PELURU KALIBER 5,56 MM TAK HANYA UNTUK STEYR

Jakarta, Kompas
Tim penasihat hukum 11 terdakwa dalam kasus penembakan mahasiswa Trisakti mengatakan, peluru tajam kaliber (Cal) 5,56 mm bukan hanya digunakan oleh senjara Steyr. Peluru kaliber 5,56 mm itu juga bisa digunakan 18 merek senjata lainnya.

Hal itu disampaikan tim penasihat hukum dalam eksepsi yang dibacakan di dalam sidang Mahkamah Militer II-8 Jakarta, Kamis (28/6). Kesebelas terdakwa anggota Unit Patroli Motor Gegana, Brimob, Polri diadili atas tuduhan telah melepaskan tembakan yang mengakibatkan matinya empat mahasiswa Trisakti.

Sebelumnya, Oditur Militer D Djohari menuduh terdakwa Letda (Pol) Eric Kadir Sully dan 10 terdakwa lainnya dibekali peluru tajam dan senjata Steyr. Mereka kemudian melepaskan tembakan ke arah kelompok mahasiswa dan mengakibatkan empat mahasiswa tewas.

Menurut Hotma Sitompoel yang membacakan eksepsi terdakwa, Oditur Militer telah mengabaikan fakta. Peluru kaliber 5,56 mm tidak hanya dapat ditembakkan dari (senjata jenis) Steyr saja, tetapi sesuai literatur dan praktik persenjataan, bisa digunakan sekurangnya oleh 18 merk senjata panjang lain. Di antaranya, senjata buatan AS jenis M16.A1, M16.A2, AR.10, AR.15, AR.16, HK.33, Bereta AR.70, Fammas, FN Minimi, SIG SG 550, Ruger Mini, buatan Austria Steyr AUG, buatan Belgia jenis FNC 76, FNC 80, dan buatan Pindad jenis SS1.V1, SS1.V2, SS1.V3, SS1.V4," kata Sitompoel.

Sidang yang berlangsung sejak pukul 10.00 sampai 11.00 tersebut dipimpin Hakim Ketua Letkol Laut (KH) AR Tampubolon dengan hakim anggota Letkol (CHK) Anton R Saragih, dan Mayor Laut (KH) Sinoeng Harjanti.
 
Kabur
Menurut Sitompoel, terungkapnya fakta bahwa bukan hanya Steyr yang mampu menembakkan peluru kaliber 5,56 mm, telah mengakibatkan kaburnya rangkaian pidana yang dikemukakan oleh Oditur. Kemungkinan pihak lain melakukan penembakan, jauh lebih besar daripada kemungkinan para terdakwa yang melakukan penembakan dengan menggunakan peluru kaliber 5,56 mm. "Apalagi tidak pernah ada bukti, para terdakwalah yang telah melakukan penembakan terhadap kelompok-kelompok mahasiswa itu," kata Sitompoel.

Sitompoel menjelaskan mengapa kliennya tidak mengerti terhadap apa yang dituduhkan pada mereka. "Para terdakwa tidak mengerti antara lain tentang perbuatan menembak-terdakwa yang mana yang menembak dan mengenai korban yang mana, peluru yang mana dan keluar dari senjata terdakwa yang mana. Fakta ini menunjukkan bahwa isi surat dakwaan tidak cermat, tidak jelas, dan tidak lengkap, sehingga tidak dapat dipahami oleh para terdakwa," kata Sitompoel. Karena surat dakwaan tidak cermat maka, "Harus dinyatakan tidak dapat diterima,"
tambahnya.

Sitompoel mengemukakan, kliennya, anak buah terdakwa Erick tidak melakukan tindak pidana sesuai ketentuan KUHP Pasal 51 Ayat 1 yang menyebutkan, Orang yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak boleh dipidana). Dalam surat dakwaan disebutkan, Erick memerintahkan "tembak" kepada anak buahnya.

Erick-pun menurut tim pengacara tidak melakukan tindak pidana karena menurut Pasal 49 Ayat 1 KUHP disebutkan: Tidak dipidana orang yang melakukan tindakan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri, maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat dan yang melawan hukum pada saat itu. 

Jangan ganggu
Dalam jumpa pers Tim Trisakti untuk Penuntasan Kasus Tragedi 12 Mei 1998 (TPK), Ketua TPK Adi Andojo Soetjipto mengimbau berbagai pihak tidak mengganggu pengadilan militer dengan membuat seruan yang melecehkan pengadilan militer. "Saya tidak anti pengadilan HAM ad hoc. Saya menghendaki pengadilan HAM ad hoc untuk aktor intelektual militer dan Polri, serta pengadilan militer untuk para operator lapangan," ujarnya.

Dia kemudian memaparkan betapa sulitnya mengupayakan pengadilan militer. "Saya ketika itu sampai mengancam menggugat Pangab dan Menhan bila mereka tidak menanggapi tuntutan saya. Lewat fraksi-fraksi saya mengimbau DPR memberi dukungan politik terhadap kemungkinan pengadilan militer ini," kata Adi.

"Untuk pengadilan militer saja sudah susah, apalagi pengadilan HAM ad hoc. Soal prosedur saja antara Komnas HAM (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia) dengan Pansus (Panitia Khusus) DPR sudah saling lempar mau cuci tangan. Belum lagi petunjuk pelaksanaan lima poin tentang pengadilan HAM yang belum selesai-selesai juga. Realistis lah. Jangan cuma teriak-teriak pengadilan HAM ad hoc, tapi pengadilan militernya lepas," lanjut Adi.

Mengutuk
Berkaitan dengan sikap tujuh fraksi DPR yang menolak Pengadilan HAM Ad Hoc, tiga organisasi non pemerintah pemerhati hak asasi manusia, Kontras, YLBHI dan Elsam, mengutuk keras tindakan tujuh fraksi di Pansus Dewan Perwakilan Rakyat kasus Trisakti dan Semanggi yang menolak pengadilan HAM ad hoc untuk kasus tersebut. Keputusan tujuh fraksi itu dianggap telah mengkhianati aspirasi rakyat.

"Anggota DPR itu lupa dan tidak sadar bahwa kasus Trisakti itulah yang membuat sebagian besar mereka duduk di sana. Sayang, mereka sudah mengkhianati sejarah. Kita akan menyerukan kepada seluruh kekuatan prodemokrasi untuk menentang dan melakukan mobilisasi perlawanan terhadap penipuan politik yang dilakukan tujuh fraksi di DPR itu. Pembentukan Pansus Trisakti adalah kecelakaan sejarah di negara ini," tandas Munarman, Koordinator Badan Pekerja Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) di Kantor YLBHI, Jakarta, Kamis.

"DPR sudah diberi kesempatan, namun mereka tidak mempergunakannya," kata Bambang Ekalaya dari YLBHI. (sah/wis/win)