PRESIDEN MINTA DPR SEGERA BENTUK PERADILAN HAM “AD HOC”

Jakarta, Kompas
Presiden Abdurrahman Wahid pertengahan bulan Februari 2001 mengirim surat kepada Ketua DPR Akbar Tandjung agar DPR segera mengusulkan pembentukan Peradilan HAM "Ad Hoc". Dengan adanya surat itu, DPR diharapkan segera membahas pembentukan peradilan ad hoc untuk selanjutnya hasilnya disusulkan ke Presiden untuk disahkan. Dengan demikian, penanganan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat yang saat ini ditangani Kejaksaan Agung dapat
segera dituntaskan.

"Menurut Sekretaris tim penyidik gabungan kasus pelanggaran HAM berat Timor Timur, Umar Bawazier, pada pertengahan Februari lalu, Gus Dur (Presiden Abdurrahman Wahid) telah mengirim surat ke Ketua DPR. Gus Dur minta agar DPR segera membentuk tim penyidik ad hoc. Ini kan bagus, ini bukti bahwa pemerintah serius (menangani kasus pelanggaran HAM). Selama ini kan pemerintah dianggap tidak serius," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung,
Muljohardjo, di Jakarta, Kamis (22/2).

Penanganan kasus pelanggaran HAM Timtim, yang proses penyidikannya sudah selesai beberapa waktu lalu, terhambat karena peradilan ad hoc yang berwenang menyidangkan kasus ini belum terbentuk.

Secara terpisah, Koordinator Badan Pekerja Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Munarman, mengatakan bahwa pada awal Februari 2001 Kontras menemui pimpinan DPR yang diwakili Soetardjo Soerjogoeritno, serta wakil dari Komisi II. "Kami minta supaya DPR segera mengusulkan kepada Presiden agar Presiden memutuskan pembentukan pengadilan HAM ad hoc. Mereka mengatakan akan segera usulkan. Saya dengar DPR mulai membahas masalah ini," kata Munarman.

Selain itu, kata Munarman, secara informal Kontras meminta agar Komisi Nasional (Komnas) HAM mengirim surat ke DPR agar selanjutnya DPR mengusulkan kepada Presiden agar segera mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) pembentukan peradilan ad hoc untuk kasus Timtim dan Tanjung Priok.

Munarman menilai, selama ini DPR kurang mempunyai kepedulian terhadap masalah upaya penuntasan pelanggaran HAM masa lalu. Mereka lebih tertarik pada masalah politik, dalam hal ini politik kekuasaan, daripada hal-hal yang berhubungan dengan pembangunan demokrasi dan penegakan HAM. Selama ini kepentingan politik selalu mempengaruhi upaya penegakan HAM. "Bagaimanapun kejahatan HAM masa lalu tidak lepas dari situasi politik masa lalu. Contohnya, Kejaksaan Agung saat ini lamban karena Jaksa Agungnya orang partai, dia ikut di dalamnya (kepentingan politik)," kata Munarman. (ika)