“SEBULAN BAU WANGI, SELANJUTNYA BAGAIMANA….”

JAWABNYA tegas: kembali. Itulah sikap mayoritas pengungsi Sampit dan Palangkaraya, Kalteng, di Madura kalau ditanya tentang keinginannya.Hadi Ibnu, misalnya. Ia kini mengungsi ke desa asalnya di Desa Pagarbatu, Sumenep. Tetapi, bukan berarti dia suka kembali ke desa itu. Yang ada tinggal sanak kerabat, tetapi harta benda sudah tidak ada. Secara kultural, ia seperti kembali ke pangkuan puaknya. Tetapi tidak bagi istri dan anak-anaknya.

"Istri saya etnis Banjar. Tidak bisa bahasa Madura sama sekali. Anak-anak saya juga tidak bisa. Mereka hanya tahu kalau saya ini berdarah Madura. Dalam kehidupan sehari-hari di Tiong, Sampit kami menggunakan bahasa Indonesia. Untuk memudahkan komunikasi dengan etnis lain seperti Melayu, Dayak, Banjar, Tionghoa, dan Bugis," katanya.

Muryanti, misalnya, pengungsi asal Desa Gunung Rancak, Sampang. Ia, orang tuanya dan anak-anaknya lahir di Sampit. Menjadi warga Sampit. Selama ini makan dan minum dari bumi Sampit. Kemaduraannya hanyalah sejarah dan darah. "Di sini ini kami bukan kembali ke Madura. Tetapi kami ini diusir dari tanah tumpah darah kami ke Madura. Sebelumnya saya tahu Madura hanya mendengar cerita. Tidak pernah saya melihatnya," tuturnya.

Muryanti yang punya sanak keluarga saja tidak betah. Apalagi Syaiful Bahri. Keluarganya di Sampit habis dibantai. Ia tinggal seorang diri bersama istrinya, Suliana mengungsi. Ia hanya tahu berdasar cerita bahwa keluarganya berasal dari Desa Tanjung, Sumenep. Tetapi, setibanya di desa itu, tidak ada satu pun masyarakat Desa Tanjung yang mengenalnya.

Syaiful Bahri menjadi terasing di Madura. Bukan hanya bahasa dan budayanya, makanan sehari-hari masyarakat Tanjung yang berupa nasi jagung tidak ia kenal. Maka perutnya pun merasa terasing dengan nasi jagung yang masuk. Hal serupa dialami Herliana yang melahirkan bayinya di rumah sakit Pamekasan. Ia hanya tahu kalau masih berdarah Madura campur Banjar. Tetapi, sudah tidak tahu sama sekali bahasa dan adat istiadat Madura.

Madura, bagi para pengungsi, hanyalah tempat persinggahan penyelamatan nyawa sementara. Merupakan kemustahilan kalau harus hidup di situ. "Kalau mereka tinggal di sini, tidak ada yang dimakan," kata KH Alawy Muhammad, ulama karismatis pengasuh Pondok Pesantren Attaroqqi, Sampang.

Pulau yang terletak di sebelah utara Jawa Timur ini termasuk daerah miskin di Jatim. Lihat saja, pendapatan asli daerah (PAD) Sampang pada tahun 1999 hanya Rp 2,58 milyar, Bangkalan Rp 4,25 milyar, Pamekasan Rp 4 milyar, dan Sumenep Rp 3 milyar. Keseluruhan PAD Jatim sebesar Rp 461,5 milyar.

***
 
MAYORITAS penduduknya berada di sektor lapangan kerja pertanian dan nelayan. Lahan pertanian sawah beririgasi teknis tidak sampai 10 persen dari total lahan. Kalaulah ada sawah masuk kategori sawah tadah hujan. Lihatlah di Kabupaten Sampang yang sekitar 80 persen penduduknya petani, sama sekali tidak ada lahan irigasi teknis.    

Pertanian di Madura adalah lahan kering atau tegalan dengan dominasi tanaman jagung dan singkong yang dibudidayakan secara subsistem yaitu produksi dan konsumsi tidak dipisahkan oleh pasar. "Sampai sekarang makanan pokok mayoritas masyarakat Madura itu, ya, jagung. Kalau ada yang bilang tidak lagi makan jagung itu hanya pernyataan gengsi orang Madura modern di kota-kota saja," kata Sibrih de Giovie, tokoh Forum Pemuda Madura Peduli Sampit.

