OPERASI MILITER AKAN GAGAL

APA  pun  namanya,  rencana  pemerintah  untuk  melakukan operasi militer  atau  operasi  pemulihan  keamanan  di Aceh merupakan sebuah kegagalan   sipil   mengendalikan   militer.  Niat  pemerintah  untuk melaksanakan  apa yang disebut operasi militer terbatas hampir bulat. Pemerintah  hari  Rabu  11 April mengeluarkan Instruksi Presiden yang akan   melegitimasi   tindakan-tindakan  militer  di  Aceh,  menyusul serangkaian pernyataan ketidakpuasan para pejabat militer yang merasa terhalang  bertindak menghadapi gerakan bersenjata yang menyebut diri Gerakan   Aceh   Merdeka   (GAM).  Kecuali  dari  aktivis  organisasi
nonpemerintah, hampir-hampir tidak lagi terdengar perlawanan terhadap rencana operasi militer ini.

Sebanyak  49  tokoh  dari  Aceh,  Selasa 10 April, bertemu dengan Presiden  Abdurrahman  Wahid  di  Bina  Graha meminta agar pemerintah membatalkan  rencana  operasi  militer  di  Aceh dan menyatakan bahwa operasi  semacam itu hanya akan membangkitkan sentimen antipemerintah di kalangan rakyat Aceh.

Suara  dari Aceh ini masih terlalu lemah untuk menahan arus besar kekuasaan  yang menginginkan agar operasi militer segera diberlakukan di Aceh. Presiden Abdurrahman Wahid dan para diplomat Departemen Luar Negeri  seolah  tidak berdaya lagi menunjukkan kepada publik dan para politisi  bahwa  jalan  tanpa  kekerasan merupakan cara terbaik untuk menyelesaikan konflik di Aceh.

Ketua  Umum  Dewan  Pimpinan  Pusat (DPP) PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri, yang menyebut dirinya sebagai "Cut Nyak", menangis dan menyatakan  akan  memberikan Arun untuk rakyat Aceh pada pidato ulang tahun  partainya  setelah  memenangkan  pemilu,  tapi kini tidak lagi terdengar  berbicara  tentang  Aceh.  DPR  yang  belum lama ini getol menyuarakan  perlunya  pelaku pelanggaran HAM di Aceh segera diadili, dan  meminta  agar pendekatan kekerasan dihindarkan dengan memberikan konsesi-konsesi  yang  besar  kepada  rakyat  Aceh,  sekarang  justru memberikan  dukungan terhadap pelaksanaan operasi keamanan di wilayah tersebut.

Benarkah  upaya  penyelesaian  konflik  Aceh  secara  damai telah gagal?  Dewan  Penasihat  Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan  (Kontras)  Munir  menilai  bahwa penyelesaian masalah Aceh melalui  cara-cara  sipil  yang  dilakukan selama ini cukup berhasil. Sepanjang   tahun   2000   terdapat   kemajuan   yang  berarti  dalam penyelesaian konflik Aceh secara damai. Kemajuan itu adalah kesediaan GAM  dan  pemerintah untuk berunding, yang belum pernah terjadi masa-masa sebelumnya. 

"Masalahnya adalah tidak ada keseriusan sipil untuk menyelesaikan masalah ini tanpa kekerasan," kata Munir.

***
 
AWALNYA  niat  pemerintahan Abdurrahman Wahid untuk menyelesaikan masalah   Aceh   melalui   meja   perundingan  merupakan  kabar  yang menggembirakan   setelah   sekian   lama   pemerintahan   Orde   Baru mengesampingkan  keistimewaan  Aceh  dan malah memberlakukan DOM yang
meninggalkan  luka  dan  kepedihan  bagi rakyat Aceh. Menurut laporan Amnesti  Internasional dan Tim Pencari Fakta (TPF) untuk Aceh, ribuan orang  telah  menjadi korban kekerasan oleh militer akibat pembunuhan sadis,  pembantaian,  perkosaan, teror, dan sebagainya yang dilakukan atas  nama  DOM.  Akan  tetapi,  korban  kekerasan yang begitu banyak ternyata   tidak   menyurutkan   kegiatan   GAM,   malah   sebaliknya menyebarluaskan rasa antipati terhadap Pemerintah Indonesia.

