AKSI-AKSI PELEDAKAN BOM, LEMAHNYA KONTROL BAHAN PELEDAK

LEMBARAN sejarah Indonesia sejak masa Orde Baru lalu sebenarnya tidak pernah sepi dari aksi teror dan peledakan bom. Antara tahun 1976 sampai 1997, tercatat paling tidak 14 kasus peledakan bom di Indonesia. Akan tetapi, memang dalam dua tahun terakhir, sejak tahun 1998-lah aksi peledakan bom meningkat pesat dan terasa semakin "menggila" pada tahun 2000 lalu.

Sebelum peristiwa peledakan bom pada malam Natal di beberapa kota, berdasarkan catatan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), tercatat paling tidak terjadi 26 kasus peledakan bom. Angka itu belum termasuk kasus-kasus peledakan di daerah konflik seperti Aceh dan Maluku. Wajarlah bila kemudian beberapa warga negara asing yang berada di Indonesia mengatakan, "Selamat bergabung dengan negara-negara yang juga menghadapi teror bom dari waktu ke waktu."

Terlepas dari apa pun latar belakang atau motifnya, fenomena maraknya aksi peledakan bom menunjukkan lemahnya sistem keamanan terhadap masyarakat, dan sistem penegakan hukum secara keseluruhan. Terlebih lagi sebagai negara yang menutup diri terhadap penjualan bahan-bahan peledak maupun senjata api secara bebas, terjadinya peledakan bom oleh orang-orang tak bertanggung jawab itu menunjukkan lemahnya kontrol aparat keamanan terhadap peredaran bahan peledak
beserta perlengkapan pendukungnya.

***

FENOMENA maraknya aksi peledakan bom barangkali sedikit lebih tidak meresahkan bila "bom" atau bahan peledak yang digunakan itu adalah bahan-bahan yang memang dibuat secara tradisional, seperti pada bahan peledak yang digunakan dalam konflik di Maluku, atau yang biasa digunakan oleh sejumlah nelayan di berbagai tempat. Dari sisi pembuatan, membuat suatu bahan peledak tidaklah terlalu sulit karena prinsip dasar terjadinya suatu ledakan memang sederhana saja,
misalnya kalau terjadi benturan, gesekan, atau suhu panas. Dari sisi ini, pencampuran bahan-bahan kimia yang saling bertolak belakang saja sudah bisa menimbulkan reaksi ledakan.

Persoalannya, pada banyak kasus yang terjadi dalam dua tahun terakhir ini, kepolisian mengindikasikan penggunaan bahan-bahan peledak "profesional" dalam aksi-aksi peledakan itu. Sebut saja TNT (trinitroluene), bahkan C4 sebagaimana yang diindikasikan digunakan pada peledakan di ruang parkir Gedung Bursa Efek Jakarta (BEJ). Penggunaan bahan-bahan peledak yang hanya bisa diakses kelompok-kelompok tertentu tersebut, mengindikasikan adanya motif lebih luas
dari si pelaku maupun otak peledakan, serta akses penguasaan terhadap bahan-bahan peledak tersebut.

Mantan Kepala Kepolisian RI (Kapolri) Roesdihardjo misalnya, ketika masih menjabat Kapolri memastikan bahwa bom kedua yang ditemukan di lantai tiga Gedung Bundar Kejaksaan Agung adalah buatan PT Pindad dan merupakan standar militer.

***

SEBELUM membahas lebih lanjut tentang bom-bom yang meledak di sekitar kita akhir-akhir ini, ada baiknya kita juga mengenal secara sekilas tentang bom atau bahan peledak pada umumnya.

Secara garis besar, bahan peledak dikelompokkan ke dalam dua golongan besar, yaitu peledak berkekuatan tinggi (high explosive) dan peledak berkekuatan rendah (low explosive). Tinggi-rendahnya kekuatan sebuah bahan peledak dinilai dari lima hal, yaitu daya rambatnya (VOD/velocity of detonation), kekuatan yang biasanya dilihat dari efek ledakannya, sensitivitasnya, berat jenisnya, dan waktu simpannya.