Dalam pertanian tegalan demikian juga terjadi ketimpangan struktur kepemilikan. Kalangan juragan atau petani kaya yang memiliki lahan luas menempati puncak piramida struktur dengan jumlah mereka yang sedikit. Di bawahnya adalah petani pemilik dengan luas kurang dari satu hektar yang disebut petani gurem. Lapisan bawahnya lagi dalam jumlah yang besar adalah petani penggarap dan buruh tani.

"Kalau mereka dikembalikan ke Madura, itu sama saja mengembalikan mereka kepada kemiskinan," kata Hasan Basri, tokoh pemuda Nahdlatul Ulama (NU) Sumenep. Peneliti Madura asal Belanda Dr Huub de Jonge mencatat, yang mendorong migrasi orang-orang Madura adalah karena cekaman kemiskinan.

Cekaman kemiskinan jelas akan semakin kuat dengan hadirnya para pengungsi. Bupati Sampang yang belum dilantik, Fadhilah Budiono mengakui, ketambahan lebih 47.000 pengungsi menambah beban berat Sampang. "Jagung dan singkong sudah habis. Lantas mau diberi makan dari mana penduduk ini," katanya.

Gambaran kubangan kemiskinan yang sudah dialami sepanjang hidupnya, membuat nenek Kani (lebih 70 tahun) tidak mau menahan cucu dan cicitnya tinggal di Sampang. Ia tidak mau mereka bernasib seperti dirinya. Apalagi belum tentu setabah dirinya menghadapi suratan nasib itu. Kalau tidak sabar dan tabah bisa terjebak pada jurang kehinaan yang dalam dunia dan akhirat.    

Bukankah kadzal fakru ayyana kufran, kemiskinan itu mendekatkan kepada kekafiran. Bukankah imigran Madura yang terjebak pada dunia mafioso di Sampit, beking perjudian, kegiatan pelacuran dan premanisme juga kerena tidak tabah menghadapi hempasan kemiskinan. Lantas mereka melakukan jalan pintas untuk memenuhi jargon tak andik harta tan andik belleh (tidak ada harta tidak dihormati orang). Melupakan etos budaya kerja Madura bahwa untuk mendapatkan kekayaan harus melalui abantel ombek asapuk angin (berbantal ombak dan berselimut angin). Maknanya, bekerja keras.

Para pengungsi bisa memprediksikan, semakin lama mereka di pengungsian, kondisinya malah akan semakin runyam. Di samping kesulitan sandang, pangan, dan papan, akan muncul berbagai masalah sosial dan individual. Misalnya, depresi mental, kriminalitas, pelacuran, dan kecemburuan sosial.

"Nasib para pengungsi itu dalam waktu sebulan-dua bulan ibaratnya masih bau wangi. Setelah itu bau tidak enak. Sekarang pemerintah dan masyarakat luar masih mau memberi sumbangan. Mereka dipandangan sebagai korban yang harus disantuni. Bahkan sebagai pahlawan yang harus dihormati. Tapi setelah itu, apa pemerintah masih mau memberikan bantuan. Apa masyarakat luar masih ingat. Bahkan apa yang ditempati juga masih ikhlas," kata Sibrih.

Kalangan pengungsi mafhum betul masalah itu. Mereka juga trauma akan bernasib seperti pengungsi kerusuhan Sambas, Kalbar. Masih ribuan orang terlunta-lunta dalam penampungan pengungsi di stadion Pontianak tanpa kejelasan nasib. Mereka benar-benar terhempas dalam lembah kemiskinan absolut.

Demikian pula lebih 40.000 pengungsi asal Sambas yang mengungsi di Madura kini sudah tidak kedengaran nasibnya. Mereka mafhum, pemerintah sekarang sama sekali tidak memiliki sense of cricis. Tidak memiliki kepekaan rasa kemanusiaan terhadap nasib para pengungsi. Tidak memiliki kebijakan yang jelas dan memadai. Ratusan ribu atau bahkan mungkin jutaan warga negara yang menjadi pengungsi di negaranya sendiri mulai dari Aceh, Ambon, Maluku, Maluku Utara, Poso,
Sambas, dan Atambua.