Bukan  hanya  rakyat Aceh yang berharap pada waktu itu bahwa para pelaku  pelanggaran  HAM  di  Aceh akan segera diseret ke pengadilan. Komisi  Nasional (Komnas) HAM turun tangan, para aktivis HAM bergerak di  lapangan, DPR membentuk Panitia Khusus yang merekomendasikan agar pelaku  pelanggaran  HAM  di Aceh segera diadili. Akan tetapi, sampai hari  ini,  belum satu pun pelaku pelanggaran HAM di Aceh diajukan ke pengadilan.  Kegagalan  ini  mematahkan  harapan  rakyat  Aceh  bahwa Pemerintah  Indonesia telah berubah, apalagi dengan munculnya sederet kasus kekerasan baru yang muncul setelah itu.

Presiden  Abdurrahman  Wahid  pada  awal  kekuasaannya menyatakan setuju  terhadap  pelaksanaan  referendum  di  Aceh, namun belakangan menyatakan  bahwa  referendum  yang  dimaksud  tidak  memasukkan opsi merdeka.  Masihkah  ada  harapan  ketika Abdurrahman Wahid menyatakan niatnya  untuk  menyeret  kalangan militer yang melakukan pelanggaran HAM  di  Aceh  ke  pengadilan,  meski  masih ada keraguan di kalangan rakyat Aceh.

"Kami  bangsa  Aceh  akan  memegang  sekuat-kuatnya pada apa yang dijanjikan.  Akibatnya  akan  buruk  bila  Presiden  main-main," ujar Sekjen  Majelis  Pemerintah  GAM Teuku Don Zulfahri mengomentari niat Presiden waktu itu.

Harapan  itu  makin  besar  di saat perundingan antara pemerintah Jakarta dan GAM dilaksanakan ketika Sekretaris Kabinet Bondan Gunawan menemui Panglima Angkatan Perang Aceh Merdeka (AGAM) Teungku Abdullah Syafi’i,  16  Maret  2000. Akan tetapi, pada waktu itu pulalah publik juga disadarkan bahwa upaya perundingan itu mendapatkan perlawanan di lapangan.  Hanya  beberapa  jam  setelah Bondan dan Abdullah Syafi’ie bertemu,  jaminan  keamanan  diberikan oleh Kepala Staf Kodam I/Bukit Barisan Brigjen Asril Tanjung, tetapi aparat langsung mengobrak-abrik empat  desa  di  Kecamatan  Glumpang Tiga dan memukuli penduduk untuk mencari Panglima AGAM.

Kontradiksi  itu  tidak  menyurutkan langkah menempuh perundingan damai.  Melalui  sejumlah  pertemuan  akhirnya  Pemerintah RI dan GAM sepakat membuat jeda kemanusiaan dan menghentikan aksi-aksi kekerasan dalam sebuah pertemuan di Geneva, 13 Mei 2000.

Semangat  untuk  menyelesaikan  konflik  Aceh  secara  damai juga muncul di parlemen. DPR membentuk Panitia Khusus untuk membahas Aceh. Setelah  melalui  pembicaraan  yang panjang, menemui jalan buntu, dan sempat   melahirkan   kontroversi   karena  munculnya  gagasan  untuk merekomendasikan  pelaksanaan  referendum,  Pansus  lalu mengeluarkan sepuluh  sikap  DPR  terhadap  permasalahan  Aceh.  Rekomendasi  yang disetujui  dalam Rapat Paripurna DPR 15 Desember 2000 itu antara lain mendesak  proses  pengadilan terhadap pelaku pelanggaran HAM di Aceh, mengintensifkan   dialog   dalam   penyelesaian   masalah  Aceh,  dan memberikan otonomi khusus kepada provinsi tersebut.