Salah satu yang tergolong high explosive, misalnya emulsi -yaitu campuran amonium nitrat, aluminium dan sulfur (belerang). Amonium nitrat adalah bahan peledak komersial yang paling mudah diracik. Bahan peledak lainnya dikenal antara lain dengan sebutan PETN (nitropentaerythrite, pentaerythrite tetranitrate, pentaerythritol, tetranitrate), RDX (cyclonite, hexogen), T4, cyclo,-1,3,5-trimethylene-2,4,6 trinitramine, hexa-hydro-1,3,5-trinitro-S-triazine), dan Semtex (campuran dari PETN dan RDX). Terkadang bahan-bahan itu juga digabung dengan TNT. Hasil racikan bahan-bahan dasar itulah yang kemudian diberi kode "C" (compound), mulai dari C1, C2, C3 dan C4. Baik PETN, RDX, TNT maupun C4, tergolong military explosive.

Cara mengaktifkan bahan peledak juga bermacam-macam. Ada yang menggunakan timer (pengatur waktu), ada yang menggunakan pengontrol jarak jauh (remote control), ada yang menggunakan baterai, bahkan ada juga yang diledakan langsung oleh yang bersamgkutan, seperti aksi-aksi bom bunuh diri di sejumlah negara.

Untuk kepentingan komersial, misalnya pertambangan dan produksi semen, biasanya digunakan bahan peledak dalam kategori low explosive. Pada waktu lalu yang biasa digunakan adalah bahan peledak dari bahan nitrogliserin. Akan tetapi, bahan tersebut kemudian ditinggalkan karena mudah meledak sehingga dipakailah bahan amonium nitrat atau bahan potassium. Dalam bentuk yang lebih "tradisional" sebagaimana ditemukan -digunakan- di daerah konflik, yang digunakan adalah
campuran belerang dan pupuk urea, atau pupuk dengan minyak.     Bentuk yang sangat sederhana lagi sudah sangat kita kenal, antara lain petasan atau bom molotov.

***

KALAU kita melihat aksi-aksi peledakan bom yang terjadi di sekitar kita, berdasarkan data yang dikumpulkan Kontras, pada banyak kasus peledakan tercatat bahwa bahan peledak yang digunakan adalah TNT. Itu misalnya pada peledakan di Toserba Ramayana, Jalan Sabang, Jakarta (1 Januari 1999), peledakan di Mal Kepala Gading Jakarta (9 Februari 1999), dan peledakan di malam Natal 24 Desember 2000 di sejumlah kota (menurut hasil investigasi sementara Kontras).

Pada kasus peledakan di Plaza Hayam Wuruk, Jakarta (15 April 1999), digunakan campuran TNT dengan KC103 (kalium klorat). Sedangkan pada peledakan bom di Gedung Bundar Kejaksaan Agung, bom yang ditemukan bertuliskan M-1 buatan Pindad. Sementara pada peledakan di depan rumah Dubes Filipina (Jakarta), diidentifikasi berjenis C4, sebagaimana diterangkan Rusdihardjo.

Pada kasus-kasus peledakan lainnya, misalnya peledakan di pintu gerbang Kantor Kontras maupun ledakan di bus Koantas Bima yang melintas di Departemen Pertanian menjelang persidangan Soeharto, bahan peledaknya adalah petasan besar.

Pertanyaannya kemudian adalah, siapakah yang mempunyai akses ke bahan-bahan peledak tersebut? Jika merujuk pada Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No 230/MPP/Kep/1997 tentang Barang yang Diatur Tata Niaga Impornya, kata Ketua Badan Pengurus Kontras Munir, maka ada lima perusahaan yang memperoleh izin untuk mengurus pengadaan dan distribusi bahan peledak amonium nitrat di Indonesia pada saat ini; yaitu PT Pindad, PT Dahana, PT Multi Nitrotama Kimia, PT Tridaya Esta, dan PT Armindo Prima. Dari kelima perusahaan tersebut, PT Pindad dan PT Dahana adalah Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) yang khusus menyediakan peledak untuk kebutuhan militer

Dari sisi prosedur, perusahaan calon pembeli amonium nitrat harus memiliki izin pembelian dan penggunaan (P2) yang dikeluarkan oleh Markas Besar (Mabes) Polri. Untuk memiliki izin P2, sebelumnya perusahaan tersebut harus memiliki izin penguasaan, penyimpanan, dan pemilikan (P3) yang juga dikeluarkan oleh Mabes Polri. Untuk menjadi produsen, prosedurnya lebih rumit lagi, karena harus mendaftarkan ke Departemen Pertahanan dan Keamanan (pada waktu lalu), mendapat
rekomendasi dari Bakorstanas, Badan Intelejen ABRI (BIA), dan Kepolisian Daerah (Polda) serta Mabes Polri.