Lantaran tahu pemerintah tidak akan becus mengurus itulah, para pengungsi menolak ketika hendak direlokasi ke suatu pulau tertentu. Belakangan terungkap bahwa pulau yang akan dipergunakan itu adalah pulau kosong yang masuk di wilayah Kabupaten Sumenep. Pulau itu tandus. Maka mereka sadar, pemerintah hanya mau memindahkan warganya kepada kesengsaraan baru.

***
 
KEMBALI ke tempat asal, menjadi alternatif prioritas yang dikehendaki para pengungsi. Mereka sudah ada keterikatan yang dalam baik ekonomis, historis dengan tempat asalnya di Sampit atau Palangkaraya. "Saya memang tidak punya apa-apa lagi. Sapi saya dirampas. Rumah dibakar. Kini tinggal padang hitam. Tapi kalau saya dikembalikan, Insya Allah sanggup membangun kembali," kata Solikhin, pengungsi di Robatal.

Apalagi para pengungsi yang sukses sebagai pengusaha, jelas ingin menghidupkan kembali kesuksesannya. Misalnya, Marlinggi, Misdar, Sunjoto, Satlani Sakri, dan Sarman, adalah nama-nama pengusaha papan atas. Mereka menguasai bisnis perkayuan, stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU), perhotelan, perdagangan eceran, transportasi baik darat maupun laut.

"Yang penting pemerintah menjamin keamanan dan keselamatan, saya yakin para pengungsi akan dengan senang hati kembali. Tentu saja pemerintah juga harus menjamin hak milik masyarakat. Bagaimanapun trauma ini masih kuat," kata Hadi Ibnu.

KH Alawy Muhammad juga menegaskan, pemerintah berkewajiban mengembalikan mereka. Menjamin keamanan dan keselamatannya. Harus benar-benar tegas dalam menegakkan supremasi hukum. Kalau orang orang melakukan tindak kriminalitas apa pun etnisnya harus ditindak. Kalau perlu, dalam suasana yang mendesak berlakukan tembak di tempat. "Kerusuhan ini kan mestinya tidak perlu terjadi kalau aparat bertindak tegas," katanya.

Bagaimana supaya warga yang kembali nanti benar-benar percaya bahwa pemerintah beritikad baik memberi jaminan keamanan dan keselamatan warganya? Kalangan pengungsi mendesak agar seluruh aparat keamanan baik Polri maupun TNI diganti dengan personel baru. Masyarakat tidak percaya sama sekali terhadap mereka. Bukan saja terlalu lamban dalam menangani kerusuhan itu, bahkan ada kesan kuat aparat Polri dan TNI lokal terlibat atau setidak-tidaknya membiarkan
kerusuhan terjadi.

Para pengungsi masih ingat bagaimana aparat keamanan hanya tersenyum-senyum melihat puluhan kepala manusia diarak keliling kota. Membiarkan massa membantai dan membakar. Bagaimana menolak permohonan warga yang hendak meminta perlindungan. Meminta uang untuk ongkos naik truk polisi.
   
Mereka masih ingat bagaimana aparat keamanan baik TNI maupun Polri mengantar orang-orang Dayak mendatangi rumah orang-orang Madura dengan alasan untuk perdamaian. Meminta agar rumah orang Madura dipasang daun bayam sebagai lambang perdamaian. Ternyata justru tanda itu yang dipakai petunjuk untuk menyerang.

Aparat juga yang melakukan sweeping senjata milik orang Madura. Sehingga saat diserang tidak bisa melawan. Maka sebenarnya, mayoritas yang menjadi korban adalah mereka yang lemah, tidak bersenjata, orang baik yang merasa tidak bersalah. Sedang para preman justru bisa kabur lebih dulu karena justru dekat dengan aparat atau bisa melindungi diri karena bersenjata.

Kesan mereka ini simetris dengan temuan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) bahwa tragedi Sampit dan Palangkaraya berlangsung secara sistematis dan terorganisasi. Bisa jadi yang merancang dan menggerakkan memang pihak yang memiliki keahlian.

Selama tidak ada jaminan yang memadai, kepulangan mereka hanya ibarat ular mendatangi galah. Bukan saja pergi ke lembah kemiskinan, tetapi ke ladang pembantaian. (Anwar Hudijono)