Koordinator Kontras: SELESAIKAN TRAGEDI TRISAKTI LEWAT PENGADILAN HAM

Jakarta, Kompas
Penyelesaian tragedi tewasnya empat mahasiswa Universitas Trisakti 12 Mei 1998 yang memancing kerusuhan sosial di Jakarta dan sekitarnya tetap saja jauh dari harapan. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memang telah membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk menyelidiki kasus itu dan diharapkan berani memberikan rekomendasi agar kasus penembakan mahasiswa Trisakti dan kerusuhan yang mengikutinya diselesaikan melalui pengadilan HAM.

Hal itu diungkapkan Usman Hamid, Koordinator Kajian Hukum Tim 12 Mei, Universitas Trisakti, kepada Kompas di Jakarta, Senin (30/4). Koordinator Badan Pekerja Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Munarman juga mengharapkan agar Pansus Trisakti bisa memberikan rekomendasi agar Tragedi Trisakti bisa diselesaikan melalui pengadilan HAM.

Munarman melihat berlarut-larutnya kerja Pansus DPR, merupakan pertanda bahwa DPR memandang Tragedi Trisakti maupun peristiwa penembakan mahasiswa hanyalah peristiwa biasa. Mereka yang menyebut wakil rakyat itu agaknya melupakan bahwa gugurnya mahasiswa 12 Mei 1998 adalah jalan yang menuntun mereka menjadi elite politik.

"Tiga tahun hampir berlalu, namun sepanjang waktu itu pula negara belum mampu menunjukkan dan memberikan jawaban konkret mengenai siapa pelaku dan siapa yang sepatutnya harus bertanggung jawab pada peristiwa monumental tersebut," tambah Usman.

Tragedi Trisakti tetap menjadi misteri dalam perjalanan bangsa Indonesia. Pemerintah memang telah mengadili sejumlah anggota Polri atas tuduhan telah bertindak tidak disiplin. Mereka telah dijatuhi hukuman. Akan tetapi, siapa yang menembak hingga tewas keempat mahasiswa itu belum terungkap.

Untuk kerusuhan sosial yang lebih luas, pemerintah telah membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang diketuai Marzuki Darusman, kini Jaksa Agung. Sejumlah rekomendasi telah dikeluarkan, namun banyak rekomendasi yang belum ditindaklanjuti.

Usman menilai, Pansus DPR terkesan tidak memiliki arah yang jelas menuju sebuah konstruksi persoalan yang menyeluruh. Walau dilakukan pemanggilan terhadap pejabat Kepolisian dan TNI, namun pertanyaan yang dilontarkan anggota Pansus tidak sinergis. Bahkan, banyak pertanyaan yang tidak substansial dan tidak terkait dengan peristiwa.
   
Dapat dikatakan, Pansus tidak menguasai peristiwa yang terjadi pada 12 Mei 1998 baik kondisi di lapangan maupun konstelasi perpolitikan nasional saat itu. "Atau mungkin karena para anggota Pansus, sebagian berasal dari rezim Soeharto, sehingga semuanya terkontaminasi oleh karakter status quo dengan pura-pura tidak tahu," kata Usman.
 
Pengadilan HAM
Jenderal-jenderal yang memenuhi panggilan Pansus, menurut Usman, masih juga menunjukkan arogansi sebagaimana layaknya pejabat yang masih berkuasa. Sayangnya, tidak satu pun jenderal yang memiliki sikap ksatria yang siap bertanggung jawab seperti yang sering dikampanyekan.

Pemanggilan jenderal-jenderal di hadapan Pansus juga sekadar formalitas belaka. Bahkan, terkesan menjadi ajang formalitas yang tidak memiliki makna apa pun, hanya menjadi ajang klarifikasi atau cuci tangan para pejabat TNI dan Polri pada saat itu.

Yang paling mengecewakan, kata Usman, acap kali sidang Pansus-yang beranggotakan 50 orang-hanya dihadiri tidak sampai setengahnya. Bahkan, beberapa kali rapat hanya dihadiri kurang dari 10 orang.

"Inilah gambaran kesungguhan Pansus Tragedi Trisakti secara keseluruhan. Sangat berbeda ketika DPR menggelar Pansus Buloggate dan Bruneigate yang sangat antusias. Sekali lagi, hal ini patut dipertanyakan," tandas Usman.

Meski demikian, baik Usman maupun Munarman masih berharap, Pansus DPR akan membuat rekomendasi, menyerahkan kasus ini lewat pengadilan hak asasi manusia. Dengan begitu, para pejabat TNI/Polri pada saat itu tidak dapat mengelak dari tanggung jawab.

Pasal 42 Ayat (1) UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM menyebutkan, komandan militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komandan militer dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana yang berada dalam yurisdiksi Pengadilan HAM yang dilakukan oleh pasukan yang berada di bawah komando dan pengendaliannya yang efektif atau di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif dan tindak pidana tersebut merupakan akibat dari tidak dilakukannya pengendalian pasukan secara patut. (sah)