Kerusuhan di Sampit: DESAKAN PEMBERLAKUAN DARURAT SIPIL MAKIN KUAT

Jakarta, Kompas
Desakan agar pemerintah memberlakukan status darurat sipil di Sampit dan Palangkaraya (Kalimantan Tengah) makin kuat. Pemberlakuan darurat sipil di kawasan itu diharapkan bisa segera mengatasi pertikaian antar-etnis yang telah banyak memakan korban jiwa.

Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Amien Rais, Selasa (27/2), mengatakan, "Menurut saya, secepat mungkin diterapkan darurat sipil. Kalau situasi sudah normal, darurat sipil bisa dicabut kembali. Bukan malah harus menunggu tiga hari lagi, nanti malah bertambah kacau." Amien Rais menanggapi pernyataan Menteri Koordinator Politik, Sosial, dan Keamanan (Menko Polsoskam) Susilo Bambang Yudhoyono yang masih memberikan toleransi tiga hari untuk mengatasi kerusuhan Sampit.

Desakan untuk memberlakukan keadaan darurat sipil juga disuarakan Ketua Fraksi Kebangkitan Bangsa (F-KB) Taufikurachman Saleh serta sejumlah badan otonom Nahdlatul Ulama (NU)-Muslimat NU, Fatayat NU, GP Ansor, IPNU, IPPNU. "Keputusan itu perlu diambil mengingat korban telah banyak berjatuhan, gelombang pengungsi semakin hari semakin membesar, dan gerakan massa yang emosi sudah tidak dapat lagi diantisipasi dan ditangani dengan prosedur biasa," demikian pernyataan F-KB DPR.

Sementara Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mengharapkan pemerintah bisa mengambil langkah-langkah tegas, termasuk melakukan sweeping senjata, mengeliminasi perluasan wilayah konflik, tanpa harus lebih dahulu memberlakukan darurat sipil.

"Darurat sipil itu tidak punya nyawa. Kalau darurat sipil hanya mempercepat orang keluar dari Sampit, apa gunanya," kata Munir dari Kontras. Ia  kemudian menambahkan, "Kalau dulunya warga Madura berasal dari Sampit, mereka harus dipulangkan ke Sampit kembali. Tradisi memindah orang yang terusir ke daerah lain, itu seperti memberi legitimasi pengusiran masyarakat di wilayah lain kembali. Ini preseden buruk."

Kepala Staf Teritorial TNI Letjen Agus Widjojo ketika ditanya apakah di Kalteng sudah perlu diberlakukan darurat sipil, ia mengatakan, hal itu merupakan keputusan politik, di mana kewenangannya berada pada lapis politik. "TNI hanya menyiapkan diri agar bisa bertugas dalam tingkat keadaan yang ditentukan berdasarkan keputusan politik," katanya. 

Akan ke Sampit
Sementara itu,  Wakil Presiden (Wapres) Megawati Soekarnoputri segera terbang ke Kalimantan Tengah untuk meninjau kawasan pertikaian etnis. Sekarang ini, Wapres terus mengendalikan langkah-langkah usaha penyelesaian masalah di kawasan tersebut.

Hal ini diungkapkan Menko Polsoskam SB Yudhoyono dalam pidato pada acara pembukaan rangkaian agenda publik peringatan 100 tahun Bung Karno di Hotel Indonesia, Jakarta, Selasa. Wapres Megawati tidak hadir dalam acara tersebut.

"Ibu Wakil Presiden hari ini (Selasa, 27/2-Red) terus melaksanakan pengendalian atas langkah penyelesaian di Kalimantan Tengah dan persiapan beliau untuk meninjau secara fisik ke lapangan," kata Yudho-yono tanpa menyebutkan hari dan tanggal bilamana Wapres akan berangkat ke wilayah ter-sebut.
 
Tanggung jawab
Amien Rais mengatakan, Yudhoyono selaku Menko Polsoskam seharusnya bertanggung jawab terhadap hal yang berkaitan dengan keamanan, termasuk di Sampit. Amien menilai, sudah terlalu banyak kebocoran keamanan yang luar biasa. "Kebocoran dalam arti kematian anak-anak bangsa di Maluku, Irian Jaya, Aceh, Poso, Sampit, dan Sambas. Tanggung jawab itu sekarang seperti terabaikan," katanya.

