Presiden Nilai Islah Kasus Priok Baik: PROSES HUKUM TETAP JALAN

Jakarta, Kompas
Presiden Abdurrahman Wahid menilai islah (perdamaian) yang dilakukan korban Peristiwa Tanjung Priok 12 September 1984, dengan mantan Panglima Daerah Militer (Kodam) Jaya Jenderal (Purn) Try Sutrisno serta aparat lainnya baik dilakukan. Akan tetapi, pemerintah tetap pada komitmennya bahwa proses
hukum harus tetap dijalankan.

Pernyataan Presiden ini disampaikan Ketua Yayasan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Munir kepada para wartawan setelah ia bersama Koordinator Kontras Munarman bertemu Presiden di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (9/3).

Menurut Munir, pernyataan Presiden itu merupakan jawaban dari pertanyaan Kontras. "Soal yang dilakukan antara korban dengan mereka yang diduga pelaku dalam proses islah itu adalah soal mereka. Artinya soal individu-individu, sementara fungsi hukum harus tetap dijalankan," ujar Munir.

Munir mengatakan, Presiden mendukung proses rekonsiliasi, apabila memang proses penegakan hukum tidak dimungkinkan akibat faktor yang tidak bisa dihindari. Misalnya, pelakunya sudah tidak jelas dan para korbannya sudah tidak bisa diketahui. "Tapi soal Tanjung Priok bukan seperti itu. Jadi, proses penegakan hukum harus jalan. Itu penegasan pada soal Tanjung Priok," ujarnya.

Munir juga mencatat, tidak semua korban dan pelaku tragedi Tanjung Priok menandatangani islah tersebut. "Sedangkan yang menandatangani pun secara lisan telah menghubungi kami bahwa mereka tidak menghentikan tuntutan pengadilan," ujar Munir.
 
Sikap politik DPR
Selain itu Munir mengatakan, pihaknya telah mengusulkan kepada pemerintah untuk mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) tentang Pengadilan HAM. Undang-undang Pengadilan HAM masih memungkinkan pemerintah mengeluarkan Keppres tanpa menunggu usulan DPR.

Menjawab pertanyaan wartawan, Munir juga mengatakan sebenarnya sumber masalah impunity sekarang ini adalah sikap politik DPR. Dikatakan sejak adanya UU Pengadilan HAM, sebetulnya DPR adalah pelaku aktif bagi penyelesaian bagi berbagai persoalan hak asasi manusia.

"Karena seluruh mandat itu diambil alih oleh DPR, pembentukan pengadilan ad hoc dan penyelidikan-penyelidikan itu atas usulan DPR. Jadi ketika DPR tidak lagi mengambil inisiatif untuk mengusulkan, maka problem hak asasi menjadi terbengkalai," ujar Munir.

Ketidakjelasan sikap DPR ini, kata Munir, menimbulkan implikasi, yaitu menimbulkan impunity di antara para pelaku pelanggaran HAM. "Saya kira ini menimbulkan beban misalnya soal Aceh dan Papua. Kenapa mengenai soal Aceh, orang menuntut soal HAM tidak terselesaikan," kata Munir.

Sementara, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Irianto Subiakto, mendesak Jaksa Agung Marzuki Darusman untuk melanjutkan proses hukum yang sedang berjalan dan sesegera mungkin memanggil pihak kedua penandatanganan Piagam Islah yang patut diduga sebagai tersangka dalam kasus Tanjung Priok. Irianto mengungkapkan hal itu dalam siaran pers yang dikeluarkan LBH Jakarta tentang Piagam Islah Kasus Tanjung Priok yang dibagikan di Istana Merdeka Jakarta, Jumat.
 
Bukan perdata
Ketua Umum Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) Sudjono mengakui, islah yang dilakukan Try Sutrisno dan korban Tanjung Priok merupakan langkah yang baik. Tetapi, islah bukan untuk penyelesaian pelanggaran HAM, sebab pelanggaran HAM bukanlah bagian dari hukum perdata. Perdamaian sekarang hanya dimungkinkan dalam perkara perdata.

"Jadi, apa bisa islah digunakan untuk menyelesaikan pelanggaran HAM. Apalagi, belum apa-apa sudah ada keluarga korban yang merasa tak terwakili dalam islah itu. Karena itu, kalau Kejaksaan Agung tak menghentikan penyidikan kasus Tanjung Priok, ya memang harus begitu," jelas Sudjono.

Di tempat terpisah, Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum MA Rachman menandaskan, proses penyidikan kasus pelanggaran HAM berat Tanjung Priok tetap berjalan meski ada persetujuan damai antara pihak korban dan TNI. Bahkan ditargetkan, pada awal bulan Mei 2001 proses penyidikan selesai dan bersamaan itu dapat diumumkan tersangka dalam kasus Tanjung Priok ini.

"Islah itu kan antara mereka. Proses hukum jalan terus. Sampai sekarang kami belum menjumpai apakah islah ini ada pengaruhnya atau tidak. Kami tetap melanjutkan pemeriksaan, dari 56 saksi korban yang akan diperiksa sampai saat ini baru 46 yang diperiksa," kata Rachman.

Lebih lanjut Rachman mengatakan, tidak semua pihak korban menyatakan berdamai. Beberapa di antaranya tetap menginginkan kasus Priok ini diproses secara hukum. Karena itu adanya islah tidak akan mengganggu ataupun menghambat proses penyidikan yang sedang dilakukan Kejaksaan Agung saat ini. Apalagi dalam kasus pelanggaran HAM berat, tugas kejagung adalah melanjutkan proses penyelidikan yang dilakukan Komnas HAM. (ika/gun/osd)