. Atau bagaimana tidak langsung naik darah, ketika orang di luar lingkungannya menghinanya padahal dia untuk hidup saja susah. Setelah belasan tahun menjadi polisi, ia "tidak dimanusiakan" oleh lembaganya, terbukti hidup pas-pasan dan tinggal di asrama kumuh.

Betul, tindakan kepolisian dalam hal ini Kepolisian Daerah (Polda) Metro Jaya, misalnya, akan mengetatkan izin pemakaian senjata api pada anggotanya, menyusul kasus tragedi Polres Metro Jakarta Barat itu. Polda Metro akan kembali mengevaluasi dan pengetesan psikologis para anggotanya yang diizinkan menggunakan senjata api. Tetapi tentunya itu tidak cukup.

Persoalannya, polisi stres atau polisi gampang naik darah, akan terus ada dan mungkin bertambah banyak, kalau kesejahteraan mereka tidak pernah tercukupi. Tetapi, untuk meningkatkan kesejahteraan polisi memang bukan perkara mudah. Untuk melengkapi sarana operasional dinas saja, Polri masih megap-megap.

Untuk itu memang butuh kemauan politik dari pemerintah dan parlemen untuk meningkatkan anggaran Polri. Ini memang tidak mudah, mengingat pusat perhatian mereka sangat banyak. Sejauh ini terkesan, keputusan menyerahkan tanggung jawab keamanan dalam negeri pada Polri baru sebatas retorika politik belaka.

Jadi, bagi warga masyarakat, lebih baik menguatkan kesabaran dan ketabahan masing-masing, jika berhadapan dengan polisi atau memikirkan keselamatan diri. Kalau tidak kepepet, jangan dekat-dekat polisi, apalagi berurusan dengan polisi. Polisi cepat naik darah dan polisi stres masih banyak, tinggal menunggu saatnya untuk meledak.(Ratih Prahesti Sudarsono)