Tentang Presiden Abdurrah-man Wahid yang kini berada di luar negeri, Amien berharap Presiden segera kembali ke Tanah Air. Yudhoyono menyayangkan pelbagai komentar yang mengecam pemerintah telah gagal total mengatasi masalah Sampit. "Sebaliknya, saya justru mengajak beliau-beliau itu agar bersedia bersama kami segera turun ke lapangan dan marilah kita lihat bersama apa yang telah dilakukan oleh semua aparat penegak hukum dan ketertiban umum yakni polisi, TNI, pemerintah daerah setempat, para pemuka masyarakat dan agama di sana," jelas Yudhoyono.
 
Bukan konflik agama
Amien Rais, Nurcholish Madjid, dan SB Yudhoyono tidak setuju kalau apa yang terjadi di Sampit merupakan perang agama, melainkan konflik antar-etnis Madura dan Dayak. "Jangan ditarik ke masalah agama, nanti malah makin ruwet," katanya.

Berbeda dengan pendapat Amien, Lasykar Pembela Islam (LPI), organisasi di bawah Front Pembela Islam (FPI), berpendapat bahwa apa yang terjadi di Sampit merupakan perang agama, bukan perang etnis. Selasa kemarin, ratusan anggota LPI mendatangi Gedung MPR/DPR. Sebagian delegasi diterima Ketua DPR Akbar Tandjung untuk berdialog. LPI dalam seruannya berharap agar seluruh umat Islam di Kalimantan, baik dari suku Dayak, Banjar, Melayu, Madura maupun yang lainnya, saling mempererat persaudaraan dan merapatkan barisan serta saling melindungi sesama Muslim.

Rektor Universitas ParamadinaMulya Nucholish Madjid berpendapat, konflik antar-etnis yang terjadi di Sampit dan Palangkaraya bukan konflik antar-agama. Konflik tersebut sudah terjadi jauh sebelumnya dan baru muncul setelah kebebasan dibuka.

"Saya kira (kalau konflik antar-agama) tidak. Ada keterangan dari Saudara Dr Salim Said (pengamat politik) bahwa potensi konflik itu sudah lama sekali. Mungkin kembali pada beberapa puluh tahun yang lalu. Tetapi mengapa di zaman Pak Harto (mantan Presiden Soeharto) tidak muncul, karena selalu dihadapi dengan tangan kuat," ujar Nurcholish menjawab pertanyaan pers usai berbicara pada diskusi RRI "Rekonsiliasi dan Peran TNI" di Jakarta, Selasa.

"Saya menyesalkan itu, yakni munculnya berita-berita yang telah melenceng ke sana-kemari. Keprihatinan yang sama juga diungkapkan Gubernur Kalimantan Tengah beberapa jam lalu kepada saya dalam rangka menanggapi berita-berita tidak benar dan akurat itu. Dia juga sangat prihatin karena di sana sekarang ini sudah mulai muncul selebaran-selebaran gelap dan berita-berita yang mengatakan konflik di beberapa tempat di Kalteng itu adalah ekses dari konflik agama,"
tambah Yudhoyono kepada pers. 

Dimulai dari Presiden
Untuk mengatasi masalah itu, menurut Nurcholish, mestinya harus dimulai dari Presiden sendiri bahwa dia harus menunjukkan sinyal yang sangat kuat dengan  tidak membiarkan hal seperti itu terjadi. "Harus diambil persoalannya sebagai tanggung jawab pribadi sebagai Kepala Negara. Selain lambang-lambang yang lain, Presiden adalah lambang negara. Oleh karena itu harus diambil sebagai persoalan dia. Bukan persoalan pribadi Gus Dur  (Abdurrahman Wahid), tetapi
persoalan sebagai seorang presiden, sebagai suatu lembaga politik," katanya.

Hal kedua yang harus dila-kukan Presiden adalah turun ke bawah dan diwujudkan sebagai tindakan, misalnya pengerahan kekuatan secukupnya dari kekuatan yang bisa mendamaikan,  dalam hal ini tentara dan polisi.

"Kalau ada pertanyaan apa-kah Presiden mestinya kembali, kalau dalam ukuran-ukuran normal di negara lain, mestinya kembali segera," ujar Nurcholish. (bur/ryi/pep/osd/sah)