***

MENURUT Munir, jika melihat prosedurnya, kemungkinan terjadi kebocoran dalam distribusi amonium nitrat sudah diminimalisir. Selain tidak melayani pembelian individual dan perusahaan pembeli harus memiliki izin P2, amonium nitrat dijaga 24 jam oleh aparat Polri, baik saat berada di pabrik, di perjalanan saat pengiriman, maupun saat bongkar di tempat tujuan pembeli. Pengangkutan amonium nitrat dari produsen/importir kepada pembeli pun hanya bisa dilakukan 13 perusahaan yang mendapat izin khusus dari Departemen Pertahanan, sehingga tidak masuk akal kalau bahan-bahan seperti amonium nitrat dan TNT bisa diperoleh di pasaran bebas.

"Kemungkinan yang bisa terjadi adalah manipulasi. Bahan peledak yang dibeli kemudian dilaporkan telah digunakan lebih besar jumlahnya daripada yang sebenarnya, sehingga ada beberapa yang masih tersimpan. Bahan peledak sisa yang harganya relatif mahal itu kemudian dijual di bawah tangan oleh oknum di perusahaan kepada pihak lain," papar Munir.

Dari sisi kemampuan menggunakan, khususnya untuk bahan-bahan peledak berkategori military explosive, di Indonesia memang hanya dikuasai orang-orang tertentu. Di kalangan militer, hampir setiap kesatuan mempunyai personel yang ahli bahan peledak, meski jumlahnya tidak banyak.

Akan tetapi, jika kita melihat kembali kasus peledakan bom di BEJ yang melibatkan tersangka Sersan Dua Irwan, anggota Grup V/A Antiteror Komando Pasukan Khusus (Kopassus) yang bermarkas di Cijantung, kata Munir, lebih jauh bisa diketahui bahwa kemampuan merakit dan meledakkan bom hanyalah kemampuan dasar dari semua pajurit Kopassus. Komandan Kopassus Mayjen Amirul Husaini, misalnya, pernah mengakui bahwa soal merakit dan meledakkan bom adalah
kemampuan dasar yang harus dimiliki seorang anggota Kopassus. Salah satu institusi pendidikan lain yang berhubungan dengan soal penggunaan dan penjinakan bahan peledak di kalangan militer dan polisi adalah Sekolah Zeni di Jawa Barat.

"Akan tetapi, itu semua tidak berarti kasus-kasus peledakan bom di Indonesia dilakukan oleh unsur militer, karena pengetahuan seperti itu bisa saja diajarkan kepada siapa saja," ungkap Munir.

Oleh karena itu, yang perlu ditelusuri dan diawasi lebih ketat sesungguhnya adalah bagaimana bahan-bahan peledak itu bisa sampai ke tangan orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Itu artinya, audit terhadap perusahaan yang mempunyai izin memproduksi atau mengimpor, serta perusahaan yang mempunyai izin untuk menggunakan bahan peledak, harus dilakukan. Dari situlah diharapkan bisa ditemukan siapa yang seharusnya bertanggung jawab atas penggunaan bahan peledak sebagai alat teror.

Lebih jauh lagi, seperti ditegaskan Munir, regulasi dan kontrol produksi, importir, dan penggunaan bahan peledak harus dilakukan lebih ketat. Aparat negara tidak bisa memandang persoalan ini sebagai persoalan enteng sehingga harus ada pertanggungjawaban yang jelas dan tegas. "Para pelaku dan jaringan peledakan bom itu pun harus bisa diungkap, sehingga dari situ kita juga bisa berharap untuk mengamankan bahan-bahan peledak yang masih beredar di tangan para
pelaku teror," paparnya. (Rakaryan S)