Bahkan,  86  anggota DPR mengajukan usul inisiatif otonomi khusus untuk  Aceh  dalam  bentuk  Nanggroe  Aceh Darussalam. RUU ini secara substantif  memberikan kewenangan yang sangat luas bagi Provinsi Aceh sebagai  semifederal.  Anehnya,  upaya-upaya  itu tidak lagi mendapat respons  positif  dari  rakyat  Aceh  sendiri,  seiiring dengan terus berlangsungnya  aksi-aksi  kekerasan  terhadap  rakyat Aceh dan tidak adanya  tanda-tanda  yang  jelas dari Pemerintah Indonesia bahwa para pelanggar  HAM di Aceh akan diadili dan bahwa pemerintah Pusat memang benar-benar   telah  berubah.  Rakyat  Aceh  memandang  sebelah  mata bujukan-bujukan yang ditawarkan karena, kenyataannya sampai saat ini, belum ada langkah kongkret bagi Aceh.

***
 
MUNIR  menggambarkan konflik Aceh ini ke dalam empat lapis. Lapis pertama  adalah  Presiden  Abdurrahman  Wahid,  para  diplomat senior Deplu,  dan  Panglima  GAM  Hasan Tiro. Mereka secara prinsip sepakat menyelesaikan masalah Aceh melalui perundingan damai.

Namun,  di  lapis  kedua,  kata  Munir,  ada sejumlah menteri dan politisi  sipil yang tidak setuju ditempuhnya perundingan dengan GAM. Mereka lebih mengutamakan ideologi "negara kesatuan". Lapis kedua ini antara  lain Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, Mahfud MD,  anggota  DPR  Yasril  Ananta  Baharudin dan Armin Arjoso. Mereka kadang-kadang mem-by pass kebijakan yang disepakati di lapis pertama.

Sedangkan   pada  lapis  ketiga  adalah  Kepala  Polri,  Panglima Kostrad,  Abdullah  Syafi’i,  dan  orang-orang  bersenjata yang masuk dalam wilayah abu-abu. Menurut Munir, mereka memiliki pilihan politik yang  berbeda dalam menyelesaikan masalah Aceh dan cenderung menempuh cara-cara kekerasan.

Di  lapis  keempat  adalah  masyarakat  yang  makin frustrasi dan kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah. Mereka merupakan kalangan mahasiswa,  aktivis SIRA, serta para aktivis organisasi nonpemerintah dan  HAM  di  Aceh.  Akibat  tidak adanya tanda-tanda pemerintah akan mengajukan  pelaku  pelanggaran HAM di Aceh, makin banyak di kalangan mereka yang bersimpati pada GAM.

Karena  itulah,  kata  Munir,  ketika  perundingan  berjalan  dan kesepakatan  dicapai, selalu menyusul aksi-aksi kekerasan di lapangan untuk   menunjukkan   kepada  publik  bahwa  jalan  damai  tidak  ada manfaatnya.  Lebih  rumit  lagi, lanjut Munir, informasi tentang Aceh berbeda-beda,  sesuai  dengan  kepentingan elemen-elemen lapisan yang berkonflik.  Informasi-informasi  yang  dipergunakan  untuk pengambil keputusan  di  tingkat  Pusat,  kata Munir, lebih banyak berasal dari lapis kedua dan ketiga.

Untuk  memulai  lagi perundingan damai, langkah pertama-tama yang harus ditempuh, menurut Munir, adalah membangun sumber informasi yang bisa  menjadi  bahan  pertimbangan semua pihak, bukan hanya informasi yang  diberikan oleh TNI dan Polri. "Kasus penembakan helikopter yang ditumpangi  Menteri Pertambangan dan terbakarnya ladang minyak Exxon, misalnya, apakah benar-benar dilakukan oleh GAM?" kata Munir.

Apabila  kontrol  terhadap  militer tidak efektif, menurut Munir, rakyat Aceh akan terus-menerus menjadi korban. "Langkah-langkah untuk menyelesaikan  Aceh  juga hanya akan menambah daftar penderitaan yang baru," katanya. (wis)