14 LSM TOLAK PEMBENTUKAN TIM AHLI AMANDEMEN UUD 1945

Jakarta, Kompas
Sebanyak 14 aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) menolak pembentukan tim ahli oleh Panitia Ad Hoc (PAH) I Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk melanjutkan amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Untuk selanjutnya, amandemen UUD 1945 harus dilakukan oleh sebuah Komisi Konstitusi yang diberi legitimasi kuat dan kewenangan penuh.

Demikian pernyataan 14 LSM yang menamakan diri Koalisi untuk Komisi Konstitusi yang disampaikan di Kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Jakarta, Kamis (15/2). LSM yang tergabung dalam koalisi tersebut antara lain, YLBHI, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Konsorsium Reformasi Hukum Indonesia, Indonesia Corruption Watch, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia serta Aliansi Jurnalis Independen.

Munarman dari Kontras mensinyalir, keberadaan ahli atau pakar dalam PAH I hanya manipulasi untuk merebut simpati masyarakat sekaligus merupakan klaim legitimasi peran BP MPR. Padahal, pada akhirnya rumusan yang dibuat tim ahli ini akan diobrak-abrik anggota MPR sesuai selera politiknya. Hal ini tercermin dari pengalaman amandemen pertama dan kedua yang lalu.

Koalisi LSM tersebut juga pesimis, terbatasnya jumlah anggota tim ahli amandemen UUD 1945 membuat kerjanya menjadi tidak optimal dan komprehensif. Jumlah tim yang dipatok 20 orang juga merupakan bentuk pembatasan partisipasi publik.

"Yang anehnya lagi, tim ahli diminta untuk tidak boleh menyebarluaskan masukannya kepada publik. Ini sama saja merupakan bentuk pembatasan hak publik untuk mengetahui dan berperan aktif menentukan perubahan UUD ini. Ini bertentangan dengan arus reformasi," tandas Munarman.

Sebagai jalan keluar, koalisi LSM mengusulkan MPR mengubah tim ahli dengan Komisi Konstitusi. Komisi ini hendaknya diberi wewenang penuh untuk menyusun amandemen dengan melibatkan partisipasi masyarakat luas secara demokratis. Pada akhirnya naskah atau rancangan konstitusi yang dihasilkan tinggal disahkan oleh parlemen.

MPR menetapkan
Secara terpisah, pakar hukum tata negara Albert Hasibuan mengaku sangat setuju dengan usulan koalisi LSM agar MPR membentuk Komisi Konstitusi untuk amandemen UUD 1945. Menurut Hasibuan, dari peristiwa amendemen pertama dan kedua tempo hari ternyata, tidak banyak yang telah dilakukan MPR dalam mengamandemen UUD 1945 sesuai tuntutan reformasi. Malah, persoalan amandemen lebih bergeser kepada kepentingan politik anggota MPR.

Menurut Hasibuan, komisi konstitusi bukan merupakan suatu hal yang melanggar konstitusi. Memang, Pasal 3 UUD 1945 menyebutkan, MPR menetapkan UUD dan Garis-Garis Besar daripada Haluan Negara. Namun, tidak disebutkan bahwa MPR juga yang harus membuatnya.

"Kan bisa saja, amandemen dibuat oleh komisi konstitusi yang berisi pakar yang representatif. Sedang MPR tinggal menetapkannya. Tidak ada yang salah di situ," kata Hasibuan lagi. (sah)