PBB DIDESAK AGAR DORONG INVESTIGASI PELANGGARAN HAM

Jakarta, Kompas
Sejumlah organisasi nonpemerintah mendesak kepada komunitas internasional melalui PBB untuk mendorong Pemerintah Indonesia melakukan investigasi terhadap berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu maupun yang tengah terjadi dan mengajukan para pelakunya ke pengadilan. Desakan itu disampaikan delegasi organisasi nonpemerintah dari Indonesia di depan Sidang Komisi Tinggi HAM Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) di Swiss, Senin (2/4).

Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Aceh Agussuwandi, menyatakan, pengajuan pelaku pelanggaran HAM di masa lalu dan yang kini terjadi, ke pengadilan akan menghentikan impunity yang berlangsung selama ini. Berakhirnya impunity, kata Agussuwandi, akan mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap supremasi hukum dan keadilan yang telah hilang.

Agussuwandi menyatakan, pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh disebabkan lemahnya sistem hukum dan pembiaran negara terhadap para pelaku pelanggaran HAM yang sama sekali tidak terjamah oleh hukum. Situasi di Aceh saat ini sama dengan yang terjadi pada masa rezim otoriter militer Soeharto di mana masyarakat sipil dibunuh dan tidak ada yang bisa menghentikan perbuatan tersebut.

"Kalau para pelaku kekerasan di Aceh dibiarkan, ancaman konflik akan menyebar ke daerah lain di Indonesia," ujar Agussuwandi sebagaimana tertera dalam siaran pers yang diterima Kompas kemarin.

Delagasi organisasi nonpemerintah yang datang dalam Sidang Komisi Tinggi HAM PBB itu antara lain aktivis dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Kontras, Kontras Aceh, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Tapak Ambon, dan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam).

Jhon Rumbiak, Direktur ELSHAM Papua, menyatakan bahwa kekerasan yang terjadi di Aceh juga terjadi di Irian Jaya dan tidak satu pun kasus kekerasan yang terjadi sampai ke tingkat pengadilan. "Korban kekerasan tiap hari makin bertambah. Pemerintah tidak bisa berbuat apa pun," ujar Rumbiak.

Direktur PBHI Hendardi mengatakan bahwa tidak berjalannya sistem hukum di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari situasi politik saat ini. Pertikaian antara legislatif dan eksekutif yang meruncing, antara presiden dan DPR, memperlambat penegakan supremasi hukum. Di samping itu Presiden Abdurrahman Wahid mewarisi rusaknya tatanan hukum semasa Orde Baru. Kompromi-kompromi politik mengakibatkan pemerintah tidak lagi memperhatikan korban pelanggaran HAM, tetapi justru sibuk untuk mempertahankan kekuasaannya. (wis)